Berpikir Reflektif dalam Al-Quran

Al-Quran telah menyampaikan metode pendidikan dan pembangunan karakter yang sempurna untuk menjadi  manusia yang mulia dan bertaqwa. Hadits Nabi juga mengambarkan dengan jelas bagaimana praktek Nabi Muhammad SAW dalam membangun akhlak/karakter sesuai petunjuk Al-Quran.


Ayat Al-Quran yang menjadi landasan dalam berpikir reflektif adalah Al-Quran Surat Al-Hasyr : 18. Ayat ini secara eksplisit mengajak umat Islam untuk berpikir mandiri, mampu melakukan meta-level reflection dan menjadi decison maker untuk diri sendiri.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab. Perhatikanlah apa yang kamu tabung untuk dirimu dari amal shalih untuk hari kebangkitanmu dan saat kamu dihadapkan kepada Rabb-mu.”

Dalam sebuah hadits disebutkan siapa yang paling cerdas? Lalu Nabi Muhammad Saw menyebutkan adalah yang mampu menahan nafsunya dan mencari bekal untuk kehidupan setelah di dunia.

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

”Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Ta’ala“. (HR. Ahmad, Turmudzi, Ibn Majah – dhaif).

Ayat dan hadits di atas menjadi pijakan dalam Meta-Level Reflection yaitu (1) mampu mengukur kekurangan diri sendiri, (2) mampu mengukur kelebihan diri sendiri, (3) belajar dari kesalahan dan dan (4) apa yang harus dilakukan ke depan (what I need, What I have to do), selanjutnya mengeluarkan komitmen (iltizamun nafsi) atau kemampuan mengikat diri dengan disiplin.

Anak didik belajar membaca kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri. Sementara pendidikan saat ini, sekolah berlomba mencari anak didik, sementara karakter pribadi anak tidak dikembangkan, yang harus dibangun adalah kemampuan merefleksikan diri sendiri dan anak mampu hidup di kondisi terburuk sekalipun.

Baca juga:   Muhammad Abdullah Draz: Biografi dan Pengenalan Pemikirannya

Perkembangan anak muncul dari faktor eksternal, secara formal seperti buku, nasehat guru, dan informal seperti aturan sekolah atau pesantren, disilpin-disiplin di sekolah atau pesantren. Tidak ada komitmen dalam diri anak sementara komitmen akan masuk jika timbul dari dalam diri (internal). Nilai-nilai luhur apapun yang ditanam pada diri anak seperti menghormati, tanggung jawab, integritas dan lain sebagainya tidak akan berhasil selama tidak ditanam dari diri anak (internal).

Problematika saat ini adalah pejabat, pemimpin dan yang dipimpin tidak bisa mengoreksi kesalahan diri sendiri, tidak bisa menentukan masa depan mana yang harus dilakukan yang terbaik karena tidak ada kemampuan membaca kekurangan diri sendiri, itulah yang harus diasah dalam pendidikan karakter yaitu Meta-Level Reflection.

Analogi berpikir reflektif seperti seseorang yang berdiri di depan kaca, ia dapat melihat secara sempurna penampilannya di kaca, dari penglihatannya itu, ia dapat menghasilkan penilaian sendiri terhadap dirinya, apakah ada yang kurang atau lebih.

Konsep berpikir reflektif dalam Al-Quran juga diterangkan dalam Surat Ali Imran ayat 190-191.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.

Pada ayat tersebut, kata yatafakkaru mengandung arti kontempalasi yang berarti merenung yakni membulatkan pikiran dan perhatian terhadap sesuatu.

Baca juga:   Keseimbangan antara Ilmiah dan Spiritual: Belajar dari Nabi Musa dan Khidhir

Menurut Yusuf Qardhawi dalam objek berpikir dalam Al-Quran ada tiga yaitu:

  1. Alam semesta, dengan memaksimalkan seluruh potensi manusia untuk berpikir atas proses penciptaan langit dan bumi dengan segala isi kandungannya serta segala proses yang teratur supaya mendapatkan kesimpulan bahwa segala penciptaan ada hikmahnya.
  2. Berpikir tentang dimensi-dimensi maknawi, menalar tidak hanya materil saja akan tetapi maknanya juga.
  3. Ayat-ayat wahyu, memikirkan kandungan ayat wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
  4. Tafakkur secara total, tuntutan ayat di atas memiliki dua tahapan yaitu agar manusia kembali kepada Allah baik berdua atan sendiri dan supaya mau menalar dengan akalnya.
  5. Al-Quran.

Maka konsep berpikir reflektif dalam al-Quran adalah untuk mewujudkan lahirnya kemampuan berpikir seseorang yang mampu merefleksikan kebenaran-kebenaran Tuhan di dalam kehidupannya. Jika sudah demikian, maka apapun bentuk pengaruh terhadap dirinya tentang hal-hal yang berkaitan keyakinan atau akidah tidak akan mampu mempengaruhinya.

Contoh penting dalam berpikir reflektif adalah Nabi Muhammad (sall Allāhu alayhi wa sallam). Dia biasa pergi ke Gunung Hirā’ dan tinggal di sebuah gua untuk beribadah dan merenung. Meluangkan waktu untuk duduk dalam keheningan dan berpikir adalah jalan Beliau mendapatkan bimbingan. Ketika wahyu datang kepada Nabi, dia akan merenung dan mentadabburinya.

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

29. Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. Surat Shad ayat 29.

Para sahabat pun terbiasa duduk dan merenung bersama tentang akhirat. Tapi, ketika mereka kembali ke istri, anak-anak, dan bisnis mereka, mereka akan lupa. Khawatir menjadi munafik mereka akan pergi dan mencari nasihat dari Nabi (sallAllāhu alayhi wa sallam).

Di sini kita melihat bahwa para sahabat Nabi merenungkan keadaan diri mereka sendiri. Mereka mendatangi Nabi untuk menjawab pertanyaan mereka dan menasihati mereka.

Dikisahkan, pada suatu ketika, Abu Rib’i Hanzhalah bertemu dengan Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq yang menanyakan keadaannya, ia berkata, “Hanzhalah telah munafik!!”

Baca juga:   Al-Qur'an, Pendidikan Terbaik Untuk Generasi Terbaik

“Subhanallah,” kata Abu Bakar, “Apa yang engkau katakan, wahai Hanzhalah…!!” lanjut Abu Bakar.

“Ketika aku sedang di hadapan Rasulullah SAW, dan beliau menceritakan tentang surga dan neraka maka seakan-akan aku melihat dengan mata kepalaku. Tetapi jika aku keluar dari hadapan Rasulullah SAW dan bergaul dengan istri dan anak-anak serta menghadapi berbagai urusan lainnya, aku jadi lupa…” jelas Abu Rib’i Hanzhalah bin Rabi RA.

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku juga seperti itu…”

Hingga kemudian, mereka berdua sepakat pergi menemui Rasulullah SAW untuk menanyakan masalah tersebut. Ketika sudah menghadap Rasulullah SAW, Hanzhalah berkata, “Wahai Rasulullah, Hanzhalah telah munafik!!”

“Kenapa demikian?” tanya Rasulullah SAW.

Hanzhalah lalu menjelaskan apa yang dirasakan dan sedang dialaminya tersebut, juga dikuatkan dengan pendapat Abu Bakar. Dengan tersenyum Rasulullah SAW bersabda,

“Demi Zat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, seandainya engkau sekalian dapat tetap keadaannya seperti ketika di hadapanku, dan selalu mengingat-ingatnya, pastilah para malaikat akan menjabat tanganmu di tempat-tempat tidur kalian dan juga di jalan-jalan. Wahai Hanzhalah, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat…!” [HR. Muslim]

John R. Baird dkk dalam penelitiannya tentang ‘The importance of reflection in improving science teaching and learning‘ menyebutkan tentang pentingnya refleksi dalam proses belajar dan mengajar. Dan pengajaran dan didikan Nabi Muhammad Shallahu Alaihiwasallam terhadap para Sahabat menunjukkan bahwa sistem pendidikan Nabi Muhammad Shallahu Alaihiwasallam mampu mendorong refleksi yang sebenarnya dengan meningkatkan individu dalam pengetahuan, kesadaran dan kontrol diri yang lebih baik.

Jumal Ahmad | Islamic Character Development

Referensi:

Baird, J. R., Fensham, P. J., Gunstone, R. F., & White, R. T. (1991). The importance of reflection in improving science teaching and learning. Journal of Research in Science Teaching28(2), 163-182. https://doi.org/10.1002/tea.3660280207

Artikel terkait di Web

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

  1. Ini topik menarik, mas. Konsep berpikir kritis dalam pendidikan Islam itu sudah banyak dibahas di beberapa artikel jurnal dan banyak yang menarik.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *