Secara ringkas kepemimpinan politik dalam Islam sebagaimana disebutkan Imam Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah bertujuan untuk
إقامة الدين و سياسة الدنيا به
Menegakkan Islam dan mengelola urusan dunia dengan Islam.
Inti kepemimpinan politik adalah kekuasaan dan kedaulatan. Penguasa memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan apa saja di wilayah kedaulatannya tanpa intervensi pihak luar.
Kedua misi tersebut – menegakkan Islam dan mengelola urusan dunia dengan Islam – gagal dilaksanakan oleh pemimpin negeri ini. Mungkin lebih tepat bukan gagal, tapi tak ada agenda untuk itu. Bahkan mungkin belum mengerti sama sekali bila penguasa punya kewajiban itu yang kelak akan ditanya oleh Allah.
Saat fungsi dasar kekuasaan ini tak dilaksanakan oleh penguasa, fungsi ini harus tetap ada yang mengemban dalam batas kemampuan. Dan itu adalah ulama.
Ulama punya peran ganda dalam realita saat ini: memandu umat dengan ilmu dan mengawal penegakan Islam dengan kekuatan yang bisa dihimpun dari umat.
Sungguh aneh jika dalam kondisi seperti ini ulama/kyai/dai hanya mau mengurusi ilmu dan menolak untuk menjaga Islam dengan kekuatan. Argumennya simpel, karena sudah ada ulil amri. Padahal “ulil amri” sudah jelas gagal menjalankan amanat Allah terkait kekuasaan.
Kasus Ahok menjadi potret nyata fungsi ganda ulama. Mereka panutan ilmu sekaligus pemimpin lapangan dalam upaya menghukum penista Al-Quran. Dan “ulil amri” mengambil posisi masa bodoh dengan penistaan itu, bahkan menemui perwakilan umat Islam pun enggan dalam demo akbar 4 Nopember 2016 kemarin.
Selain “ulil amri” yang tak peduli, ada sebagian dai yang juga tak mau peduli. Dengan jargon salafi dan sunnah yang selalu menghiasi bibir, memberi arahan agar umat cukup duduk di masjid untuk mengembalikan masalah ini kepada taqdir Allah.
Sudah tahu “ulil amri” gagal memikul amanat Allah, bahkan menghalangi pembelaan Islam, masih juga diberi gelar ulil amri yang harus ditaati. Kalau bukan penjilat, adakah sebutan lain?
Sumber: Ustadz @elhakimi