ISLAMIC CHARACTER DEVELOPMENT – Ibadah tidak akan lepas dari sistem input-proses-output. Input adalah bahan atau syarat mencapai kesempurnaan ibadah. Proses adalah bagaimana kita menggabungkan input untuk mencapai hasil yang dikehendaki, dan output adalah hasil yang diinginkan.
Analogi sederhana bagaimana membuat sayur asem. Input yang diperlukan adalah bahan sayur asem seperti labu siam, kacang panjang, jagung manis, sayur labu, bawang merah, bawang putih. Proses adalah bagaimana menggabungkan bahan-bahan tadi untuk menjadi sayur asem. Dan output adalah hasil dari input dan proses yang menghasilkan sayur asem yang enak dan segar.
Dalam ibadah Salat, inputnya adalah rukun dan syarat wajib salat. Prosesnya adalah pelaksanaan salat dari segi gerakan dan khusyuknya dan outputnya adalah menghasilkan akhlak mulia.
Demikian juga dengan puasa Ramadan. Mari kita perhatikan firman Allah Subhanahu Wata’ala yang menyebutkan perintah berpuasa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Surat Al Baqarah ayat 183)
Hai orang-orang yang beriman – iman sebagai Input. Diwajibkan atas kamu berpuasa – puasa sebagai Proses. Agar kamu bertakwa – takwa sebagai Ouput.
Jika Ramadan adalah Sistem, Iman adalah inputnya, Puasa adalah prosesnya, maka Takwa adalah outputnya.
Diagram Sistem Ramadan berdasarkan Input-Proses-Output
Keimanan yang penting adalah keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan keimanan kepada hari akhir. Al-Qur’an dan Hadis banyak menyebut secara beriringan Iman kepada Allah dan Ian kepada hari akhir.
Iman kepada hari akhir berarti percaya bahwa kehidupan di dunia akan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan kehidupan di akhirat. Kepercayaan seseorang terhadap hari akhir membuat hidup menjadi teratur, berusaha selalu berperilaku baik dan menjauhi dosa. Sadar dan yakin bahwa apapun yang diperbuat di dunia akan dipertanggungjawabkan dan mendapat balasan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Paradigma beribadah kita perlu dianalisa antara konsep dan realita. Ritual agama Islam seperti Salat, Puasa dan ritual ibadah lainnya, seringkali membuahkan paradigma bahwa konsep berbeda dengan realita, atau output dari ritual ibadah tidak sesuai dengan konsep. Kesalahan paradigma berakibat besar. Efeknya Islam kita hanya pendekatan budaya, seremonial dan formalistik.
Contohnya Salat, dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 19-23 disebutkan bahwa orang yang mengerjakan Salat, tidak akan berkeluh kesah dan kikir.
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23)
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”. (QS. Al-Ma’arij Ayat 19-23)
Menurut Prof. Hamka, kata Jazu’a berarti perasaan keluh kesah, tidak tenang hati, selalu merasa kurang, cemas dan takut dibarengi dengan beberapa penyakit jiwa lainnya seperti depresi (depression), cemas (anxiety), dan yang lainnya. Ketika sudah terkena keadaan ini, maka dia tidak bisa mengendalikan emosinya (jazu’), menyalahkan orang lain dan menyesali nasib.
Allah Subhanahu Wata’ala mengecualikan sifat ini dari orang yang senantiasa Salat dan tetap mengerjakan Salatnya (daaimun, ada yang menafsirkan khasyi’un sebagaimana Qs. Al-Mukminun ayat 2) yaitu orang yang selalu Salat pada waktunya, menjaga rukun Salat, dan khusyuk tumakninah sehingga menimbulkan ketenangan jiwa dan terhindar dari keluh kesah dan kikir.
Konsepnya seperti ini, namun realita berkata lain. Ada gap antara konsep dan realita dalam ritual ibadah kita.
Menurut Ust. Arifin Jayadiningrat, munculnya gap antara konsep dan realita karena agama kita adalah agama warisan atau keturunan, sehingga yang terbentuk dalam alam pikiran dan pemahaman adalah nuansa budaya atau religion understanding by culture atau by community atau mengikuti kata orang lain begini, kata orang lain begitu, tanpa mengetahui konsep Islam sebenarnya.
Contohnya adalah Salat Tarawih, sebagian kita ikut Tarawih tanpa tahu apa itu Tarawih, artinya apa dan apa maknanya. Salat pun dikerjakan dengan cepat atau terburu-buru. Atau orang yang berzikir tanpa ada perasaan yang timbul ketika berzikir atau adakah perubahan karakter dalam diri yang membawa ke arah lebih baik, lebih sayang kepada istri atau suami, lebih bertanggung jawab kepada anak dan menebar kasih sayang kepada teman, tetangga dan orang di sekitar.
Salat bukan di satu lembah dan akhlak di lembah lain yang mengakibatkan perbedaan antara konsep dan realita ibadah. Terjadi karena paradigma Salat kita adalah by culture atau katanya.
Akhir Al Baqarah ayat 183 menggunakan kata (لَعَلَّ) yang dalam bahasa Arab berarti الترجي أو الإشفاق, “كي”, الظن dan “عسى”., dalam Al-Qur’an terjemah Bahasa Indonesia diartikan ‘semoga’, ‘agar’ atau ‘supaya’ yang menunjukkan pengharapan dan keinginan. Ternyata tidak demikian, menurut Ibnu Atsir, La’alla juga berarti kepastian.
Di dalam hadits tentang Hathib bin Abi Balta’ah, dinyatakan:
وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللهُ قَدْ اِطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ لَهُمْ اِعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Apakah kamu tahu, Allah telah melihat kepada peserta Perang Badar, lalu berfirman kepada mereka: ‘Kerjakan apa saja yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”
Ibnul Atsir berkata,
ظَنَّ بَعْضُهُمْ أَنَّ مَعْنَى لَعَلَّ هَهُنَا مِنْ جِهَةِ الظَّنِّ وَالْحِسْبَانِ ، قَالَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ ، وَإِنَّـمَـا هِيَ بـِمَعْنَى عَسَى ، وعَسَى وَلَعَلَّ مِنَ اللهِ تَـحْقِيْقٌ .
“Sebagian orang menyangka bahwa makna la’alla adalah persangkaan (zhann) dan perkiraan (hisban). Sebenarnya bukan begitu. Kata tersebut bermakna semoga (‘asaa), sedangkan ‘asaa dan la’alla jika berasal dari Allah maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq).”
Dengan demikian, sebagaimana perkataan Ibnul Atsir di atas, kalimat la’allakum tattaqun kurang tepat jika diterjemahkan “supaya kalian bertakwa” saja. Seharusnya “supaya kalian pasti bertakwa”, atau kalimat lain yang maknanya senada.
Konsekuensinya, ayat ini sesungguhnya merupakan resep yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, bagaimana supaya kita bertakwa secara pasti. Caranya, jika kita mematuhi resep yang diungkap di dalam ayat-ayat yang bersangkutan, atau di dalam ayat-ayat yang sebelum dan sesudahnya, maka Allah Subhanahu Wata’ala menjamin kita pasti menjadi orang bertakwa.
Maka perlu dikuatkan Input dan Proses berpuasa agar kita mendapatkan Outputnya yaitu ketakwaan. [ ]