Analisa Pengaruh Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Dan Fiqhiyyah Terhadap Perbedaan Pendapat Dalam Fiqih (Kasus Hukuman Untuk Tindak Pidana Korupsi)

jika korupsi dinilai sebagai pencurian besar (as-sariqah al-kubra), maka tindak pidana korupsi adalah tindak hirabah atau qath al-thariq (perampokan). Alasannya karena kerusakan (mafasid) dari korupsi bersifat masif dimana yang diakibatkan korupsi lebih besar daripada kerusakan pencurian biasa yang bersifat individual.

Makalah ini dibuat di kelas Magister Sekolahpasca Sarjana UIN Jakarta, klik link PDF ini untuk membaca di Researchgate untuk sitasi makalah.

Sitasi: Jumal Ahmad, Analisa Pengaruh Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Dan Fiqhiyyah Terhadap Perbedaan Pendapat Dalam Fiqih (Kasus Hukuman Untuk Tindak Pidana Korupsi), Researchgate, 2017, http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.2.35190.09289/1

Abstrak

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid FIqhiyyah terhadap perbedaan pendapat dalam fiqih yaitu kasus hukuman untuk tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan ini untuk mengetahui istilah dalam Al-Quran dan Hadits yang pengertian dan unsurnya terkandung dalam pengertian korupsi. Istilah tersebut adalah: ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil secara paksa hak/harta orang lain), sariqah (pencurian), dan khiyânah (pengkhianatan). Dari ayat tersebut dikeluarkan hukum korupsi dengan didukung kaidah fiqih dan ushul fiqih yang sesuai.

Hukuman tindak pidana korupsi bisa dalam bentuk ta’zir (hukuman yang dianggap setimpal dan menjerakan menurut ijtihad hakim) dan bisa dianalogikan dengan tindak pencurian, walaupun tidak sama persis. Namun, jika korupsi dinilai sebagai pencurian besar (as-sariqah al-kubra), maka tindak pidana korupsi adalah tindak hirabah atau qath al-thariq (perampokan). Alasannya karena kerusakan (mafasid) dari korupsi bersifat masif dimana yang diakibatkan korupsi lebih besar daripada kerusakan pencurian biasa yang bersifat individual.

Kata Kunci: Korupsi, Qawaid Ushul, Qawaid Fiqih

Pendahuluan

Salah satu fenomena yang sangat memprihatinkan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia pada beberapa dekade terakhir ini ialah maraknya korupsi. Korupsi, telah menempatkan Indonesia pada jajaran negara terkorup di dunia. Kenyataan ini merupakan suatu ironi, apabila dikaitkan dengan keberadaan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Bahkan, umat Islam negeri ini dikenal sebagai muslim yang paling bersemangat dalam melaksanakan upacara ritual keagamaan (ibadah). Masjid dan mushala ada di mana-mana. Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalisasi praktek-praktek yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Untuk itu perlu kerja keras untuk memperkenalkan konsep Islam dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam masalah konsep korupsi.

Maka dari itu, makalah ini bertujuan menalar lebih jauh tentang aturan normatif korupsi di Indonesia dalam tinjauan Hukum Pidana Islam dengan melihat sisi dalil Al-Quran, hadits dan penerapan kaidah ushul dan fiqihnya.

Pembahasan

1. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Istilah corruptio diserap dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda terbentuk kata corruptie (korruptie). Dari istilah bahasa Belanda inilah yang kemudian dipakai oleh orang Indonesia dalam penyebutan istilah korupsi. Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[1]

Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan korupsi dengan to destroy (menghancurkan) dan bribe (menyuap)[2]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negera atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.[3]

Korupsi dapat didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: Pertama, discretionery cooruption, adalah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik yang dapat diterima anggota organisasi. Kedua, illegal corruption, adalah suatu jenis tindakan yang dimaksudkan untuk mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukumm peraturan dan regulasi tertentu. Ketiga, mercenary corruption, adalah jenis tindak pidana korupsi untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Keempat, ideological corruption, adalah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.[4]

Rumusan Yuridis Korupsi di Indonesia disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bah;wa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[5]

Berdasarkan definisi korupsi yang digambarkan oleh hukum yuridis di atas, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah setiap tindakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuntungan negara atau perekonomian negara digolongkan dalam kejahatan tindak pidana korupsi.

2. Korupsi dalam Perspektif Al-Quran dan Hadits

Istilah korupsi bukan berasal dari bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam. Meski demikian, para ulama menemukan beberapa istilah dalam Al-Quran dan Hadits yang pengertian dan unsurnya terkandung dalam pengertian korupsi. Istilah tersebut adalah: ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil secara paksa hak/harta orang lain), sariqah (pencurian), dan khiyânah (pengkhianatan).

Berikut ini dalil Al-Quran dan Hadits yang menjadi landasan hukumnya.

  1. Ghulul (Penggelapan)

Ayat Al-Quran yang menyebutkan ghulul adalah Qs. Ali Imran ayat 61.

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan dating membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak didzalimi”.

Secara etimologis, dalam al-Mu’jam al-Wasit bahwa kata ghulul berasal dari kata kerja (غلل يغلل), yang dapat diartikan dengan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.

Definisi ghulul secara terminologis dikemukakan oleh Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi yang diartikan mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. Dalam kitab Al-Zawajir dijelaskan bahwa ghulul adalah tindakan mengkhususkan/memisahkan yang dilakukan oleh seorang tentara, baik ia seorang pemimpin atau bukan prajurit terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa menyerahkannya kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima bagian, walaupun harta yang digelapkan hanya sedikit.

Nurul Irfan menyebutkan berdasarkan definisi di atas, awalnya ghulul hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan khianat terhadap harta rampasan perang, Akan tetapi, dalam pemikiran berikutnya berkembang menjadi tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, harta zakat dan lain-lain.[6]

  • Risywah (Suap)

Ayat Al-Quran yang menunjukkan pengertian risywah adalah Qs. Al-Maidah: 42

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.

Menurut Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Talib, makna suht adalah suap.

Hadits yang menerangkan pelarangan perbuatan risywah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ

 “Bahwa laknat Allah akan ditimpakan kepada orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum” (HR.Bukhari)

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Rasulullah melaknat penyuap dan penerima suap dan yang terlibat di dalamnya. (HR. Ahmad)

Az-Zahabi dalam Kitab Al-Kabair memasukkan suap dalam dosa besar yang ke-22.[7]

Risywah berasal dari bahasa Arab (رشا يرشو) yaitu upah, hadiah, komisi, atau suap. Secara terminologi, risywah adalah suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu dengan tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima. Risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi (al-raashi), pihak penerima (al-murtashi) dan barang bentuk serta jenis pemberian yang diserahterimakan.

  • Ghasab (mengambil secara paksa hak orang lain)

Ayat Al-Qur’an yang melarang perbuatan tersebut ada dalam surat An-Nisa:29 dan Al-Baqarah: 188

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisa’: 29)

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah: 188)

Kedua ayat ini menegaskan bahwa Allah melarang memakan harta antara satu orang dengan orang lain secara batil, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan ghasab karena di dalamnya terdapat unsur merugikan pihak lain. Maka para ulama sepakat bahwa ghasab merupakan perbuatan yang terlarang dan diharamkan.

Ghasab berasal dari kata kerja (غصب يغصب غصبا) yang berarti mengambil sesuatu secara paksa dan zalim. Secara istilahi, ghasab dapat diartikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan/terang-terangan.

Menurut Nurul Irfan, ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan dengan cara terang-terangan. Karena ada unsur terang-terangan, maka ghasab berbeda dengan pencurian dimana salah satu unsurnya adalah pengambilan barang secara sembunyi-sembunyi.[8]

  • Khiyanat (Pengkhianatan)

Kata khianat berasal dari bahasa Arab (خان – يخون). Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menyebutkan pengertian (خائن) sebagai “من يأخد المال خفية ويظهر النصح للمالك” artinya orang yang mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan menampakkan perilaku baiknya terhadap pemilik (harta tersebut)”.

Wahzabh Az-Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu (tindakan/upaya yang bersifat) melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan di dalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan seperti tindakan pembantaian terhadap kaum muslimin atau sikap menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin.[9]

Dalil Al-Quran yang menjadi pijakan sanksi pelaku khianat adalah Surat Al-Anfal ayat 27.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Qs. Al-Anfal: 27)

Ayat ini turun berkenaan Sahabat Nabi bernama Hatib bin Abi Balta’ah yang membocorkan rahasia kaum muslimin bersama Rasulullah Saw yang akan berencana melakukan Fathul Makkah. Sikap dan perbuatan Hatib bin Abi Balta’ah dinilai sebagai pengkhianatan terhadap Negara Islam ketika itu.

  • Sariqah

Secara etimologis sariqah berasal dari kata “سرق – يسرق – سرقا” yang berarti “أخذ مالــه خفية وجيلة” mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sedangkan secara terminologis sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.[10]

Ayat yang menjadi landasan hukum mencuri adalah Al-Quran Surat        Al-Maidah ayat 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana”.

Ayat ini turun untuk menjelaskan hukuman bagi yang mencuri baik bagi laki-laki maupun perempuan. turunnya ayat ini terkait dengan kisah seorang perempuan dari kabilah Makhzumiah yang mencuri pada zaman Rasulullah. Korban pencurian melaporkan kepada Rasulullah, mereka berkata: “Inilah perempuan yang telah mencuri harta benda kami, dan keluarganya akan menebusnya”. Beliau bersabda: “Potonglah tangannya”. Keluarga pelaku menjelaskan, “Kami berani menebus lima ratus dinar”. Nabi Saw bersabda, “Potonglah tangannya”. Maka dipotonglah tangan kanan perempuan itu. Lalu pelaku bertanya, “Apakah tobatku masih diterima ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya engkau hari ini bersih dari dosamu seperti ketika engkau dilahirkan oleh ibumu”.

  • Hirabah

Hirabah/perampokan  adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah, dengan tujuan untuk menguasai atau merampas harta benda milik orang lain tersebut atau dengan maksud membunuh korban atau sekedar bertujuan untuk melakukan teror dan menakut-nakuti pihak korban.

Ayat yang menjadi landasn hukum dari Hirabah adalah Al-Quran Surat Al-Maidah  ayat 33.

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 414) , atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

Dari makna dhahir nas bisa dipahami bahwa segala bentuk korupsi itu hukumnya haram dengan adanya redaksi yang berbentuk larangan dan acaman yang menunjukkan keharaman.

3. Korupsi dalam Perspektif Kaidah Fiqih dan Ushul Fiqih

            Kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah dasar bersifat global yang dapat diaplikasikan pada kasus-kasus fiqih lain untuk mengetahui status hukumnya.[11] Dalam kajian keislaman  kaidah fiqih sangat berguna dan bermanfaat antara lain:

  1. Memelihara dan menghimpun berbagai masalah-masalah fiqih yang sama, juga sebagai barometer dalam mengindentifikasi berbagai hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
  2. Kaidah fiqih dapat membuktikan bahwa hukum yang sama illat-nya meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan kemaslahatan.
  3. Kaidah fiqih menjadikan seseorang betul-betul dapat mendalami ilmu fiqih dan mampu menganalisis berbagai masalah aktual, kemudian dapat menentukan hukum atas masalah tersebut.
  4. Kaidah fiqih membantu dalam menetapkan hukum atas atas berbagai masalah baru yang berdekatan dengan mudah dan praktis.
  5. Kaidah fiqih membantu dalam menghafal masalah-masalah fiqih yang luas secara komprehensif dengan cukup memperhatikan kaidah dasarnya.[12]

Kaitannya dengan hukum korupsi, ada beberapa kaidah yang bisa digunakan untuk menghukumi korupsi:

Kaidah Pertama

مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطاءُهُ

“Tiap-tiap sesuatu yang haram diambil maka juga haram diberikan”.

Kaidah ini merupakan implementasi dari Qs. Al-Maidah ayat 2 yang secara umum menganjurkan saling tolong-menolong dalam kebaikan, dan melarang tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dalam Islam mengambil sesuatu yang bukan haknya adalah perbuatan yang dilarang. Oleh sebab itu, kaidah ini memberikan batasan bahwa sesuatu yang secara syariat dilarang untuk mengambilnya, maka ia juga dilarang memberikan barang tersebut kepada orang lain.

Kaidah Kedua

كُلُّ تَصَرُّفٍ جَرَّ فَسَادًا أَوْ دَفْعِ صَلَاحًا فَهُوَ مَنْهِيٌ عَنْهُ

“Setiap pekerjaan yang membawa kerusakan serta menghalangi kemaslahatan maka hukumnya dilarang”. Kasus korupsi khususnya disebuah negara sangat merugikan rakyat dan menghambat kemajuan negara tersebut.

Kaidah Ketiga

لَايَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مُلْكِ غَيْرِهِ بِلَا إِذْنٍ

“Tidak boleh bagi seseorang menggunakan milik orang lain tanpa izin”. Seorang koruptor sudah pasti menggunakan milik orng lain tanpa seizin yang berhak.

Kaidah Keempat

الْحَاجَةُ لَا تَحِقُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ مَالَ غَيْرِهِ

“Sebuah hajat atau keperluan tidak dapat membolehkan seseorang untuk mengambil harta orang lain”. Meskipun seseorang sangat perlu dengan harta orang lain tetap saja hukumnya haram mengambilnya tanpa seizin pemiliknya.

Kaidah Kelima

لَا يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ مَالَ غَيْرِهِ بِلَا سَبَبٍ شَرْعِيٍّ

Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa ada sebab syari’ yang membolehkannya.”

Tujuan umum syâri‟ dalam pembentukan hukum adalah merealisasikan kemashlahatan manusia dengan memberikan manfaat kepada mereka dan menolak kemudharatan (jalbul mashalih wa daf’ul madhaar). Tujuan maslahat tersebut mencakup enam hal pokok yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap keturunan, perlindungan terhadap kehormatan diri dan perlindungan terhadap kekayaan.

Maslahat itu bertingkat-tingkat, yakni dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Sesuatu yang mampu menjamin eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat dharuriyyat. Sesuatu yang mampu memberi kemudahan dan dukungan bagi penjaminan eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat hajiyyat. Sesuatu yang mampu memberi keindahan, kesempurnaan dan keoptimalan bagi penjaminan eksistensi masing-masing dari enam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat tahsiniyyat.  Dari sini dapat dipahami bahwa setiap hukum pasti disyariatkan hanya untuk kemaslahatan manusia.

Aplikasi maslahat dalam hukum Islam bisa direpresentasikan dengan penyerapan beberapa legal maxim hukum Islam, yakni لا ضرر ولا ضرار (tidak boleh mendatangkan bahaya/ kerusakan terhadap diri sendiri dan tidak boleh pula mendatangkan bahaya/ kerusakan terhadap orang lain), الضرر يزال (segala bahaya/ kerusakan harus dicegah atau diberantas). Efek korupsi sangat hebat, tindakan demikian mengakibatkan harta kekayaan Negara hilang dan pelaku korupsi telah menilap harta Negara yang semula direncanakan untuk pembangunan kesejahteraan rakyat.[13]

Analisa Pengaruh Al-Qawaid Al-Ushuliyyah Dan Fiqhiyyah dalam Hukuman Pidana Korupsi

Berdasarkan pendekatan Al-Quran dan Hadits tentang istilah yang mendekati korupsi kita dapatkan beberapa istilah seperti : ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil secara paksa hak/harta orang lain), sariqah (pencurian), dan khiyânah (pengkhianatan).

Jika terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan ‘illat.

Qs. Ali Imran ayat 61 berbicara tentang ghulul, analog korupsi dengan ghulul adalah cukup dekat dengan alasan-alasan: Korupsi adalah penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman Nabi SAW adalah ghonimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghonimah, tetapi semua bentuk uang negara. Korupsi dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.[14]

Tentang Risywah, terdapat kisah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata, “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu ‘Umar menjawab, “Hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap).”[15] Jadi, setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah.

Surat Al-Baqarah ayat 188 secara umum menyebutkan bahwa Allah SWT melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan ghasab karena di dalamnya terdapat unsur merugikan pihak lain.  Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari pengambilan harta orang lain.

Korupsi juga identik dengan pencurian atau sariqah. Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.

Jika perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial negara, apalagi dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat, karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka status hukumnya bisa ditetapkan sebagai kategori hirabah. Dan dapat dikriminalkan sebagai kejahatan hirabah tersebut.

Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirabah ini.

Hirabah disebut juga oleh ahli fikih sebagai qath’u at-thariq (menyamun) atau as-sariqah al-kubra (pencurian besar). Ulama fikih menyebut hirabah  sebagai as-sariqah al-kubra, karena hirabah itu merupakah upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan akibat yang dapat menyebabkan kematian atau kerganggunya keamanan dan ketertiban. Para ulama memang mempersyaratkan hirabah dengan tindakan-tindakan kekerasan untuk merampas harta, mengganggu keamanan dan mengancam nyawa manusia akan tetapi kekerasan dan gangguan keamanan yang dimaksud tidak dijela skan lebih detail. Korupsi seperti hirabah  karena ia dapat merusak seperti hirabah, mengganggu stabilitas negara dan mengancam hidup orang banyak akibat kekayaan negara yang digerogotinya.

Pelaku hirabah dituntut hukuman yang sangat berat dalam Islam, karena ia adalah salah satu bentuk pidana  hudud yang langsung ditentukan oleh nash         Al-Quran. Apabila tindak pidana ini telah terbukti secara meyakinkan di sidang pengadilan, maka hakim dapat mengeksekusi hukuman yang telah ditentukan Allah SWT tersebut tanpa boleh diubah, ditambah, maupun dikurangi, karena ini adalah hak Allah SWT.

Ayat dalam Surat al-Maidah di atas menyebutkan empat hukuman bagi pelaku hirabah, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari tempat kediamannya. Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama fikih, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang dikenakan sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam hirabah tersebut. Ulama mazhab Hanafi, Syafii dan Hanbali berpendapat bahwa hukuman yang dikenakan harus secara urut, sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan para pelaku hirabah tersebut.

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah  tersebut hanya merampas harta, tanpa menyebabkan kematian maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silangnya umpamanya tangan kanan dengan kaki kiri.  Apabila pelaku hirabah  hanya membunuh maka hukumannya juga dibunuh. Apabila pelaku hirabah ini merampas harta yang disertai dengan pembunuhan, maka menurut mereka, hakim bebas  memilih hukumannya, yaitu apakah akan dipotong tangan dan kakinya secara silang kemudian dibunuh atau disalib saja. Apabila pelaku hanya menakut-nakuti saja dan mengganggu keamanan, maka hukumannya dipenjarakan dan dikenakan hukuman ta’zir. Bentuk hukuman ta’zir yang akan dikenakan diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah hanya mengambil harta, maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silang. Apabila mengakibatkan kematian, maka hukumannya juga hukuman mati. Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman yang disebutkan dalam ayat itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fikih dan pihak-pihak terkait, dengan syarat hakim memilih hukuman yang terbaik bagi kemaslahatan.  Apabila pelaku hirabah hanya mengganggu keamanan, maka hakim boleh memilih antara membunuhnya, menyalibnya memotong tangan dan kakinya secara silang atau memukul dan membuangnya. Akan tetapi, apabila pelaku hirabah  menyebabkan kematian atau disertai pembunuhan, maka hukumannya harus dibunuh atau disalib saja, tidak boleh menerapkan hukuman yang lain. Apabila pelaku hanya mengambil harta, maka hukumam yang dapat dipilih oleh hakim  adalah antara dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara silang atau dibuang.

Ulama fikih berbeda pendapat pula dalam memahami hukuman pembuangan (an-nafyu) dalam ayat tersebut. Menurut Mazhab hanafi, an-nafyu itu berarti memenjarakan pelaku hirabah, karena apabila hukuman pembuangan diartikan secara harfiah, yaitu dibuang dari tempat asalnya ke negeri lain, maka dikhawatirkan di tempat pembuangan itu ia akan melakukan hirabah  lagi, atau ia lari kewilayah non-Islam dan bisa jadi ia murtad dari Islam. Ulama Mazhab Maliki mengartikan an-nafyu itu dengan arti harfiahnya, yaitu membuang pelaku ke negeri lain, tetapi di negeri itu ia dipenjarakan sampai ia tobat. Ulama Mazhab SyafiI mengartikan an-nafyu dengan memenjarakan pelaku sampai ia tobat di negerinya sendiri. Adapun Ulama mazhab Hanbali mengatakan an-nafyu  itu adalah membuangnya ke negeri lain dan tidak boleh kembali ke negeri asalnya.[16]

Dengan meng-qiyas-kan atau menganalogikan korupsi dengan hirabah  maka hukuman bagi pelaku korupsi dapat pula diklasifikasikan menjadi tiga.

  1. Hukuman mati atau tembak mati, apabila korupsi ini dilakukan dalam jumlah yang besar (as-sariqah al-kubra) yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas negara dan citra bangsa  serta  hilangnya kesempatan hidup bagi sebagian rakyat, seperti korupsi dana dalam jumlah puluhan milyar rupiah dan seterusnya.
  2. Hukuman potong tangan dan kaki secara silang, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah sedikit yang hanya mengakibatkan kerugian material keuangan negara, seperti korupsi dalam jumlah ratusan juta rupiah.
  3. Dipenjarakan sampai ia tobat, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah yang sangat sedikit, seperti dalam jumlah jutaan atau puluhan juta. Korupsi untuk hukuman yang paling ringan ini hanya ditoleransi karena kebutuhan hidup. Walaupun begitu, hukuman penjaranya bisa saja seumur hidup bila hakim melihat bahwa sepantasnya pelaku korupsi dalam jumlah kecil ini diganjar seperti itu.

Ta’zir dimaksudkan untuk mendidik, memperbaiki diri orang yang bersalah dan menghalangi seseorang mengulangi kejahatannya. Di samping itu, ta’zir adalah suatu prosedur yang harus dilakukan untuk menenangkan gelora keamarahan masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang teraniaya (korban).[17]

Nurul Irfan telah mengidentifikasi beberapa macam hukuman ta’zir yang dikemukakan oleh para penulis buku fiqih kontemporer yang antara satu dan lainnya berbeda dalam pemaparannya. Ada empat penulis buku kontemporer yang dibandingkan yaitu 1) Abdul Aziz Amir dalam At-Tahdzir fis Syariah al-Islamiyyah, 2) Abdul Muhsin at-Thariqi dalam Jarimah Risywah fis Syariah al-Islamiyyah, 3) Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dan 4) Abdul Qadir Audah dalam at-Tasyri’ al-jina’I al-Islami Muqaranan bi Qanun al-Wad’i.

Menurut penulis pertama Abdul Aziz Amir, hukuman Ta’zir ada 11 macam yaitu: 1). Hukuman mati, 2). Hukuman jilid, 3). Hukuman penahanan, 4). Hukuman pembuangan, 5). Hukuman ganti rugi, 6). Hukuman publikasi dan pemanggilan paksa untuk hadir di majelis persidangan, 7). Hukuman berupa nasehat, 8). Hukuman berupa pencelaan, 9). Hukuman berupa pengucilan, 10). Hukuman pemecatan dan 11). Hukuman berupa penyiaran.

Menurut Abdul Muhsin at-Thariqi hukuman ta’zir terdiri dari 6 macam, yaitu: 1). Hukuman mati, 2). Hukuman pembuangan dan pengasingan, 3). Hukuman pencelaan, 4). Hukuman pengucilan, 5). Hukuman berupa penyiaran dan 6). Hukuman berupa nasehat. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan 5 macam hukuman untuk ta’zir, yaitu: 1). Hukuman pencelaan, 2). Hukuman penahanan, 3). Hukuman pemukulan, 4). Hukuman ganti rugi materi dan 5). Hukuman mati karena pertimbangan politik.

Dan Abdul Qadir Audah menyebutkan 15 macam hukuman ta’zir, yaitua: 1). Hukuman mati, 2). Hukuman jilid, 3). Hukuman penahanan, 4). Hukuman pengasingan, 5). Hukuman salib, 6). Hukuman berupa nasehat, 7). Hukuman pengucilan, 8). Hukuman berupa pencelaan, 9). Hukuman berupa ancaman, 10). Hukuman berupa penyiaran, 11). Hukuman berupa pemecatan, 12). Hukuman pembatasan hak, 13). Hukuman penyitaan asset kekayaan, 14). Hukuman perampasan benda-benda tertentu milik pelaku dan 15). Hukuman ganti rugi dan denda.[18]

Kasus korupsi di Indonesia, menurut Nurul Irfan sesungguhnya sudah lebih dari cukup. Bahkan menurut Andi Hamzah undang-undang korupsi di Indonesia bersifat terlalu luas, sesuai dengan jumlah korupsinya yang juga sangat banyak.

Jika dilihat pada rumusan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tampaknya undang-undang tentang pemberantasan korupsi di Indonesia sudah sangat berani, khususnya dengan adanya tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.[19]

Fatwa MUI tentang Suap (Risywah), Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat

Musyawarah Nasional VI MUI yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabiul Akhir 1421 H/25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang suap (risywah), korupsi (ghulul) dan hadiah kepada pejabat, setelah:

Menimbang:

  1. bahwa pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat;
  2. bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum masalah dimaksud

Memperhatikan:

  1. Pertanyaan-pertanyaan dari masayarakat tentang masalah pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masayarakat yang dikaitkan dengan penegakan pemerintahan/manajemen yang bersih dan sehat
  2. Pendapat dan saran-saran peserta sidang/Munas

Mengingat:

Firman Allah Swt, hadis Rasulullah Saw. dan kaidah fiqhiyah (sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya)

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

Pertama: Pengertian

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

  1. Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariat) atau  membatalkan  perbuatan  yang  hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn Al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
  2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
  3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
  4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.

Kedua: Hukum

  1. Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
  2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
  3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
  4. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
  5. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
  6. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
  7. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
  8. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

Ketiga: Seruan

Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal tersebut

Keempat: Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarkan fatwa ini.

Ditetapkan: Jakarta, 27 Rabiul Akhir 1421 H/29 Juli 2000 M

Dewan Pimpinan MUI

Ketua Umum: KH. M. A. Sahal Mahfudh

Sekretaris Umum: Prof. DR. H. M. Din Syamsuddin.[20]

  • Penutup

Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia, di antaranya ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum. Larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah.Bahwa ulama fikih telah sepakat mengatakan perbuatan korupsi adalah haram (dilarang) berdasarkan paparan ayat, hadits dan kaidah fiqih dan fatwa MUI.

Dari ulasan yang telah penulis paparkan maka dapat diambil kesimpulan bahwa korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak definisi yang sesuai dengan pemahaman dari al-Qur’an, hadis dan juga hukum Islam. Korupsi di Indonesia dalam perspektif Hukum Pidana Islam adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan jalan melanggar hukum yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘ada lah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab dalam suatu jabatan. Korupsi dihukumi haram

Dengan demikian maka jelaslah bahwa, tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam islam. Karena melihat dari sisi negatifnya akan sangat merugikan negara dan banyak menyengsarakan rakyat.

Referensi:

Asmawi, Relevansi Teori Maslahat dengan UU Pemberantasan Korupsi, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, Nomor 2, Januari 2010

Dr. Moh. Mufid, Lc., M.H.I., Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah, ebookuid

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi

Fazzan, Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Jurnal Ilmiah  Islam Futura, Vol. 14. No. 2, Februari 2015

Muhammad Hasbi As-Shidqy, Pidana Mati dalam Syariat Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998

Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam PerspektifFiqih Jinayah, Arsip Disertasi UIN.

Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, al-Halāl wa al-Harām fī al-Islām (Beirut:         al-Maktab al-Islāmī, 1994

Situs MUI http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/23.-Risywah-suap-Ghulul- korupsi-dan-hadiah-kepada-pejab1.pdf diakses 19 November 2017


[1] Drs. Adami Chazawi, SH, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: IKAPI Jatim, 2005, Hal.1. Lihat juga Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Pidana Nasional dan Internasional, Ed. 2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4-5.

[2] Victoria Neufeldt ed., Webster’s Third New International Dictionary, (Prentice Hall, 1984), hal.313

[3] Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 527.

[4] Ermasnyah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK: Kajian Yuridis UURI Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI No 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet.1.1

[5] Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

[6] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqik Jinayah, Arsip Disertasi UIN, hal. 84

[7] Az-Zahabi, Kitab Al-Kabair, hal. 112

[8] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqik Jinayah, Arsip Disertasi UIN, hal. 110

[9] Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 8, hal. 5876

[10] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqik Jinayah, Arsip Disertasi UIN , Hal. 123

[11] Dr. Moh. Mufid, Lc., M.H.I., Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah, ebookuid, hal. 10

[12] Dr. Moh. Mufid, Lc., M.H.I., Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah, ebookuid, hal. 13

[13] Asmawi, Relevansi Teori Maslahat dengan UU Pemberantasan Korupsi, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, Nomor 2, Januari 2010, hal. 96-97

[14] Fazzan, Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 14. No. 2, Februari 2015, hal. 155

[15] Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, al-Halāl wa al-Harām fī al-Islām (Beirut:          al-Maktab al-Islāmī, 1994), 230.

[16] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fiqik Jinayah, Arsip Disertasi UIN, hal. 132

[17] Muhammad Hasbi As-Shidqy, Pidana Mati dalam Syariat Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), hal. 49-50

[18] Disertasi UIN, hal. 139

[19] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, hal. 115

[20] Situs MUI http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/23.-Risywah-suap-Ghulul-korupsi-dan-hadiah-kepada-pejab1.pdf diakses 19 November 2017

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *