Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak mengharap pahala dan tidak merasa takut akan azab-Nya, melakukan aktifitas tanpa mengharap keridhaan Allah subhaanahu wa ta’ala. Maka mereka tidak berhak mendapatkan pahala karena mereka tidak meniatkan amal perbuatan mereka untuk menggapai ridha Allah subhaanahu wa ta’ala.
Bahkan orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan kesesatan mereka, jelas-jelas mereka berpaling, enggan menerima agama Allah dan mendustakannya. Mereka apabila mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, merendahkan dan mempermainkannya. Oleh karena itu, mereka akan disiksa karena kekafirannya dan amal perbuatan mereka akan tertolak.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (Qs. Al-Furqan [25]: 23)
Pada ayat yang lain:
“Perumpamaan orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (Qs. Ibrahim [14]: 18)
Perbuatan-perbuatan baik seperti sedekah dan amal kemanusiaan niscaya akan dihitung dalam neraca orang mukmin pada hari kiamat. Tetapi, perbuatan-perbuatan itu, semuanya sia-sia bagi orang kafir, tidak akan dihitung dan ditimbang. Semua perbuatan baik orang-orang kafir bagaikan debu yang berterbangan kkarena tidak dilandasi iman kepada Allah dann mengharap ridha-Nya.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliput oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabial dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun”. (Qs. An-Nur [24]: 39-40)
“Thomas Alfa Edison – penemu listrik itu pasti masuk surga. Sebab, berkat temuannya jutaan umat manusia dapat diterangi dan kita menikmati kenyamanan – kenyaman hidup seperti kulkas dan AC. Itu semua berkat jasa Alfa Edison.”
“Surga atau neraka adalah otoritas Allah. Teori Einstein bisa menjelaskan relativitas waktu perjalanan Nabi pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan buroq. Ilmu modern secara akal bisa diterima dan membenarkan Al-Qur’an.”
Pada saat lain, ada juga orang yang melemparkan pembelaan terhadap (bunda) Theresia. Menurutnya aneh jika orang seperti Theresia tidak bisa masuk surga. Padahal dia dikenal baik, penuh kasih sayang dan suka menolong orang – orang yang membutuhkan.“Ya, meskipun Nasrani. Tapi dia banyak berjasa”.
Beberapa kalangan yang terpikat dengan ekspresi lahir dunia sering berkata seperti itu, “Bagaimana bisa Allah tidak memberikan pahala kepada ilmuwan yang menemukan listrik, pencipta pesawat terbang, peneliti yang menemukan obat, dokter yang mengobati pasien, orang-orang yang memperbaiki jalan, dan kontraktor yang membangun gedung? Apakah lantas Allah subhaanahu wa ta’ala tidak mengganjar perbuatan mereka semua ini? Dan di sisi lain orang yang ber-I’tikaf di masjid yang tidak menyumbangkan amal sedikit pun bagi kemanusiaan diberi pahala dan masuk surga, dan orang-orang di atas masuk neraka, apakah ini adil?”
Itulah keberatan yang sering diajukan, seakan-akan mereka ingin mengatakan, “Sepanjang anda melakukan kebaikan dan berbuat baik kepada Allah, maka Allah akan menerima amal dan perbuatan anda serta mengganjarnya”.
Atau pernyataan lain “Bahwa orang yang selamat adalah siapa saja dan apapun agamanya, selama memberi kontribusi yang baik bagi kemanusiaan di dunia ini. Surga menurut mereka, tidaklah didominasi oleh kelompok agama tertentu, namun dimiliki semua orang. Siapapun bisa memasukinya walau melewati jalur (agama) yang berbeda.” Mereka mengibaratkan seperti orang yang menuju suatu kota sama, bisa melalui jalur yang berbeda – beda sesuai asal tempat tinggalnya.
Mereka adalah orang-orang yang mengkondsikan pahala dan siksa sesuai tolak ukur hawa nafsu, lalu mereka hendak menetakannya pada Allah. Untuk menjawab pernyataan mereka ini, kami akan mencantumkan keterangan dari Syaikh Abdul Majid Az-Zindani dan Buya Hamka dalam tafsirnya terhadap surat Az-Zalzalah ayat 7-8.
Keterangan Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
Syaikh Abdul Majid Az-Zindani memberikan sebuah perumpamaan yang mudah dicerna dalam bukunya Al-Iman.
“Seorang pria memasuki kebun besar yang bukan miliknya. Di kebun itu, ia menemukan berbagai macam buah-buahan dan hidangan. Tanpa pikir panjang dia memakan dan meminumnya. Kemudian, ia melakukan aktifitas di dalamnya, pohon ini dia tebang sedangkan pohon yang lain dia tanam, dinding sebelah sini ia robohkan dan lubang sebelah sana dia tutup, dan jalan-jalan setapak ia rubah.
Kemudian, ada pria lain yang memasuki kebun itu, ia berkata dalam hati, “Saya tidak akan berbuat apa-apa sampai saya berhubungan dengan pemilik kebun ini atau wakilnya”. Kemudian, ia mencari-cari hingga bertemu dengan wakil pemilik kebun. Wakil itu mengecam perbuatan orang yang pertama, namun pria tersebut mengabaikannya dan bertindak di kebun itu semaunya tanpa seizing pemiliknya. Sedangkan, pria kedua mendengarkan arahan dari wakil pemilik kebun dan berbuat sesuai dengan arahan itu. Maka, siapa yang berhak mendapatkan balasan?”
Apakah orang yang masuk ke dalam kebun tanpa mendapatkan izin dari pemilik kebun dan mengabaikan arahan pemilik kebun yang dibawa wakilnya berhak mendapatkan balasan, meskipun ia melakukan perbuatan baik di kebun itu?
Tak diragukan bahwa setiap orang yang berakal akan berkata, “Balasan hanya diperuntukkan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan arahan pemilik kebun. Dan, yang menerobos masuk serta berbuat semaunya tanpa kerelaan pemiliknya, meskipun sudah ada yang memperingatinya, sudah tentu ia tidak berhak mendapatkan balasan yang baik, meskipun ia kadang berbuat baik”.
Demikian pula, bumi seisinya adalah milik Allah dan para Rasul-Nya adalah para wakil. Sedangkan, orang mukmin adalah orang yang berbuat selaras dengan petunjuk Tuhannya. Orang kafir adalah orang yang berbuat tanpa seizing dan petunjuk tuhannya dan pada saat yang sama berpaling dari para utusan Tuhannya.
Lantas, bagaimana orang yang tidak meniatkan amal perbuatannya akan mendapat pahala dari Allah, angkuh terhadap para Rasul, meremehkan petunjuk penciptanya, berpaling serta melakukan kemaksiatan dan dosa yang dilarang Allah, apakah mereka berhak memperoleh pahala?
Ketetapan Allah subhaanahu wa ta’ala atas amal perbuatan orang-orang kafir, balasannya akan disempurnakan dalam kehidupan dunia.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan di rugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan”. (Qs. Hud [11]: 15-16)
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia) tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat”. (Qs. Asy-Syuura [42]: 20)
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya satu kebajikan pun yang dilakukan orang mukmin. Kebaikan itu akan di balasnya di dunia dan akan diganjar di akhirat. Sedangkan orang kafir, kebajikan-kebajikan yang dilakukan bukan karena Allah akan diganjar di dunia, sehingga bila di akhirat tiba tidak tersisa satu kebajikan pun yang akan diganjar lagi”. (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)
Imam Al-Qurtuby ketika menafsirkan firman Allah:
“Katakanlah: “Infakkanlah hartamu baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun infak itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasiq”. (Qs. At-Taubah [09]: 53)
Beliau mengatakan: “Penamaan perbuatan yang muncul dari orang kafir sebagai kebajikan (Hasanah) hanyalah dugaan orang kafir semata. Karena bila tidak demikian, maka ibadah taqarrub tidak sah dilakukan orang-orang kafir, karena tidak terpenuhinya syarat yang membolehkannya yaitu Iman”.
Beliau menyebutkan, kenapa mereka tidak diterima? Jawabannya ada pada ayat selanjutnya yaitu “Dan yang menghalang-halangi infak mereka diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya…”. (Qs. At-Taubah [09]: 54)
Berkata Aisyah radhiyallahu ’anha: “Ya Rasulullah, di masa jahiliyyah Ibnu Jud’an menyambung tali silaturrahim dan memberi makan kepada orang miskin. Apakah hal itu dapat memberikan manfaat bagi dirinya?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjawab: “Semua itu tidak akan memberikan manfaat baginya karena sesungguhnya dia tidak pernah seharipun berdoa: ”Ya Rabbku, ampunilah kesalahanku pada hari Kamat.” (HR Muslim 315)
Siapa yang memungkiri bahwa bersilaturrahmi dan memberi makan orang miskin adalah termasuk perbuatan baik? Namun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam secara tegas menyatakan bahwa itu semua menjadi sia-sia karena selama Ibnu Jud’an melakukannya tidak pernah sekalipun ia bermunajat kepada Allah dan mengharapkan pengampunan Allah di hari Berbangkit untuk segenap kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya. Artinya ia melakukan segenap amal kebaikan tersebut tanpa dilandasi iman kepada Allah dan Hari Akhir.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang kafir jika berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia. Adapun orang mu’min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya di akherat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta’atannya.” (HR Muslim).
Keterangan Buya Hamka dalam Tafsir Surat Az-Zalzalah ayat 7-8
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan setimbang debu pun, niscaya dia akan melihatnya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan setimbang debu pun, niscaya dia pun akan melihatnya”. (Az-Zalzalah ayat 7-8)
Di dalam kedua ayat ini disebut Dzarrah; supaya lebih populer kita artikan saja dengan debu. Padahal Dzarrah lebih halus dari debu. Di zaman modern ini, setelah orang menyelidiki ilmu-ilmu fisika, maka atom dipakai dalam bahasa seluruh dunia untuk menyebut kata Dzarrah. Ahli fiska Arab menyebut juga Dzarrah sebagai al-Jauhar Fard, suatu benda sangat halus yang tidak dapat dibagi lagi.
Lantaran itu boleh jugalah kita artikan “Dan barangsiapa yang mengerjakan setimbang atom pun dari kebaikan, niscaya dia akan melihatnya”. Hal ini menjadi bukti bahwa tidak ada satu pun yang tersembunyi di sisi Allah dari amalan manusia dan kegiatan hidupnya, supaya dibalas dan diganjari setimpal dengan perbuatannya.
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya menegaskan, ayat ini telah menyatakan bahwa segala amalan dan usaha, baiknya dan buruknya, besarnya dan kecilnya, akan dinilai oleh Allah. Baik yang berbuatnya itu orang beriman ataupun orang kafir. Hanya saja, amal kebaikan orang kafir tidak terlepas daripada hukuman kekafirannya.
Beliau kemukakan sebuah ayat di dalam surat Al-Anbiya ayat 47, “Bahwa di Hari Kiamat itu alat-alat penimbang akan diletakkan dengan sangat adil, sehingga tidak ada satu diri pun yang akan teraniaya, walaupun sebesar biji daripada hama (telur hama), semuanya akan diperhitungkan.”
Demikian juga orang yang telah mengaku beriman kepada Allah dan Rasul. Meskipun dia telah mengaku beriman, namun dosanya, kesalahan, atau kejahatannya akan dipertimbangkan dan diperlihatkan. Jika dia tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, siksaan yang akan diterimanya tidaklah seremuk sehina orang yang kafir; atau bisa juga akan diampuni Allah dosa-dosanya seperti disebut dalam hadis sahih.
Maka tersebutlah Hatim Ath-Tha’i, dermawan Arab beragama Nasrani yang terkenal di zaman jamiliyah akan diringankan azabnya di neraka, karena di kala hidupnya sangat dermawan. Dan Abu Lahab, paman Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam yang sangat terkenal benci kepada keponakannya yang menjadi Nabi itu, pun akan diringankan azabnya; karena dia pernah suka cita ketika Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam lahir ke dunai, sampai disediakannya jariahnya bernama Tsuwaibah untuk menyusukan Nabi, sebelum disusukan oleh Halimah Sa’diyah.
Dan sudah tentu azab siksaan yang akan diterima Abu Thalib yang mengasuh Nabi Shallallahu Alaihiwasallam sampai beliau menjadi Rasyl dan membelanya sampai akhir hayatnya, tidak disamakan dengan azab siksaan yang akan diterima oleh Abu Jahal. Selanjutnya tidaklah sama azab terhadap Ahlu Kitab yang terang mempercayai nabi-nabi dengan azab terhadap orang-orang ateis yang sama sekali tidak mempercayai adanya Allah. Dan keringanan yang akan diterima oleh Thomas Alva Edison tentu tersedia, karena jasanya menemukan alat-alat listrik yang akan dipergunakan juga untuk melakukan dakwah Islam.
Selain dari itu, ayat ini pun menjadi obat sitawar sidingin bagi orang-orang yang beramal dengan ikhlas untuk agama, untuk bangsa dan perikemanusiaan, tetapi mereka dilupakan sejarah, misalnya karena kepentingan politik. Meskipun di dunia mereka dilupakan orang, namun kebaikan dan jasanya di kala hidupnya tetap tercatat di sisi Allah dan akan dihadapinya kelak di Hari Akhirat. (Tafsir Juz Amma, Buya Hamka, GIP, 2015, hal. 272-273)
Terakhir, semoga tulisan ini bermanfaat dan mari kita berdoa semoga Allah menerima amal kebaikan kita di dunia dan di akhirat “Ya Rabb kami, berilah kami hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah (kebaikan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Referensi: