AHMADBINHANBAL.COM – Salah satu indikator haji mabrur adalah kesediaan berbagi rasa dengan sesama manusia, mampu menyumbangkan sebagian harta kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa.
Haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal dan bersih agar mabrur. Hal itu karena mabrur atau maqbul atau diterima atau diridhoi Allah SWT. Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan tuntunan Nabi Muhammad SAW dengan berpedoman kepada syarat-syarat dan rukun berhaji.
Agar bisa melaksanakan ibadah haji yang baik dan benar maka kita (Anda) harus berupaya meraih haji mabrur dengan menata niat berhaji yang benar, semata-mata karena Allah SWT. Kemudian menyiapkan bekal berhaji yang cukup dari harta yang bersih dan halal. Mempelajari manasik haji dengan baik dan benar agar dalam pelaksanaan berjalan dengan baik dan benar.
jamaah haji yang meraih haji mabrur pada dasarnya memiliki indikator yang jelas. Meraih haji mabrur pada dasarnya bisa dievaluasi yakni terlihat ketika sebelum melaksanakan ibadah haji dengan setelah melaksanakan ibadah haji.
Ketika selesai melaksanakan ibadah haji atau setelah pulang melaksanakan ibadah haji maka kehidupan para jamaah haji menjadi lebih baik daripada sebelum haji. Baik dalam arti kehidupan yang berhubungan dengan Allah SWT dan juga yang berhubungan dengan sesama manusia.
Hal ini sejalan dengan hadist Nabi Muhammad SAW berikut;
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُقالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Artinya, “Tidak ada balasan (yang layak) bagi jamaah haji mabrur selain surga. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian,’” (HR Ahmad).
Selanjutnya, kami bagikan biografi dari Abdullah bin Mubararok dan kisahnya dengan Ali bin Muwaffaq.
Biografi Abdullah bin Mubarak
Nasab
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan namanya “Ibnul Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H.
Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh, Syeikh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan).
Guru dan murid Abdullah bin Al-Mubarak
Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadits, sehingga beliau memiliki guru yang sangat banyak. Di antara guru beliau adalah Sulaiman At-Taimi, ‘Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Rabi’ bin Anas, Hisyam bin ‘Urwah, Al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Khalid Al-Hadza’, Barid bin Abdillah, dan masih banyak deretan ulama lainnya. Bahkan, beliau juga menulis hadits dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau.
Murid beliau juga sangat banyak; tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap Ibnul Mubarak bersafar, banyak orang yang menimba ilmu dari beliau. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma’in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Mani’, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin ‘Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya.
Wafatnya Ibnul Mubarak
Beliau meninggal di ranjang, sepulang dari peperangan melawan Romawi. Tepatnya, di daerah Hait, pada bulan Ramadan tahun 181 H. Semoga Allah merahmati Imam Abdullah bin Al-Mubarak. (Adz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Maktabah Asy-Syamilah, volume 1, hlm. 275)
Abdullah bin Mubarak dan Ilmu Pengetahuan
Ibnu Mubarak apabila datang musim haji maka orang-orang dari penduduk Muru berkumpul disisi beliau sambil mengatakan, “Kami ingin pergi haji bersamamu”. Beliau mengatakan, “Mari, sini kumpulkan harta perbekalan kalian”.
Beliau lalu mengumpulkan bekal mereka lalu meletakan disebuah kotak kemudian menguncinya. Selanjutnya beliau berkumpul dan keluar bersama-sama dari Muru menuju Baghdad sedang beliau yang menanggung semua kebutuhan perjalanan mereka. Memberi makan dengan makanan yang paling mewah, menjamu dengan buah-buahan yang lezat.
Dari sana kemudian mereka lanjutkan perjalanan keluar dari Baghdad dengan pakaian yang paling indah dan bagus sampai akhirnya mereka sampai dikota Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampainya disana beliau menanyakan satu persatu, “Apa yang engkau inginkan sebagai oleh-oleh untuk keluargamu? Mereka menjawab, “Ini dan itu”.
Lalu mereka keluar dari Madinah menuju Makah, manakala mereka telah selesai melaksanakan manasik ibadah haji, beliau bertanya kembali pada setiap orangnya, “Hadiah apa yang engkau sukai untuk diberikan kepada keluargamu dari cendera mata Makah? Mereka menjawab, “Ini dan itu”. Beliau pun membelikan keinginan mereka semua.
Kemudian mereka keluar dari Makah untuk kembali kekampung halaman, dan beliaulah yang menanggung semua biaya perjalanan sampai akhirnya mereka sampai di Muru dan kembali kerumahnya masing-masing. Manakala tiga hari sesudah kepulangan mereka, beliau mengundang dan menjamu makan dirumahnya, tatkala mereka sudah makan dan merasa senang, beliau lalu meminta pegawainya untuk mengambilkan kotak yang berisi uang mereka, beliau membuka lalu mengembalikan kepada mereka semua sesuai dengan nama-nama yang tercantum pada kotak tersebut.
Tatkala beliau ditegur kenapa beliau lebih memilih untuk membagi-bagi harta dipenjuru negeri dan tidak lebih mementingkan negerinya. Beliau beralasan, “Sesungguhnya aku mengetahui tempat orang-orang yang punya keutamaan, jujur, dan senang mengumpulkan hadits dan tekun didalam mencarinya demi kebutuhan manusia terhadap mereka jikalau mereka membutuhkan. Jika sekiranya kita tinggalkan mereka tentu akan sia-sia ilmu yang mereka miliki. Dan bila kita bantu mereka, maka mereka akan mudah untuk menyebarkan ilmu kepada umatnya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang aku tidak mengetahui setelah kenabian yang lebih utama dari pada rumah ilmu”.
Inilah pesan tersirat bagi para pebisnis agar mereka senang untuk menginfakkan hartanya kepada para fakir, orang-orang yang membutuhkan, penuntut ilmu, program kebaikan, serta yayasan sosial. Sesungguhnya, dengan melakukan hal tersebut akan menjadikan harta dan kekayaannya berbarokah.
Abdullah bin Mubarak dan ِAli bin Muwafaq tentang Haji Mabrur
Suatu saat ketika Abdullah bin Mubarak sedang naik haji dan dirinya tertidur di Masjidil Haram kala menuaikan ibadah haji. Ia pun bermimpi. Dalam mimpinya beliau bertemu dengan dua orang malaikat yang saling bercakap-cakap.
Seorang malaikat bertanya pada malaikat yang lain, “Berapa jumlah orang yang menunaikan ibadah haji pada tahun ini?” kata salah satu diantara keduanya. “Enam ratus ribu,” jawab malaikat satunya. Lalu malaikat yang tadi bertanya lagi, “Berapa yang diterima hajinya?” Malaikat yang satunyapun menjawab,” Tidak ada yang diterima.”
Mendengar percakapan itu, Abdullah bin Mubarak menjadi terguncang dan hatinya merasa pedih. Kemudian iapun menangis. “Semua orang yang ada di sini telah datang dari berbagai penjuru bumi. Dengan dengan kesulitan yang besar dan keletihan semuanya menjadi sia-sia?” pikir Ibnu Mubarak dalam mimpinya.
Tiba-tiba salah satu malaikat berkata lagi. “Kecuali hanya seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Muwaffaq. Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Bahkan berkat dialah ibadah seluruh jamaah haji ini diterima oleh Allah.”
Ketika Abdullah Ibnu Mubarak mendengar percakapannya itu, beliau terbangun dari mimpinya dan membuatnya tercenung. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, berangkatlah Abdullah bin Mubarak ke Damaskus. Mulai menelusuri jejak Ali bin Muaffaq di lorong-lorong kota. Sampai akhirnya tempat tinggal Muwaffaq ditemukan.
Sesampainya dirumah yang dicarinya, Syeikh Abdullah bin Mubarak kemudian mengetuk pintu.“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” sapanya sambil mengetuk pintu. Setelah itu si empunya rumah membuka pintunya.
Ibnu Mubarak menanyakan tentang namanya, orang itu menjawab, “Namaku Ali bin Al-Muwaffaq.” “Apa pekerjaanmu?,” sergah Ibnu Mubarak. “Aku ini tukang sol sepatu, pekerjaanku adalah memperbaiki sepatu,” jawab pria itu.
Ibnu Mubarok langsung ceria karena ia sudah bertemu orang yang membuatnya penasaran. “Aku ingin berbincang denganmu, di sana ada masjid, mari berbincang di sana. Aku akan menceritakan apa yang kulihat di mimpiku. Aku adalah Abdullah bin Mubarak.” Mendengar cerita tersebut, Muwaffaq lalu menangis dan jatuh pingsan.
Ketika tersadar Abdullah Mubarak memohon agar Muwaffaq berkenan untuk menceritakan semua yang dialaminya terkait dengan hajinya. Kemudian Muaffaq pun beriksah perihal rencananya untuk menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan bahwa selama 40 tahun punya keinginan besar untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk itu dirinya telah berhasil mengumpulkan uang sebanyak 350 dirham dari berdagang sepatu. Dia berkata pada dirinya sendiri, ‘Sabarlah, barangkali tahun ini aku bisa mendapatkan 50 dirham, hingga genaplah 400 dirham agar bisa menunaikan haji’”.
Suatu ketika, istrinya yang sedang hamil mencium aroma sedap makanan yang dimasak tetangganya. Kemudian sang istri memohon kepada Muaffaq agar dapat mencicipi masakan tetangganya itu walau sedikit. Lalu Muwaffaq pergi menuju tetangga yang kebetulah di sebelah rumahnya. Sesampai di rumah tetangganya itu Muwaffaq mengutarakan maksud kedatangannya. Pemilik rumah itu adalah seorang tetangga perempuan yang menjanda.
Tetangga tersebut berkata, ‘makanan ini haram bagimu tetapi halal bagiku’, lelaki itupun bertanya, ‘kenapa makanan ini haram bagiku tetapi halal bagimu?”. Sambil menangis, tetangga tersebut berkata “Saudaraku, aku mempunyai anak-anak yatim yang masih kecil. Mereka seminggu ini belum makan. Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu,” ungkapnya sambil sesunggukan dan berderai airmatanya.
Seketika itu hati Muwaffaq menjadi terenyuh. Ia kemudian pulang ke rumah dan mengambil tabungan yang terkumpul untuk berhaji dan diberikan kepada tetangganya yang membutuhkan itu. “Belanjakan uang ini untuk anakmu,” kata Muwaffaq. Saat itu ia berkata dalam hati,“Hajiku cukup di depan rumahku, semoga Allah mencukupkan derma ini untuk menunaikan haji bagiku.”
Ibnu Mubarak yang mendengar itu kemudian berkata, “Engkau benar, benarlah malaikat dalam mimpiku. Allah Maha Adil dalam hukum dan keputusan. Allah Maha Mengetahui tentang hakikat segala sesuatu.”
Ibnu Mubarak kemudian memberikan kabar bahwa Allah tidak hanya menerima pahala haji darimu saja tetapi juga semua oran yang berhaji lantaran Anda
***
Bagi Anda yang paham bahasa Arab, saya sarankan menyimak kisahnya dari paparan Syaikh Ramdhan Al-Buthi berikut, jika ada kekurangan dalam kisah yang kami tulis, bisa rujuk ke video kisah dari Syaikh Ramdan Al-Buthi ini.
Allah bersama Orang yang Susah
Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk saling kasih mengasihi Dan sayang menyayangi. Dan menjadikan kasih sayang in sebagai tuntutan Iman dan salah satu jalan yang menyebabkan pelakunya masuk ke dalam Surga Allah SWT ketika Dia menganugerahkan mereka dengan catatan amal baik dengan tangan sebelah kanan.
Allah SWT berfirman, “Dan dia (tidak pula) termasuk orang orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (Qs. Al-Balad: 17-18)
Di antara bentuk Rahmat adalah membantu orang yang kesusahan. Membantu meringankan kesusahan dari mereka yang mengalami kesusahan adalah hal yang diperintahkan oleh Islam. Hal itu adalah gambaran kasih sayang dan gambaran adanya Rahmat yang sangat terpuji bagi orang yang melakukannya.
Allah akan mengganjar orang yang memiliki Rahmat seperti itu dengan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Orang yang berbelas kasih akan dikasihi dan orang yang memiliki rasa Rahmat akan dirahmati oleh Allah.
Mari menyimak dan menghayati Hadits qudsi berikut ini yang menunjukkan bahwa Allah Bersama orang yang susah.
Hadits ini mengungkapkan dialog antara Allah dengan hamba-Nya menggunakan kata-kata kiasan. Sebab Allah Maha Suci dari kekurangan dan kelemahan yang biasa menjadi sifat yang melekat pada makhluk.
Lapar, haus dan sakit adalah kelemahan yang melekat pada makhluk dan hal-hal tersebut sama sekali jauh dari sifat-sifat Allah Swt. Maksud dari kata kiasan yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam hadits ini, dalam ilmu balaghah disebut dengan tasybih baligh. Artinya, ungkapan yang sangat mendalam untuk menggambarkan suatu kondisi sehingga pendengarnya ikut larut dalam kesedihan atau kegembiraan, simpati atau antipati terhadap keadaan yang digambarkan oleh pembicara.
Menggunakan ungkapan dengan bahasa kiasan seperti yang diutarakan oleh Rasulullah Saw pada hadits di atas, dimaksudkan untuk mengetuk hati manusia yang paling halus, paling sensitif agar bersungguh-sungguh memperhatikan nasib orang lain yang sedang mengalami penderitaan dan berjuang sepenuh hati untuk menyelamatkan si penderita.
Keselamatan orang lain dikaitkan dengan bantuan yang kita berikan kepadanya membuktikan, bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman kemusnahan atau penderitaan. Sehingga manusia selamat dan hidup sejahtera, aman dan tenteram di dunia ini.
Oleh karena itu, untuk mendorong hati manusia menaruh rasa belas kasih kepada sesamanya, peduli terhadap sesama, Allah gambarkan orang-orang yang sedang sakit atau menderita kehausan dan kelaparan sebagai kondisi yang dialami oleh Allah sendiri.
Sumber:
Maaf, bisa minta referensi nya tentang Ali muwaffaq yg memberikan dana haji nya kepada tetangga nya yg janda dg anak yatim ?
saya share artikel dan video dalam bahasa Arab yang menjadi rujukan artikel saya.
– https://www.djazairess.com/akhbarelyoum/288685
– https://www.youtube.com/watch?v=l8fJVaNbvIU oleh Syaikh Ramdhan Al-Buthi