Sebelum membahas pada permasalahan tentang hijab dalam resepsi pernikahan. Kami berikan pendahuluan tentang pengertian dan hukum tabarruj. Sejak dekade abad kedua puluh muncul seruan-seruan kebebasan untuk kaum hawa yang diluncurkan lewat slogan “emansipasi wanita”, yang secara teori mencakup dua hal; “kebebasan wanita” dan “kesetaraan gender” yang keduanya merupakan konsep Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan akal dan syariat, tidak pernah dikenal kaum muslimin sebelumnya.
Di daerah Timur Tengah propaganda emansipasi wanita mulai didengungkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Wanita) yang mendapat dukungan dari Ratu Nazili Abdurrahim Shabri dan Saad Zaghlul, kemudian Nazhirah Zainuddin dalam bukunya Al-Sufur wa al-Hijab. Dan di Indonesia oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar lewat bukunya Paradigma Baru Teologi Perempuan, Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci, Argumen Kesetaraan: Perspektif al-Quran, Agama dan Seksualitas dan Siti Musdah Mulia lewat bukunya Perempuan dan Muslimah Reformis dan Islam menggugat Poligami.
Pengertian dan hukum dari Tabarruj dan Sufur
Makna Tabarruj lebih umum dari kata Sufur. Kata sufur digunakan lebih khusus, yaitu menyingkap penutup wajah. Sedangkan makna kata tabarruj adalah menyingkap sebagian badan wanita atau memperlihatkan perhiasannya yang semestinya tertutup bagi pandangan laki-laki yang bukan mahrahmnya.
Di antara berntuk tabarruj itu adalah dengan ikhtilath (membaur) antara wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya, saling bersentuhan dengan badan mereka, baik dengan bersalaman atau berdesak-desakan di kendaraan, gang-gang yang sempit dan lain sebagainya.
Al-Quran, sunnah dan ijma’ ulama telah sepakat untuk mengharamkan wanita yang bertabarruj, yaitu dengan menampakkan sebagian tubuhnya atau perhiasannya di mata laki-laki yang bukan mahramnya atau berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan
Dalam al-Quran disebutkan:
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur: 30)
Dalam as-sunnah disebutkan:
Dari Ummu Salamah ra dikatakan bahwa apabila Rasulullah saw mengucapkan salam, kaum wanita langsung berdiri. Sementara ketika selesai mengucapkan salam, Rasulullah saw diam sejenak sebelum berdiri. Ibnu Syihah berkata, Menurutku (tapi Allah lebih tahu) diamnya Rasulullah tersebut dimaksudkan agar kaum wanita sudah habis pergi sebelum mereka bertemu dengan kaum laki-laki yang pulang. (HR Bukhari)
Rasulullah saw bersabda, Bagaimana jika kita biarkan pintu ini untuk kaum wanita. Setelah mendapati kaum wanita berdesak-desakan dengan kaum pria ketika keluar dari masjid. (hadits Shahih berdasarkan kesepakatan ulama)
Dan dari ijma’ para ulama atas larangan tindakan tabarruj, sebagaimana yang diuraikan oleh Imam al-Shan’ani dalam Hasyiyahnya, Minhaj al-Ghaffar ‘ala Dhaui ‘al-Nahar 4/2011-2012. Juga berdasarkan ijma’ sukuti (praktis) bahwa kaum muslimin tidak melakukan tabbarruj pada zaman Rasulullas saw dan mereka tetap menutup tubuh dan perhiasannya. Hal itu tetap berlangsung sampai runtuhnya khilafah Utsmani tahun 1924 M.
Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu bentuk dari tabarruj adalah ikhtilath, hukum dari ikhtilath atau berbaurnya antara laki-laki dan perempuan menurut syariat adalah haram. Begitu juga semua faktor yang bisa mengakibatkan munculnya fenomena pembauran antara laki-laki dan perempuan, dan menghapuskan sunnah untuk saling menjauhi di antara mereka adalah diharamkan dalam agama.
Haruskah Membuat Hijab Ketika Resepsi Pernikahan?
Dari penjelasan di atas tentang hukum tabarruj dan ikhtilath maka dalam resepsi pernikahan diharuskan untuk dibuat hijab sehingga resepsinya dilakukan masing-masing, resepsi khusus laki-laki dan resepsi khusus wanita.
Dalam hal ini Syaikh bin Baz pernah ditanya tentang hukum resepsi-resepsi yang dihadiri oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dan beliau menjawab: Hendaknya resepsi-resepsi itu tidak dilakukan dengan ikhtilath (campur-baurnya kaum laki-laki dengan kaum wanita), tapi hendaknya dilakukan masing-masing, resepsi khusus laki-laki dan resepsi khusus wanita. Adapun ikhtilath, ini suatu kemungkaran dan termasuk perbuatan jahiliyah, naudzubillah min dzalik.
Dan bagi seorang ikhwan atau akhwat yang ingin melaksanakan resepsi pernikahannya dengan cara yang islami hendaknya mensosialisasikannya jauh hari karena pemahaman orang tua terhadap keutamaan pelaksanaan resepsi pernikahan secara islami tidak datang tiba-tiba dan membutuhkan waktu. Selain itu mereka juga perlu untuk membicarakan teknis pelaksanaan karena terkadang pihak orang tua tidak setuju dengan pelaksanaan walimah dengan tabir hanya karena solusi yang kita berikan tidak memuaskan mereka.
Dan sekarang membuat resepsi pernikahan yang islami tidak terlalu sulit karena sudah ada beberapa jasa penyelenggaraan resepsi pernikahan yang mempunyai paket pemisahan antara ikhwan dan akhwat yang tidak monoton menggunakan tabir, tetapi menggunakan dekorasi pemisahan dengan cara mengatur pohon kelapa mini dari plastik, bunga-bungaan, pagar-pagaran yang cantik, atau dengan dekorasi kain-kain tile yang dihiasi dengan pita-pita cantik.
Dengan cara yang demikian, jika ada anak laki-laki balita yang biasa lengket dengan ibunya, tidak terlalu panic dipisahkan dengan ibunya, begitu juga dengan anak perempuan yang biasa manja dengan ayahnya tidak akan menangis karena tidak melihat wajah sang ayah.
Selanjutnya, agar sebuah acara walimah berjalan secara Islami dan mendapatkan barakah dan ridho Allah Swt, haruslah memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, tempat duduk tamu laki-laki dan perempuan harus terpisah ( infishal ). Setidaknya ada hijab yang membatasi antara tempat duduk laki-laki dan perempuan. Karena Islam mengharamkan adanya campur-baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat) kecuali dalam hal-hal tertentu seperti pada pelaksanaan ibadah haji di Masjidil Haram.
Kedua, makan dan minum dengan cara yang Islami. Tidak diperbolehkan makan dan minum dengan berdiri. Hal ini berdasarkan larangan dari Rasulullah Saw. Dari Anas dan Qatadah, Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah berkata, ”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu kebih buruk lagi”. ( HR. Muslim dan Turmidzi ). Hadits yang lain dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” ( HR. Muslim ). Maka penyelenggara walimah tidak diperbolehkan mengadakan standing party. Harus disiapkan tempat duduk untuk seluruh tamu yang hadir.
Jika sahibul bayt berpandangan bahwa merokok itu haram, maka sebaiknya diumumkan kepada hadirin baik di dalam undangan maupun di tempat acara, agar tidak merokok saat acara walimah berlangsung.
Ketiga, para tamu undangan diminta untuk mengenakan busana yang syar’i, yang menutup seluruh auratnya. Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang ( biasa ) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…….” ( QS. An Nuur [24] : 31 ).
Keempat, tidak berjabat tangan dengan selain mahramnya. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menyalami perempuan yang berba’iat kepadanya dalam Baia’tur Ridlwan.
Kelima, tidak diiringi dengan tarian dan nyanyian ( musik ) yang tidak Islami. Diperbolehkan adanya rebana dan nyanyian yang dilantunkan oleh anak-anak kecil, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian ( yang dimainkan oleh anak-anak kecil )” ( HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Al Hakim ).
Demikianlah setidaknya hal-hal yang harus diperhatikan saat menyelenggarakan resepsi pernikahan. Jika berkaca pada budaya resepsi yang saat ini tengah menjamur, sekilas nampaknya aturan diatas akan sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi dengan persiapan yang matang dan komunikasi yang baik antara kedua mempelai, kedua keluarga dan diumumkan kepada para undangan, niscaya hal diatas menjadi mudah untuk dilakukan. Semua demi mengharapkan berkah dan ridho dari Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab