Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyat

Sudah lama umat Islam di seluruh dunia tidak mengawali dan mengakhiri puasa pada saat yang sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara yang ditempuh dalam menentukan awal pelaksanaan ibadah tersebut.

Sebagian kalangan menggunakan cara hisab (perhitungan), sebagian lagi menggunakan cara rukyah (pengamatan) terhadap hilal. Sedikit banyak perbedaan waktu ini mengganggu keharmonisan hubungan antarsesama umat Islam.

Artikel ini mengetengahkan bahasan tentang hisab dan rukyat menggunakan daftar pertanyaan dan jawaban yang kami tulis ulang dari sebuah buku karya Dr. Ir. H.S. Farid Ruskanda, M.Sc, APU berjudul “100 Masalah Hisab dan Rukyat” yang terbit pertama kali pada tahun 1996 oleh Penerbit Gema Insani Press. Dr. Farid Ruskanda adalah ahli peneliti utama LIPI dan kepala proyek Teleskop Rukyat ICMI, buku ini mendapatkan kata sambutan dari Menterti Agama saat itu, Bapak Dr. Tarmizi Taher.

Kami menilai muatan tanya jawab dalam buku ini perlu dibagikan kepada masyarakat untuk menambah khasanah keislaman tentang hisab dan rukyat, terlbih lagi, tahun ini besar kemungkinan puasa Ramadan akan dilakukan dengan hari yang berbeda antara yang menggunakan Hisab (Muhammadiyah) dan Rukyat (NU) (baca berita Tirto)

Artikel ini hanya memilih pertanyaan dan jawaban yang menurut kami relevan saja, tidak mencakup keseratus pertanyaan dan jawaban dalam buku.

Pertanyaan

Mengapa tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah (Iduladha), misalnya, tidak jatuh pada tanggal yang sama setiap tahun?

Jawaban

Jika pada suatu tahun, tanggal 1 Syawal bertepatan dengan tanggal 2 Juli, sedangkan pada tahun berikutnya bertepatan pada tanggal 22 Juni, misalnya, maka ini disebabkan oleh perbedaan sistem penanggalan yang digunakan. Kalender yang sehari-hari kita pakai, yaitu Kalender Miladiyyah, menggunakan sistem tahun matahari (syamsiyah), sedangkan kalender hijriyah, yang dijadikan dasar penentuan waktu pelaksanaan ibadah Islam, menganut sistem tahun bulan (qamariyah).

Pertanyaan

Bagaimana cara menentukan awal bulan qamariyah?

Jawaban

Satu bulan qamariyah diawali dengan munculnya hilal yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat (the first visible crescent). Selanjutnya, bulan sabit itu membesar menjadi bulan purnama, menipis kembali dan akhirnya menghilang dari langit.

Pertanyaan

Untuk menentukan penaggalan hijriyah, perlukah setiap kali dilakukan pengamatan terhadap hilal, ataukah cukup lewat penghitungan?

Jawaban

Ilmu astronomi mutakhir sudah sangat akurat memperhitungkan dan memperkirakan semua hal yang menentukan terlihatnya hilal, misalnya ketinggian hilal di atas ufuk (horison) dan perbedaan sudut ke arah hilal dengan ke arah matahari dengan sangat teliti. Ketelitian penghitungan bisa mencapai 1/3600 derajat, dan tingkat ketelitian ini lebih dari cukup untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah. Jadi, jika hanya untuk keperluan teknis penaggalan Islam, cara perhitungan sudah memadai.

Namun, dalam hal penentuan awal dan akhir Ramadan, karena menyangkut waktu ibadah, yang paling penting bukan hanya pertimbangan teknis ilmiah, melainkan tuntunan sunnah Rasul yang menggariskan syariah Islam. Menurut sunnah Rasul, awal dan akhir Ramadan harus ditetapkan lewat pengamatan hilal.

Pertanyaan

Mengapa terjadi perbedaan tanggal pada saat yang bersamaan?

Jawaban

Karena bumi berbentuk bola. Dengan demikian, jika bagian bumi yang satu dalam keadaan malam (gelap), maka pada saat yang sama, bagian bumi yang lain berada dalam keadaan siang (terang).

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan wilayatul hukmi?

Jawaban

Prinsip ini adalah salah satu dari tiga paham fiqih. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, penaggalan qamariyah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara; inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal qamariyah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menurut Imam Syafi’i, penanggalan qamariyah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla’. Inilah prinsip mathla’ mazhab Syafi’i.

Indonesia menganut prinsip wilayatul hukmi, yaitu bahwa bila hilal terlihat dimanapun di wilayah wawasan Nusantara, dianggap berlaku di seluruh Indonesia. Konsekuensonya, meskipun wilayah kita dilewati oleh garis penganggalan Islam inernasional -yang secara teknis berarti di wilayah Indonesia terbagi atas dua bagian yang mempunyai tanggal hijriyah berbeda- penduduk melaksanakan puasa secara serentak, demikian pula misalnya merayakan 1 Syawal. Ini berdasarkan ketetapan pemerintah Departemen Agama RI.

Pertanyaan

Berdasarkan garis penanggalan ini, bisakah fiqih mazhab Hanafi, yaitu mathla’, diberlakukan secara global?

Jawaban

Menurut Imam Hambali, rukyat pada suatu tempat bisa diberlakukan di seluruh dunia. Namun, ini tidak berarti bahwa umat Islam di semuan negara bagian di dunia bisa berpuasa dan berlebaran pada hari yang sama. Bisa terjadi bahwa pada suatu bagian bumu, hilal sudah terlihat pada suatu sore, namun pada bagian lain baru terlihat esok harinya. Karena bumi bulat, tidak mungkin semua bagian bumi mempunyai penanggalan qamariyah yang sama. Prinsip ini sama dengan tahun syamsiyah, yang berbeda tanggalnya antara belahan bumi bagian barat dan belahan bumi bagian timur.

Baca juga:   Persaudaraan dalam Islam

Berdasarkan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan “keberlakuakn global rukyat” menurut Imam Hanafi adalah sebagai berikut: Jika hilal terlihat pada suatu tempat, maka esok harinya, tempat itu memasuki bulan baru qamariyah, demikian pula tempat yang terletak di belahan bumi yang sama. Sedangkan tempat yang terletak di bagian lain, maka awal ulan baru memasuki pada hari lusa.

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan ufuk?

Jawaban

Ufuk atau horison secara praktis merupakan garis pandangan manusia. Jadi, jika manusia berada di tempat ketika pandanganya bisa mengarah bebas tanpa ada yang menghalangi, maka garis terjauh yang bisa dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seorang pengamat memilih lokasi di pinggir laut tanpa pulang atau gunung yang menghalangi pandangannya.

Semakin tinggi seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di pinggir laut lepas.

Pertanyaan

Apakah yang dinamakan Ijtima’?

Jawaban

Ijtima’ atau konjungsi adalah suatu kondisi ketika bulan -dalam peredarannya mengelilingi bumi- berada di antara bumi dan matahari, dan posisinya paling dekat ke matahari. Kondisi ini terjadi satu kali setiap bulan qamariyah. Jelas bahwa ijtima’ berlaku untuk setiap tempat di permukaan bumi, permukaan bulan dan ‘permukaan matahari’.

Seperti telah diutarakan, waktu ijtima’ untuk suatu bulan qamariyah, sama di seluruh dunia. Jika pada saat ijtima’ itu matahari terbenam, maka di tempat itu, bulan juga tepat sedang terbenam. Istilahnya: pada saat matahari terbenam, bulan (hilal) berada di ketinggian nol. Kita sebut saja tempat itu ‘tempat ketinggian hilal nol’.

Karena bumi berputar pada porosnya dari barat ke timur, maka tempat-tempat yang berada sebelah timur tempat ketinggial nol akan melihat matahari terbenam lebih dahulu daripada dengan tempat ketinggian nol.

Jadi, pada saat ijtima’ terjadi, di tempat-tempat tersebut matahari sudah berada di bawah ufuk. Demikian pula halnya bulan (hilal) yang berada segaris pada saat ijtima’. Ini berarti bahwa pada saat matahari terbenam, di tempat-tempat sebelah timur tempat ketinggian hilal nol, hilal tidak mungkin bisa dilihat atau dirukyah karena sudah terbenam di bawah ufuk.

Sebaliknya, di tempat-tempat sebelah barat tempat ketinggian hilal nol, matahari terbenam lebih lambat dari waktu ijtima’, sehingga ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam. Pada saat matahari terbenam, hilal belum terbenam karena dilihat dari tempat di permukaan bumi, bukan beredar lebih lambat daripada matahari. Dengan demikian, ketika matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk sehingga ada peluang untuk dirukyah. Semakin jauh tenggang waktu antara ijtima’ dengan waktu matahari terbenam, semakin tinggi hilal terlihat di atas ufuk saat matahari terbenam, sehingga semakin besar peluang melihat pada saat rukyah.

Tempat-tempat tersebut membentuk suatu tempat kedudukan berupa garis lengkung yang dinamakan ‘garis ketinggian hilal nol’. Dari uraian ini, jelas bahwa di bagian bumi yang berada di sebelah timur ‘garis ketinggian hilal nol’, hilal belum terlihat karena sudah berada di bawah ufuk, dan dengan demikian keesokan harinya belum masuk ke awal bulan baru, tetapi baru merupakan akhir bulan qamariyah.

Sebaliknya, untuk tempat di sebelah barat ‘garis ketinggian hilal nol’, hilal sudah berada di atas ufuk sehingga dapat dilihat pada waktu rukyah.

Pertanyaan

Apakah yang dinamakan hisab?

Jawaban

Hisab dalam bahasa Arab berarti ‘perhitungan’ atau ‘hitungan’. Tujuan hisab adalah memperkirakan kapan awal suatu bulan qamariyah, terutama yang berhbungan dengan waktu ibadah. Yang dihitung bermacam-macam, hisab yang paling sederhana adalah memperkirakan panjang suatu bulan, apakah 29 atau 30 hari, dalam rangka menentukan awal bulan baru qamariyah.

Tujuan lainnya adalah menghitung kapan terjadi ijtima’. Sebagian ahli hisab berpendapat, jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qabla al-ghurub), maka ia menandakan sudah masuk bulan baru. Ada pula hisab dengan cara menghitung kehadiran (wujud) hilal di atas ufuk ketika matahari terbenam (ghurub). Jika menurut perhitungan, hilal masih berada di atas ufuk ketika matahari terbenam, maka dipastikan sudah masuk bulan baru, berapapaun ketinggian hilal itu.

Yang paling rumit adalah bukan saja menghitung posisi hilal, melainkan peluangnya untuk terlihat dengan memperhitungkan kondisi kecemerlangan (brighness) hilal, jarak busur antara bulan dan matahari, posisi pengamat, kesalahan karena pembiasan di udara dan sebagainya.

Baca juga:   Bantuan Sosial Untuk Masyarakat Buttui di Mentawai

Cara perhitungannya beragam. Ada yang hanya menambahkan atau mengurangi faktor koreksi dari tabel, ada pula yang menggunakan ilmi segitiga bola (spherical trigonometry).

Daftar rujukannya juga sangat beragam, mulai dari kitab yang diterbitkan ratusan tahun lalu sampai dengan ilmu astrnonomi mutakhir. Sebagian dari kitab lama itu masih menganut pandangan bahwa bumi dikelilingi matahari dan bukan sebaliknya, sebagaimana dianut oleh ilmu astronomi mutakhir.

Di dalam perhitungan, ada yang menggunakan tangan, slide rule, kalkulator, dan komputer pribadi dengan perangkat lunak yang lengkap dan akurat. Jenis cara hisab yang kita kenal adalah hisab urfi, hisab haqiqi dan hisab imkan rukyah.

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan hisab Urfi?

Jawaban

Hisab Urfi telah digunakan sejak zaman Khalifah kedua, Umar bin Khatab radhiyallahu anhu (17 H), dengan menyusun kalender Islam untuk jangka waktu panjang. Hisab ini dilaksanakan dengan cara merata-ratakan waktu edar bulan mengelilingi bumi sebagai berikut:

  1. Penanggalan akan berulang secara berkala setiap 30 tahun.
  2. Awal tahun pertama hijriah ( 1 Muhammar 1 H) bertepatan dengan hari Kamis (15 Juli 622 M) berdasarkan hisab, sedangkan hilal terlihat pada malam jumat (16 Juli 622 M) berdasarkan rukyat.
  3. Panjang bulan bergantian antara 30 dan 29 hari, kecuali pada tahun kabisat, bulan terakhir (Zulhijjah) ditambah 1 hari sehingga menjadi 30 hari.
  4. Dalam periode 30 tahun, terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun biasa (basitah). Tahun kabisat jatuh pada tahun 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Untuk menentukan kekabisatan satu tahun, maka tahunnya dibagi 30, jika sisanya 2, 5, 7 dan seterusnya 26, 29 maka masuk tahun kabisat.

Hisab urfi ii sangat praktis untuk menyusun penaggalan hijriyah. Namun, karena ia tidak bisa menggambarkan penampakan hilal, ia tidak cukup teliti untuk keperluan penentuan waktu ibadah.

Pertanyaan

Bagaimanakah dengan hisab haqiqi?

Jawaban

Dengan hisab haqiqi, bulan baru dipastikan masuk jika pada waktu maghrib hilal diperhitungkan berada di atas ufuk. Terdapat tiga pandangan mengenai keberadaan hilal di atas ufuk, yaitu:

  1. Hilal dianggap wujud ketika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam.
  2. Hilal dianggap sudah lahir jika pada saat ghurub (matahari terbenam) hilal diperhitungkan sudah berada di atas ufuk haqiqi (true horizon).
  3. Hilal dianggap sudah hadir jika saat ghurub menurut perhitungan berada di ufuk mar-ie (visible/ apparent horizon).

Ufuk mar-ie atau ufuk pandangan adalah garis singgung pandangan mata dengan permukaan bumi, dan batasan ini lebih nyata mendekati keadaan sebenarnya pada waktu rukyah.

Hisab haqiqi hanya memperhitungkan wujud hilal di atas ufuk pandangan atau ufuk sesungguhnya. Dasar anggapannya adalah, asalkan hilal ada di atas ufuk maka keesokan harinya dapat dipastikan merupakan awal bulan baru. Seberapa tinggi hilal berada di atas ufuk dan seberapa jauh arah pandangannya dari arah ke matahari, tidaklah dipersoalkan. Jelaslahm hisab haqiqi masih kurang realistis.

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan hisab imkan rukyah?

Jawaban

Secara harfiah, hisab imkan rukyah adalah berarti perhitungan kemungkinan hilal terlihat. Selain memperhitungkan wujudnya hilal di atas ufuk, pelaku hisab juga memperhitungkan faktor-faktor lain yang memungkinkan terlihatnya hilal.

Yang menentukan terlihatnya hilal bukan hanya keberadaannya di atas ufuk, melainkan juga ketinggiannya di atas ufuk dan posisinya yang cukup jauh dari arah matahari. Jadi, dalam hisab imkan rukyah, kemungkinan praktik pelaksanaan rukyak (actual sighting) diperhitungkan dan diantisipasi.

Di dalam hisab imkan rukyah, selain kondisi dan posisi hilal, diperhitungkan juga kuat cahayanya (brightness) dan batas kemampuan mata manusia. Di dalam menyusun hipotesisnya, dipertimbangkan pula data statistik keberhasilan dan kegagalan rukyah, perhitungan teoritis, dan kesepakatan di antara para ahli. Hisab imkan rukyah adalah yang paling mendekati persyaratan yang dituntut fiqih dalam penentuan waktu ibadah.

Pertanyaan

Bagaimanakah dengan kekeliruan yang terjadi pada hisab?

Jawaban

Kekeliruan utama perhitungan (hisab) terletak pada kesalahan objektif, misalnya kesalahan menghitung, kesalahan memasukkan atau menggunakan data, menggunakan tabel, atau kesalahan menggunakan anggapan ilmu pengetahuan.

Walaupun demikian, ini masih lebih baik daripada kesalahan subjektif. Ada perbedaan antara dua kesalahan ini. Kekeliruan objektif dengan mudah diketahui secara terbuka dan rasional; sedangkan kekeliruan subjektif sulit diketahui orang lain, karena sulitnya mengukur kondisi kejiwaan seseorang.

Selain dapat segera diketahui, kesalahan objektif pun dapat segera ditanggulangi. Misalnya, untuk menghindari kekeliruan pemasukan data dan perhitungan, digunakan peralatan seperti kalkulator dan komputer.

Pemasukan data juga dibuat lebih otomatis. Misalnya program komputer mawaqit rancangan ICMI Orsat Belanda memerlukan pemasukan data tahun, bulan, tanggal rukyah, dan tempat (tepatnya posisi atau koordinat) rukyah. Lewat program komputer ini, dalam waktu beberapa detik dapat diketahui posisi hilal, ketinggian dan azimutnya, waktu matahari terbenam, kapan bulan (hilal) terbenam, berapa kuat cahaya hilal dibandingkan dengan cahaya bulan purnama, dan sebagainya. Dengan bantuan komputer, kekeliruan objektif manusiawi dapat dihindari, paling tidak diminimalkan.

Baca juga:   Biografi Imam Ahmad bin Hanbal dan Fitnah Khalqul Quran pada Masa Al-Makmun dan Al-Mu’tashim

Karena cepatnya perhitungan, maka untuk menekan keleiruan sampai sekecil-kecilnya, perhitungan dengan komputer ini dilakukan berulang-ulang sampai diyakini tidak ada kesalahan pemasukan data. Ini mudah dilakukan karena sekali perhitungan hanya memerlukan waktu kurang dari semenit. Tentu saja, cara ini sulit dilakukan lewat cara tradisional yang menggunakan tangan.

Hisab urfi yang tujuannya terbatas menentukan apakah suatu bulan qamariyah itu 29 atau 30 hari, tentu tidak banyak membutuhkan komputer. Berbeda halnya dengan hisab taqribi maupun tahqiqi, yang dapat dilakukan dengan bantuan komputer lewat proses pemasukan data (data entry) secara berulang-ulang.

Pertanyaan

Apakah dengan komputer, tidak akan ada lagi kesalahan hisab?

Jawaban

Tidak demikian. Komputer hanya memperkecil tingkat kesalahan di dalam proses perhitungan. Sebagaimana kita ketahui, di dalam proses perhitungan, sumber kesalahan adalah:

Kesalaha acak (random error) berupa:

  1. Kesalahan memasukkan data.
  2. Kesalahan melakukan langkah-langkah matematis.
  3. Kesalahan membaca hasil perhitungan

Kesalahan sistemik berupa:

  1. Ketidaktelitian bahkan kesalahan rumus yang dipakai.

Dengan kelebihannya, komputer bisa memperkecil kesalahan. Namun, jika sistem yang digunakan -misal rumus, cara dan urutan perhitungan- sejak awal sudah salah, maka tetap akan terjadi kekeliruan. Sebaliknya, walaupun rumus-rumus akurat -misalnay dengan dukungan ilmu astronomi mutakhir, urutan perhitungan yang tepat, dan program komputer yang benar- jika data yang masuk salah, maka hasilnya tetap salah.

Semboyan canda dalam dunia komputer adalah garbage in garbage out artinya walaupun komputernya canggih dan perangkat lunaknya bagus, jika data yang dimasukkannya ternyata salah (istilahnya sampah) maka yang keluar sampah juga. Jika rumus dan atau teori yang digunakan keliru, maka semua alat bantu -termasuk komputer canggih- tetap menghasilnya perhitungan yang keliru.

Karena banyaknya cara melakukan hisab, banyak rumus dan cara perhitungan, daru yang berupa pendekatan (hisab urfy) berdasarkan perhitungan dengan landasan asumsi geometris sampai kepada yang paling mutakhir, yaitu menggunakan ilmu astronomi modern dengan bantuan komputer. Bukan saja hasilnya, seringkali kesimpulannya juga berbeda.

Pertanyaan

Apakah yang dimaksud dengan ‘hasil’ hisab dan ‘kesimpulan’ hisab?

Jawaban

Hasil hisab adalah data yang menunjukkan kapan bulan dan matahari berada dalam kedudukan ijtima’, berapa altitude dan azimut bulan ketika matahari terbenam, kapan bulan terbenam, dan sebagainya. Ini semua merupakan hasil hisab. Hasilnya bisa berbeda sedikit ataupun banyak antara satu dengan yang lain, bergantung pada cara hisabnya.

Kesimpulan hisab adalah pernyataan kapan tibanya suatu awal bulan qamariyah. Misalnya, jika pada suatu petang, hilal masih berada di bawah ufuk, maka dapat disimpulkan bahwa esok harinya belum masuk bulan baru qamariyah, dan mungkin baru lusanya. Namun, jika berdasarkan cara hisab yang lain, dipastikan bulan sudah berada di atas ufuk lebih dari 6 derajat, maka esok harinya masuk bulan baru.

Hasil hisab bisa berlainan, misalnya satu menghitung ketinggian 6.0 derajat, yang lain 6.2, 5.8, 7, 6.4 dan sebagainya. Namun demikian, semuanya menuju kesimpulan yang sama, yaitu esok hari sudah masuk bulan baru.

Pertanyaan

Jika astronomi mutakhir dan cara hisab sudah sedemikian akurat, mengapa tidak digunakan untuk penentuan waktu ibadah?

Jawaban

Hisab itu hanya berua perkiraan, yang tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Ini adalah sebab teknis, mengapa hisab tidak digunakan sebagai pegangan. Yang lebih penting adalah pertimbangan syariat.

Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dinyatakan, “Berpuasalah setelah melihat bulan dan berlebaranlah karena melihat bulan. Jika langit tertutup awan, lakukanlah pengkadaran”.

Hadis ini menyatakan secara tersurat bahwa yang diperintahkan itu adalah melakukan rukyat, bukan hisab. Ada pula hadis yang menyatan “Kami kaum yang ummi, tidak mengenal tulis serta tidak mengenal cara menghitung tahun”.

Pertanyaan

Apa yang dimaksud dengan rukyah?

Jawaban

Pertanyaan

Adakah kekeliruan manusiawi dalam melaksanakan rukyah?

Jawaban

Pertanyaan

Dikatakan bahwa rukyah hilal mempunyai potensi kekeliruan yang lebih besar daripada perhitungan. Dimanakah letak sumber kekeliruan ini?

Jawaban

….

Pertanyaan

Apakah pengetahuan bisa mempengaruhi hasil rukyah bil fi’il?

Jawaban

INSYA ALLAH AKAN DITAMBAH LAGI TULIS ULANG DARI BUKU 100 MASALAH HISAB DAN RUKYAT.

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembaca blog sederhana ini. Mohon maaf jika ada kesalahan tulisan dan komentar dari kami. Selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadan.

Jumal Ahmad

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *