Urgensi Kajian Historiografi Periode Sahabat

Pendahuluan

Seiring dengan permulaan penulisan dan pembukuan hadits Nabi saw., segala informasi yang berhubungan dengan para sahabat Nabi saw. menjadi salah satu materi yang sangat penting. Bahkan, para penulis dan kompilator hadits mengkhususkan bab tertentu yang memuat seluk beluk mereka, terutama para sahabat yang tergolong al-sabiqun al-awwalun, yang mereka namakan Bab Fadha’il al-Shahabah, Manaqib al-Shahabah atau redaksi sejenisnya.

Penulisan tentang para sahabat terus berkembang, tidak hanya kesaksian Rasulullah saw. kepada mereka sebagai orang-orang terbaik umat ini atau status mereka sebagai sumber berita seputar peristiwa yang meliputi kehidupan Nabi saw., tapi pandangan-pandangan mereka pun mendapat sorotan tersendiri. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap sekian banyak nash dan terobosan-terobosan ijitihad yang mereka lakukan, terutama setelah kepergian Nabi saw, dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi sebuah model yang terus memberi inspirasi kepada generasi-generasi berikutnya.

Karya-karya seperti Muwaththa’ Malik dan Musnad Ahmad banyak memuat pandangan dan praktik para sahabat yang lebih dikenal dalam istilah Ilmu Hadits sebagai riwayat dengan sanad al-Mauquf. Lebih jauh lagi, Ibn Jarir al-Thabari berusaha menghimpun dan mengulas dengan menonjolkan aspek-aspek fiqih yang cukup kompleks dalam riwayat-riwayat mauquf tersebut. Upaya al-Thabari dalam kitab Tahdzib al-Atsar ini sebenarnya mendapat apresiasi luar biasa dari ulama-ulama besar sekaliber al-Khathib al-Baghdadi dan al-Dzahabi, namun semuanya menyayangkan al-Thabari tidak sempat merampungkannya.

Prolog di atas hanya sekelumit dari persoalan kesejarahan yang terkait dengan periode sahabat Nabi saw, yang menegaskan sebenarnya masih banyak aspek yang tidak ditonjolkan dalam penulisan dan pengkajian sejarah periode emas ini. Buku-buku sejarah kontemporer yang mengulas para sahabat masih lebih menonjolkan aspek individual (biografi) dan perpolitikan. Padahal, konstruksi peradaban Islam yang mereka menjadi fondasi utamanya membutuhkan elaborasi lebih banyak materi yang sangat kompleks ketimbang dua aspek tersebut.

Fakta ini mendesak kita semua untuk berpikir ulang dan merenung lebih dalam, bahwa masih terlalu banyak aspek kesejarahan periode para sahabat Nabi saw. yang belum tergali. Bahkan, masih banyak hikmah dan ibrah yang masih terpendam, yang jika ditemukan, akan sangat berguna sebagai penunjuk umat menuju jalan kebangkitan dan kejayaannya kembali.

Urgensi Historiografi Periode Sahabat

Sejak lebih seribu tahun, umat Islam memandang para sahabat Nabi saw sebagai generasi terbaik yang dilahirkan peradaban Islam. Dasarnya jelas, Al-Qur’an berkali-kali memuji mereka, baik dalam kapasitas individu maupun genarasi yang utuh. Merekalah yang paling pantas menyandang predikat umat terbaik (khayr ummah) yang dikeluarkan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia.

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali Imran: 110).

Predikat yang sama diberikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari seluruh sahabat Nabi saw, para sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Merekalah al-sabiqun al-awwalun yang telah dipastikan meraih keridhaan Allah swt, seperti dinyatakan dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (al-Taubah: 100).

Kedudukan sangat istimewa juga diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu,

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan setara dengan satu mudd atau setengahnya dari sedekah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah kedudukan para sahabat Nabi saw. yang telah digariskan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Karya-karya besar mereka mendapat penghargaan abadi dari dua sumber yang sedikit pun tidak diragui kebenarannya. Perjalanan hidup mereka, dengan segala keragaman kondisi dan dinamikanya sebagai manusia yang terbatas, adalah teladan yang paling ideal bagi seluruh manusia dan sepanjang masa. Karena itulah, Allah swt. menggariskan takdir mereka harus mengalami berbagai kondisi yang lazim dialami oleh seluruh manusia baik dalam skala individu maupun masyarakat.

Fenomena kaya dan miskin, krisis ekonomi dan kemajuannya, suhu politik yang normal dan kekacauan pun mereka alami semuanya. Namun yang pasti, dalam semua kondisi tersebut mereka menunjukkan kapasitas individu dan masyarakat ideal yang berusaha sekuat tenaga menggabungkan antara idealisme wahyu dan realitas.

Keutuhan keteladanan ini dipahami betul oleh sosok Abdullah ibn Umar ra., seorang sahabat utama yang banyak mengalami peristiwa besar hingga periode Bani Umayyah (wafat 73H). Kepada murid-muridnya dari generasi Tabi`in, Ibn Umar ra. berpesan,

“Siapa yang mencari teladan, hendaklah meneladani orang-orang yang telah meninggal, yaitu sahabat-sahabat Muhammad saw. Merekalah genarasi terbaik umat ini, hati mereka lebih bersih, ilmu mereka lebih dalam, dan mereka sangat jauh dari sikap berlebihan. Merekalah generasi yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya saw. dan menyampaikan agama-Nya. Maka teladanilah akhlaq dan jejak hidupnya, karena mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad saw. dan telah mendapat petunjuk yang lurus”.

Demikianlah pemahaman umat Islam tentang masalah ini. Namun seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan Islam, pemahaman ini perlu penyegaran kembali. Kredibilitas para sahabat sebagai fundamen aktif peradaban Islam, tidak hanya dipertanyakan, melainkan sedang diruntuhkan dengan cara yang sistematis. Seandainya langkah-langkah destruktif ini dilakukan oleh non muslim (baca: orientalis), barangkali akan lebih mudah disikapi. Tapi ketika pelakunya adalah orang Islam sendiri maka tak pelak akan menimbulkan dampak yang luar biasa besar.

Baca juga:   Multipleks Ontologi Ibnu Khaldun

Setidaknya, umat menjadi bingung dan mulai meragukan kebenaran sejarahnya sendiri. Akhirnya, umat akan mengidap amnesia sejarah dan kehilangan jati diri, karena tidak lagi dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari model generasi paling ideal sepanjang zaman.

Framework Kajian Sejarah Periode Sahabat

Sebagai periode yang sangat menentukan perjalanan sejarah Islam, wajar jika peristiwa-peristiwa yang melibatkan para sahabat Nabi saw. terekam dengan cukup detail dalam karya-karya besar sejarawan klasik. Namun, banyaknya karya sejarah klasik tidak serta merta dapat menampilkan wajah sejarah Islam sebenarnya. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya yang tidak dapat diulas lebih jauh di sini.

Bagi umat Islam masa kini, persoalan ini semakin menyedihkan. Buku-buku sejarah Islam yang banyak beredar saat ini menjadi buktinya. Aspek perselisihan diberi porsi yang lebih besar dari semestinya, bahkan cenderung mengesankan sejarah Islam penuh dengan intrik-intrik politik dan kekuasaan yang berkuak darah. Padahal, jika dilihat dari cakrawala yang lebih luas, sejarah Islam merupakan implementasi utuh dari nilai-nilai Islam dan pengejawantahan ajaran-ajaran wahyu.

Dan, periode Rasulullah saw. dan para sahabat adalah priode paling ideal yang mencerminkan nilai-nilai agung tersebut. Karena itu, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penulisan sejarah Islam saat ini tidak komprehansif, bahkan data-data yang digunakannya pun lebih banyak yang tidak valid.

Ada tiga faktor yang sangat menentukan kajian sejarah periode sahabat, sejarah Islam secara umum. Faktor-faktor ini membentuk framework kajian sejarah yang saling terkait dan terintegrasi. Jika semua atau salah satu faktor ini tidak terpenuhi maka kekeliruan dalam menampilkan sejarah tidak mungkin terelakkan.

1. Cara Pandangan Islam

Islam memandang sejarah sebagai satu kesatuan penciptaan (al-khalq) sebagai ruang ujian (al-ibtila’) untuk mengusung risalah Allah swt. (al-taklif). Karenanya, kedatangan Islam adalah rangkaian tak terpisahkan dari dakwah para nabi dan rasul sepanjang masa. Lahirnya generasi sahabat merupakan bukti keberhasilan penerapan nilai-nilai wahyu dalam tatanan kehidupan nyata. Al-Qur’an tidak jarang memuji dan menyanjung para sahabat, bahkan Allah swt. menyatakan langsung keridhaan-Nya kepada mereka. Karenanya, apa pun yang terjadi pada mereka, termasuk perselisihan yang memicu peperangan, dan lain sebagainya, tidak mengeluarkan para sahabat dari garis keridhaan Allah swt. Mereka tetap mendapat ridha, dan tentu saja, surga-Nya.

“Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (al-Hujurat: 9).

Dalam catatan sejarah, dua golongan (kubu) yang pertama kali berhadapan dan terlibat peperangan adalah kubu `Aisyah dan kubu Ali dalam perang Jamal, lalu kubu Mu`awiyah yang juga berhadapan dengan kubu Ali dalam perang Shiffin. Dengan demikian, meskipun mereka bentrok dan perang, tidak satu pun keluar dari garis keimanan, karena Al-Qur’an menyebut kedua kelompok tersebut sebagai orang yang beriman. Karena itulah, pandangan kelompok Khawarij dan Syi`ah ekstrem yang mengkafirkan mereka gara-gara perang tersebut tidak dapat dibenarkan.

2. Kritik Berita (Riwayat) Sejarah

Sebelum masuk tahap kritik riwayat sejarah, sumber-sumber (rujukan) kajian sejarah Islam mesti lebih dulu menjadi perhatian. Sumber-sumber yang dimaksud terbagi dua kategori:

  1. Sumber yang digunakan untuk menimbang bobot berita atau riwayat sejarah
  2. Sumber yang digunakan untuk menafsirkan sejarah.

Termasuk kategori pertama adalah buku-buku Musthalah al-Hadits, kritik sumber berita (al-Jarah wa al-Ta`dil), dan biografi sumber berita (al-Thabaqat dan al-Rijal). Sedangkan untuk membangun penafsiran sejarah, maka sumber-sumbernya sama dengan sumber pandangan hidup Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang tersebar dalam sekian banyak karya hadits; al-Shahih, al-Sunan, al-Jami`, al-Musnad, al-Mushannaf, al-Mu`jam dan lain-lain. Juga, karya-karya yang menjelaskannya (al-Syuruh).

Buku-buku tersebut harus menjadi framework kajian sejarah Islam. Sedangkan buku-buku yang memuat materi-materi sejarah, seperti al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishaq, al-Maghazi karya al-Waqidi, Futuh al-Buldan karya al-Baladzuri, al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa`ad, al-Akhbar al-Thiwal karya al-Dinawari, Tarikh al-Thabari, Jamharat al-Ansab karya al-Kalbi, Nasab Quraisy karya al-Zubairi dan lain-lain, tidak dapat dijadikan acuan kajian sejarah. Buku-buku tersebut memuat berita-berita yang masih harus dikritisi dan diteliti kebenarannya.

Dengan mengenal sumber-sumber tersebut maka proses verifikasi dan kritik riwayat sejarah dapat dilakukan dengan tepat. Meskipun kaedah yang akan digunakan untuk mengkiritik riwayat sejarah adalah kaedah kritik hadits, namun penerapannya mesti lebih fleksibel. Penerapan metode kritik riwayat hadits sendiri menjaga aspek fleksibelitas ini. Ulama hadits menyeleksi riwayat-riwayat tentang hukum dan aqidah dengan kaedah yang sangat ketat, tapi riwayat-riwayat tentang al-Raqaq, al-Targhib wa al-Tarhib, sejarah dan sastera diseleksi dengan kaedah yang lebih longgar.

Penerapan metode kritik ini tampaknya sulit diwujudkan, karena harus melibatkan sekian disiplin ilmu dan rujukan yang tidak lagi populer dalam kajian kontemporer, terlebih lagi di Indonesia. Tapi pada kenyataannya, hingga kini telah lahir puluhan karya sejarah yang menerapkan metode tersebut. Memang, dibutuhkan kesungguhan yang luar biasa untuk dapat melahirkan satu karya yang menerapkan metode ini. Tapi hasilnya sangat efektif dalam menampilkan wajah sejarah Islam yang ideal.

Misalnya karya Dr. Muhammad al-Ghabban, Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan ra. Buku yang mulanya adalah tesis master di Universitas Islam Madinah ini dapat dirampungkan al-Ghabban setelah meneliti lebih dari 2000 riwayat dari puluhan sumber yang mencantumkannya. Seluruh riwayat tersebut diverifikasi dan diklasifakasikan sesuai tingkat kualitasnya; shahih,dha`if (lemah) dan maudhu` (palsu). Hasilnya cukup mencengangkan, fitnah (kekacauan) yang berakhir dengan pembunuhan Usman ra. ternyata terlalu dibesar-besarkan hingga melebihi proporsinya, banyak riwayat palsu yang memperburuk gambarannya, banyak distorsi dan penafsiran miring atas riwayat-riwayat yang benar. Kuatnya pemberitaan fitnah tersebut menutup sekian banyak nilai-nilai luhur yang ditunjukkan Usman ra. dan para sahabat, sehingga kebanyakan orang hanya mengenal masa pemerintahan Usman ra. sebagai masa fitnah.

Baca juga:   Mengapa Kepemimpinan Syiah Diserahkan Kepada Keturunan Husain?


3. Penafsiran Sejarah

Setelah memastikan kebenaran fakta sejarah, penafsiran baru dapat dilakukan. Artinya, penafsiran mesti berdasarkan fakta yang benar. Penafsiran sejarah Islam mesti dibingkai pandangan hidup Islam, karena pandangan hidup tersebutlah yang mendorong perilaku orang-orang yang meyakininya. Gerakan futuhat (perluasan wilayah Islam) yang berkembang pesat sejak akhir masa pemerintahan Abu Bakar dan dilanjutkan Umar ra. tidak dapat ditafsirkan sebagai perluasan imperialisme ala Eropa. Futuhat adalah upaya perluasan pengaruh dakwah untuk menyebarkan nilai-nilai tauhid, menghapus kezaliman dan membangun dunia yang berkeadilan. Buktinya jelas, tidak ada pemiskinan daerah untuk memperkaya pusat (Madinah). Jizyah (pajak) hanya dibebankan kepada warga non muslim laki-laki yang produktif dan besarannya disesuaikan tingkat kemakmuran ekonomi setempat.


Contoh Penyimpangan dan Pelurusannya

Berikut adalah beberapa contoh penyimpangan pada penulisan sejarah periode sahabat Nabi saw. yang dilakukan oleh sejarawan kontemporer. Sebagian datanya diambil dari rujukan-rujukan klasik, tapi tidak jarang membeberkan suatu ‘fakta’ tanpa menjelaskan rujukan, melainkan memulainya dengan asumsi dan mentupnya dengan interpretasi spekulatif.


Pertemuan Saqifah Bani Sa`idah


Saqifah adalah tempat berteduh yang juga biasa digunakan sebagai balai pertemuan sebuah keluarga besar. Bani Sa`idah adalah salah satu klan Khazraj atau dari kalangan Anshar. Di Saqifah Bani Sa`idah inilah terjadi pertemuan sangat penting yang berakhir dengan keputusan besar, Abu Bakar ra. ditetapkan sebagai suksesor Rasulullah saw. atau Khalifah. Peristiwa ini mendapat sorotan sangat tajam dari berbagai kalangan, terutama Syi`ah yang memang doktrin kepemimpinan Islam ditetapkan berdasarkan teks (nash/washiyah) dari Rasulullah saw. kepada Ali ra.

Selain itu, peristiwa ini juga sering dikaitkan dengan kasus friksi pertama dalam tubuh umat Islam, mengingat ada beberapa kubu yang dianggap berkepentingan dengan kekuasaan dan tidak mungkin dikompromikan. Detailnya, Philip K. Hitti menjelaskan setidaknya umat Islam terbagi menjadi empat kubu sesaat setelah Rasulullah saw. wafat. Motif perpecahan ini, jelas Hitti, adalah kepentingan kekuasaan.

Empat kelompok yang dimaksud adalah,

  1. Muhajirin, dengan argumen mereka satu suku dengan Nabi saw.
  2. Anshar, dengan argumen mereka adalah peribumi yang melindungi Rasulullah saw.
  3. Kaum Legitimis yang meyakini kepemimpinan telah ditetapkan secara langsung dan tekstual oleh Nabi saw. kepada Ali ra.
  4. Banu Umayyah sebagai klan paling berpengaruh pada masa pra Islam yang kemudian menegaskan hak mereka sebagai penerus Nabi saw.

Untuk menjelaskan masalah sepenting ini, Hitti tidak menyebut satu pun rujukan yang dikutipnya. Hal ini tentu terlalu janggal, apalagi persepsi yang akan terbangun menimbulkan dampak yang sangat krusial.

Friksi senada dinyatakan oleh O. Hashem dalam bukunya, Saqifah; Awal Perselisihan Umat, “Jelas bahwa pencalonan Abu Bakar mendapat perlawanan hebat dari kaum Anshar maupun Ali bin Abi Thalib serta pengikutnya. Sesuai dengan peryataan Umar itu, ada tiga kelompok yang muncul ke permukaan, tepat setelah wafatnya Rasul Allah saw.”. Tiga kelompok yang dimaksud O. Hashem adalah kelompok Ali ra., kelompok Umar ra. dan Kelompok Anshar.

Uniknya, pengelompokan ini menurut O. Hashem sudah terbentuk sejak Rasulullah saw. masih hidup dengan tujuan yang sama, meraih kekuasaan setelah beliau wafat. Kelompok-kelompok ini telah mengangkat calon masing-masing untuk memangku kursi kepemimpinan yang kelak kosong dan keberadaannya diketahui dengan baik oleh Rasulullah saw.

Karena itu, menurut O. Hashem, ada kolerasi yang sangat erat antara pengiriman pasukan Usmah bin Zaid ra. ke Syam di akhir hayat Nabi saw. dengan suksesi yang ‘dikehendaki’ beliau. Gejalanya jelas, Nabi saw. menyuruh seluruh sahabat utama bergabung dengan pasukan ini, termasuk Abu Bakar ra. dan Sa`ad bin `Ubadah, ‘calon’ dari kelompok Umar ra. dan Anshar. Sementara Ali ra. diminta untuk tetap berada di Madinah. Perjalanan pasukan ini setidaknya akan menghabiskan masa satu bulan, sehingga akan memudahkan Ali ra. untuk mengambil alih kekuasaan setelah Nabi saw. wafat yang memang terjadi hanya beberapa hari setelah mengumumkan misi militer tersebut. “Banyak ulama berpendapat bahwa tindakan Rasul Allah saw mengirim pasukan ini ke Suriah ialah untuk memudahkan Rasul Allah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib menjadi pengganti beliau”. Demikian kesimpulan O. Hashem.

Perdebatan di Saqifah memang adalah fakta yang diriwayatkan oleh sumber-sumber yang kuat. Tapi friksi atau perpecahan umat seperti yang digambarkan oleh Philip K. Hitti dan O. Hashem di atas adalah hipotesa interpretatif dari teks-teks yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut.

Suksesi kepemimpinan Islam adalah satu keniscayaan yang tentu disadari oleh semua sahabat kala itu, tapi siapa dan bagaimana suksesi itu dilakukan tidak pernah dibicarkan sebelumnya. Persoalan teknis inilah yang mengundang Umar ra. dengan beberapa tokoh Muhajirin untuk segera menemui Anshar yang dikabarkan sedang mengadakan pertemuan di Saqifah untuk memilih suksesor setelah Rasulullah saw. wafat. Prinsip syura’ menjadi alasan utama, sehingga pemimpin yang kelak ditunjuk benar-benar legitimate.

Umar ra. memandang, jika suksesi kepemimpinan tidak dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen umat maka akan menimbulkan kekacauan politik dan keamanan yang sangat berbahaya. Inilah alasan yang dikemukakannya kemudian hari ketika menceritakan mengapa dia merespons pertemuan Saqifah dengan begitu cepat, “Siapa yang membai`at pemimpin tanpa bermusyawarah dengan kaum muslim, maka jangan diterima pembai`atannya agar keduanya tidak jadi korban pembunuhan”.(HR. al-Bukhari, 6830).

Memang keputusan pertemuan Saqifah untuk membai`at Abu Bakar ra. terkesan ‘terburu-buru’ karena masih banyak tokoh-tokoh sahabat utama yang tidak terlibat, termasuk Ali ra. dan lain-lain. Umar ra. pun mengakui proses pembai`atan Abu Bakar ra. di Saqifah tidak ideal, tapi ada dua alasan mengapa itu dilakukan dan tetap legitimate,

Baca juga:   Biografi Imam Ja'far As-Shadiq, Perbandingan Sunni Syiah dan Serial Imamul Fuqaha'

Pertama; Pembai`atan harus dilakukan secepat mungkin karena mempetimbangakan kondisi internal kaum muslim di Madinah yang membutuhkan pemimpin baru secepatnya untuk mengatur segala sesuatu, termasuk pemakaman Rasulullah saw. dan kondisi eksternal untuk menutup spekulasi-spekulasi politik di wilayah-wilayah baru Islam. Gejalanya jelas, al-Aswad al-Anasi di Yaman dan Musailimah al-Hanafi di Yamamah telah mendeklarasikan dirinya sebagai nabi, jauh-jauh hari sebelum Nabi saw. wafat.

Kedua; Faktor individu Abu Bakar ra. yang terlalu istimewa di mata umat Islam sehingga semua pihak dipastikan akan menerima kepemimpinannya. Umar ra. mengingatkan hal ini kepada segenap sahabat di kemudian hari, “Pembai`atan Abu Bakar terjadi secara spontan. Memang itulah yang terjadi, tapi Allah telah menghindarkan dampak buruknya. Soalnya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang bisa diterima oleh semua orang, selain Abu Bakar”.(HR. al-Bukhari, 6830).

Pertemuan Saqifah dan perdebatan yang akhirnya menghasilkan pembai`atan Abu Bakar ra. merupakan bukti paling kuat, bahwa tidak ada nash atau wasiat yang secara definitif menunjuk pemimpin pengganti Rasulullah saw. Ini jelas membantah hipotesa Philip K. Hitti yang menyebut ada kelompok legitimis yang meyakini keberadaan nash tersebut. Jika ada, berarti seluruh sahabat termasuk Ali ra. sendiri dan ‘kelompoknya’ termasuk yang berkhianat terhadap ketetapan wasiat Rasulullah saw. tersebut. Dan, kesimpulan ini jelas tidak dapat diterima.

Polarisasi atau pengelompokan itu sendiri merupakan hipotesa yang dangkal, apalagi keberadaan kelompok Bani Umayyah seperti dinyatakan Philip K. Hitti dan pengakuan O. Hashem bahwa kelompok-kelompok itu sudah terbentuk sejak Nabi saw. masih hidup. Umar ra. sendiri menyatakan dalam pidatonya di hadapan para sahabat, yang tentu saja masih banyak di antara mereka adalah pelaku dan saksi peristiwa Saqifah, bahwa pembai`atan Abu Bakar ra. terjadi secara spontan (faltah) karena faktor-faktor aktual yang sangat mendesak.

Di sisi lain, pidato Umar ra. ini juga menggugurkan hipotesa adanya ‘pencalonan’ yang diusung masing-masing kubu. Apalagi jika dilihat dari pernyataan langsung Abu Bakar ra. terkait siapa yang sepatutnya diba`at di Saqifah, “Aku telah meridhai yang akan menjadi pemimpin kalian adalah salah satu dari dua orang ini yang paling kalian kehendaki”. Sambil memegang tangan Umar ra. dan Abu `Ubaidah ra. yang menyertainya dalam pertemuan tersebut.

Kesimpulan O. Hashem berkenaan dengan kekelompokan ini sangat naif dan sulit dicerna logika, apalagi iman. Bagaimana tidak, Rasulullah saw. sudah mengetahui keberedaan kelompok-kelompok itu berikut ‘calon-calon’ yang diusung untuk memperebutkan kekuasaan setelah beliau wafat. Lalu, celakanya, beliau sengaja menyuruh Sa`ad bin `Ubadah ra. dan Abu Bakar ra. untuk bergabung dengan pasukan Usamah ke Syam, agar setidaknya mereka berdua tidak berada di Madinah saat beliau wafat dan memuluskan jalan Ali ra. menuju tampuk kekuasaan sebagai penggantinya?!

O. Hashem sepertinya tidak sadar kalau kesimpulannya itu memberi citra yang sangat buruk terhadap para sahabat utama, termasuk Ali ra. bahkan Rasulullah saw. Mereka digambarkan sebagai manusia yang tidak punya moralitas politik dan kemaruk kekuasaan sehingga menggunakan intrik-intrik yang lazim digunakan para politisi busuk! (menurut saya – ahmadbinhanbal- O. Hashem bukannya tidak sadar bahkan sebenarnya telah sengaja memberikan citra buruk kepada generasi awal Islam, maklum saja dia adalah seorang Syi’ah tulen yang buku-buku karangannya telah merepresentasikan kebenciannya kepada para sahabat Nabi)

Bagaimanapun, Saqifah menghasilkan konsensus politik yang berakhir dengan pembai`atan Abu Bakar ra. sebagai Khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah saw. Tidak ada seorang pun yang menolak hasil ini, karena besoknya dilakukan pembai`atan umum di Masjid Nabawi.

Sementara Ali ra., menurut Ibnu Hibban dan ulama hadits lainnya membai`at pada pertemuan umum tersebut, meskipun ada riwayat yang jelas lebih kuat baru membai`at beberapa bulan berikutnya, setelah Fathimah ra. wafat. Keterlambatan Ali ra. bukan karena tidak menerima kekhalifahan Abu Bakar ra. tapi karena alasan-alasan kekeluargaan terkait dengan silang pendapa Fathimah ra. dan Abu Bakar ra. berkenaan dengan ‘warisan’ Nabi saw. Hal ini dikemukakan dengan jelas oleh Ali ra. sendiri kala hendak berbai`at, “Kami tahu betul keistimewaan dan kelebihan yang diberikan Allah kepadamu. Kami sama sekali tidak bermaksud menyaingimu dalam kebaikan yang dianugerahkan Allah kepadamu. Akan tetapi keputusan harga matimu dalam masalah itu (waris, penj.). Kala itu kami memandang punyak hak atasnya karena hubungan kekeluargaan kami dengan Rasulullah saw.”


Oleh: Asep Sobari, Lc. Diposting ulang oleh Jumal Ahmad

Tambahan dari Jumal Ahmad tentang O. Hashem

O. Hashem dilahirkan di Tondano, Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1936. Ia menyelesaikan SD dan SMP di Tondano dan di SMA Negeri Manado pada tahun 1953. Tahun 1963, O. Hashem pindah ke Bandung dan aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Muhammadiyyah, PERSIS, PUI (Persatuan Umat Islam) Jawa Barat dan lain-lain.

Pada tahun 1970, ia bekerja di sebuah PUSKESMAS di daerah terpencil di Kota Agung, Lampung. Tulisan-tulisannya seperti: Rohani Jasmani dan Kesehatan (1957), KeEsaan Tuhan (1962), Marxisme dan Agama (1963), Menaklukkan Dunia Islam (1965), Jawaban Lengkap kepada Pendeta Prof. Dr. J. Verkuyl (1968), Saqifah: Awal Perselisihan Umat(1987), Syi’ah Ditolak Syiah Dicari (2000), Haji Mengikuti Jalur Para Nabi (2000), Darah dan Airmata (2001), Muhammad Sang Nabi (2005), “Benarkah ‘Aisyah Menikah di Usia Dini?” dan “Wafat Rasulullah & Suksesi speninggal Beliau di Saqifah” (1987).

Artikel terkait di website tentang Historiografi dalam Islam

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *