Konsep Al-Imamah dalam Perspektif Syi’ah

Konsep A-Imamah – Konflik Sunni-Syiah telah terjadi sejak di awal-awal abad sejarah peradaban Islam. Bermula dari perbedaan dalam aspirasi politik, kemudian berkembang memasuki ranah teologi dan keagamaan. Hingga kini pun gesekan-gesekan senantiasa mewarnai dinamika hubungan keduanya, dari gesekan halus hingga keras dan berdarah-darah.

Sejak awal mula Syiah muncul dari aspirasi politik sekelompok orang yang mengklaim hak kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah Saw ada pada Ali bin Abi Thalib. Diceritakan, Ali merupakan salah satu Sahabat yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi Saw. Ali adalah sepupu, menantu, sahabat, dan salah satu orangyang berislam di awal periode kenabian (al-sabiqun al-awwalun).

Meski secara bahasa Syiah itu bermakna “pengikut”, namun al-Syahrastani mengkhususkan istilah Syiah kepada kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang mengklaim bahwa Ali lah yang secara nash dan wasiat dari Nabi Saw berhak atas imamah dan khilafah. Mereka pun meyakini bahwa imamah itu tidak akan keluar dari garis keturunan Ali bin Abi Thalib.[1]

Klaim tersebut didasarkan pada hadis-hadis Nabi Saw yang dianggap memberikan legitimasi kepada Ali untuk menjadi menjadi penganti beliau. Hadis-hadis itu pun di kemudian hari dikenal sebagai hadis Ghadir Khum karena dinisbatkan kepada nama lokasidi mana Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut.[2] Dari hadis inilah kelompok Syiah mengembangkan konsep imamahnya yangmenjadi bagian penting dalam doktrin keagamaannya.

Definisi Imamah

Kata imam dan imamah berasal dari kata “amma-yaummu-amman-imaman-imaamatan” yang berarti “memimpin, pemimpin ataukepemimpinan”.[3] Kata “imam” sendiri sering merujuk pada subyekpemilik kekuasaan, biasanya di bidang ritual keagamaan. Sedangkan kata imamah lebih ditekankan pada jabatan, posisi ataufungsi memimpin.[4]

Kata imam yang berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.

Kata imam yang berarti pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula untuk pemimpin agama.

Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat dalam ajaran Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga kehidupan kolektif, sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.

Nabi Muhammad SAW misalnya, pada awalnya lebih berfungsi sebagai nabi dan rasul dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, pada periode Madinah, kedudukan beliau mulai bersifat politis, sebab beliau juga melaksanakan tugas politik dan pemerintahan sebagai pemimpin atau kepala negara bagi masyarakat Madinah.

Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus.

Inilah yang menjadikan Ahlus Sunnah, melarang memilih pemimpin selain Islam karena pemimpin mengatur kehidupan beragama dan mengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik, keamanan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.

Baca juga:   Taktik Awal Kristenisasi Barat

Hampir seluruh kelompok dan sekte Islam sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) merupakan kebutuhan kemanusiaan serta kewajiban agama, di mana tidak mungkin sebuah masyarakat di manapun saja mereka berada dapat menjalani kehidupan mereka dengan ideal kecuali di bawah naungan sebuah negara atau pemerintahan.

Dalam sebuah masyarakat pasti dibutuhkan rakyat yang dipimpin, tempat tinggal di mana mereka hidup, serta pemimpin yang akan memimpin dan mengatur seluruh urusan rakyatnya.

Meskipun mereka berselisih paham tentang kedudukan kepemimpinan tersebut, mayoritas kelompok Islam mengatakan bahwa pemerintahan merupakan kebutuhan manusia dan kewajiban agama yang masuk dalam kaidah: “Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan terpenuhinya satu hal, maka hal tersebut hukumnya menjadi wajib”

Secara terminologis al-Hilli, seperti yang dikutip Zainal Abidin, mendefinisikan imamah sebagai “Kepemimpinan umum dalam sege-nap urusan religius dan sekular (non-religius) yang diemban olehseseorang yang mewakili atau menggantikan posisi Nabi Saw”.[5] Atas dasar ini Abidin memahami bahwa dalam konsep imamah terkandungmakna posisi utama seorang imam yang setara dengan Nabi Sawdengan satu titik perbedaan; Nabi Saw menerima wahyu, sementarai mam tidak demikian.[6]

Imam dan imamah memiliki posisi penting dalam doktrin keagamaan Syiah karena hal itu merupakan anugerah dari Allah, bukan berdasar pilihan manusia. Seorang imam terpilih menjadi imam bukan karena masyarakat atau sekelompok orang sengaja memilihnya, sebagaimana yang berlaku dalam sistem demokrasi, namun itu merupakan hak prerogatif Allah Swt. Karena itulah imamah dalam Syiah memiliki dimensi ketuhanan. Kalangan Syiah pun menjadikan imamah sebagai bagian dari ushuluddin yang tidak mungkin dilalaikan untuk disampaikan oleh Rasulullah Saw.[7]

Urgensi Imamah menurut Syiah

Keberadaan imamah begitu mendasar dalam mazhab Syiah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama. Seseorang disebut sebagai penganut Syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Muhammad saw. yang secara formal berhak melanjutkan kedudukannya sebagai imam seluruh umat, yang dalam keyakinan Syiah, orang yang dipilih tersebut adalah Ali bin Abi Thalib r.a.

Dasar pemikiran Syiah dalam penetapan ini adalah keyakinan bahwa kebijakan Tuhan (al-hikmah al-ilahiyyah) menuntut perlunya pengutusan para Rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian dengan imamah, kebijakan Tuhan menuntut kehadiran seorang Imam sesudah meninggalnya seoran Rasul untuk membimbing umat manusia dan menjaga kemurnian ajaran Nabi.

Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia kepada pelaksanaan ajaran Nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan sulit dicapai, karena tidak ada pembimbing yang dapat mengarahkan umat manusia kepada ajaran para Nabi dan Rasul.

Syiah menyandarkan pendapat ini dengan mengutip ayat Al Qur’an yang berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar “. (QS. Al Taubah, 119).

Menurut Syi’ah, ayat ini tidak hanya berlaku untuk satu masa saja. Tetapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orangorang yang benar, al-Shadiqin, pertanda adanya imam ma’sum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan dalam banyak mufassir kaum Syi’ah terhadap terhadap makna ayat ini.

Konsep Imamah Syiah

imamah dalam syiah

Dalam Syiah para imam itu harus berasal dari keluarga NabiSaw (ahl bayt) melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, yang diberikarunia terbebas dari dosa dan kesalahan (ishmah), karena itu mereka dianggap suci dan sempurna sebagaimana keadaan Nabi Muhammad Saw, dan memiliki sifat lutf (kemurahan/kelembutan) pada manusia lain.

Baca juga:   Tingkatan Iman kepada Takdir

Selain memiliki otoritas di bidang politik para imam juga punya otoritas di bidang agama (wala imamah), maka mereka harus menguasai ilmu lahiriah dan batiniah, imamah tidak memiliki batasan waktu dan proses suksesinya melalui wasiat.[8]

Meski penentuan seorang imam merupakan wilayah otoritas Allah Swt, namun ternyata kalangan Syi’i sendiri berbeda-beda dalam mengidentifikasi imam-nya sehingga terbagi-bagi dalam be-berapa kelompok. Al-Syahrastani membagi kelompok-kelompok dalam Syiah ada lima: Kaisaniyah, Zaidiyyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah.

Pertama, Kaisaniyah adalah para pengikut Kaisan. Dia adalah mawla dari Ali bin Abi Thalib. Juga disebut sebagai murid dari Muhammad bin al-Hanafiyah. Kaisaniyah memiliki beberapa sub kelompok, yaitu:

  1. Al-Mukhtariyah, pengikut Mukhtar bin Abi Abid al-Tsaqafi. Dia dulu seorang Khawarij. Kemudian menjadi pengikut Zubair. Lalu menjadi Syiah Kaisaniyyah. Kelompok ini meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah merupakan khalifah pasca Ali bin AbiThalib, atau setelah Hasan dan Husayn bin Ali bin Abi Thalib.[9]
  2. Al-Hasyimiyah, yang merupakan pengikut Hasyim bin Muhammad bin al-Hanafiyah. Kelompok ini meyakini bahwa pasca meninggalnya Muhammad bin Hanafiyah, imamah berpindah kepada anaknya, Abi Hasyim.[10]
  3. Al-Bayaniyah, pengikut Bayan bin Sam’an al-Tamimi. Kelompok ini meyakini imamah berpindah dari Abi Hasyim kepada dirinya (Bayan bin Sam’an). Kelompok ini termasuk golongan ghulat yang meyakini ke-ilahi-an Ali bin Abi Thalib.[11]
  4. Al-Rizamiyah, pengikut Rizam bin Razm. Kelompok ini meyakini bahwa imamah bermula dari Ali bin Abi Thalib, lalu ke Muhammad bin Hanafiyah, kemudian ke Hasyim, lalu ke Ali bin Abdillah bin Abbas melalui wasiat, kemudian ke Muhammad bin Ali, dan lalu diwasiatkan ke anaknya, Ibrahim.[12]

Kedua, Kelompok Zaidiyyah yang merupakan pengikut Zaydbin Ali bin Husayn bin Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini meyakini imamah hanya melalui jalur Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, baik dari Hasan atau Husayn, dan tidak melalui jalur lainnya.[13]

Para pengikut Zayd menganggap dia sebagai imam kelima dari rangkaian ke-imamah-an Syiah. Setelah meninggal, posisi itu dilanjutkan oleh anaknya Yahya bin Zayd yang meninggal dalampemberontakan melawan Khalifah Walid bin Yazid dari Bani Umayyah. Setelah itu dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah yang juga meninggal dalam pertempuran melawan Khalifah Mansur al-Dawaniqi dari Bani Abbasiyah.[14]

Ketiga, kelompok Ismailiyyah yang menisbatkan namanya pada anak tertua dari Imam Ja’far al-Shadiq, yaitu Ismail. Ismail dianggap hilang oleh pengikutnya dan akan kembali lagi di kemudian hari sebagai Mahdi. Namun sebagian lagi mempercayai dia telah meninggal dunia, namun ke-imamah-annya telah ditransfer ke anaknya, Muhammad.[15]

Urut-urutan imam menurut aliran Ismailiyah adalah: Ali bin Abi Thalib, Husayn bin Ali (mereka tidak mengakui kepemimpinan Imam Hasan), Ali bin Husayn al-Sajjad, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Sadiq, Ismail bin Ja’far, dan Muhammad bin Ismail. Pasca itu kepemimpinan dipegang oleh pengikut setia-nya yang disebut sebagai“naqib”.[16]

Baca juga:   Motivasi Islami Ust. Arifin Jayadiningrat

Secara politik, aliran inilah yang telah mendirikan Dinasti Fati-miyah. Ismailiyyah memiliki beberap sub aliran, seperti Batiniyyah,Nizariyah, Musta’liyah, Druze, dan Muqanna’ah.[17]

Keempat, aliran Dua Belas Imam (Imamiyyah). Kelompok ini meyakini bahwa secara nash Ali bin Abi Thalib merupakan imam pasca Nabi Saw. Mereka menyatakan bahwa imam merupakan urusan yang paling penting dalam agama.[18]

Kelompok ini mempercayai pada keberadaan 12 imam peng-ganti Nabi Muhammad Saw. Yaitu, Ali bin Thalib, Hasan bin Ali, Hu-sayn bin Ali, Ali Zainal Abidin (Ali bin Husayn), Muhamad al-Baqir(Muhammad bin Ali), Ja’far al-Shadiq (Ja’far bin Muhammad), Musaal-Kadzim (Musa bin Ja’far), Ali al-Ridha (Ali bin Musa), Muhammadal-Jawad al-Taqi (Muhammad bin Ali), Ali al-Hadi (Ali bin Muham-mad al-Jawad), Hasan al-Askari (bin Ali al-Hadi), Muhammad al-Mahdi (bin Hasan al-Askari).[19]

Kelima, Kelompok ini merupakan golongan yang berlebihan dalam dalam membela ke-imamah-an sehingga mereka pun melampaui batas-batas kemanusiaan dengan menetapkan hukum ke ilahi-an kepada para imam, bahkan terkadang mereka menyamakan imam-nya dengan Tuhan, dan terkadang menyamakan Tuhan dengan makhluq.[20]

Ada beberapa sub kelompok ini, di antaranya:

  1. Al-Sabaiyah, pengikut Abdullah bin Saba’ yang menyatakankepada Ali bin Abi Thalib: Anda, anda, anda, yakni anda ada-lah Tuhan!. Abdullah bin Saba’ merupakan orang Yahudi yangkemudian masuk Islam.[21]
  2. Al-Kamaliyah, pengikut Abi Kamil. Mereka ini mengkafirkanseluruh sahabat yang tidak membaiat Ali bin Abi Thalib.[22]
  3. Al-Albaiyah, pengikut Alba’ bin Dzara’ al-Dawsy. Mereka lebihmengutamakan Ali atas Nabi Saw, dan mengunggulkan Ali se-bagai Tuhan. Dalam kelompok ini terdapat sebagian orangyang juga memberikan sifat ke-ilahi-an kepada keluarga Kisa’,yaitu: Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husayn. Merekamenganggap kelima orang tersebut itu sesungguhnya satu enti-tas.[23]
  4. Al-Mughiriyah, pengikut Mughirah bin Said.
  5. Al-Khattabiyah, pengikut Abi al-Khattab Muhammad bin AbiZainab al-Asdi.
  6. Al-Kayyaliyah, pengikut Ahmad bin Kayyal.

Sekian.


[1] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1993), 169

[2] Lihat Muhammad Husayn Tabatabai, Shi’a, translated by Sayyid Husayn Nasr (Manila: Al-Hidaya,1995), 40

[3] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Masyriq, 1967), 16-1

[4] Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (New York: Spoken Languange Service,1976), 26

[5] Zainal Abidin, Imamah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi Syiah (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, 2012), 77

[6] Zainal Abidin, Imamah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi Syiah (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, 2012), 77-78

[7] Al-Syahrastani, al-Milal, 169.

[8] Zainal Abidin, Imamah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi Syiah (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kemenag RI, 2012), 93-97

[9] Al-Syahrastani, al-Milal, 170-171

[10] Al-Syahrastani, al-Milal, 174

[11] Al-Syahrastani, al-Milal, 176

[12] Al-Syahrastani, al-Milal, 178

[13] Al-Syahrastani, al-Milal, 179-180

[14] Tabatabai, Shi’a, 76-77

[15] Tabatabai, Shi’a, 78

[16] Tabatabai, Shi’a, 78–79

[17] Tabatabai, Shi’a, 79–82

[18] Al-Syahrastani, Al-Milal, 18

[19] Slamet Mulyono, “Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi,”Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol 16 No 2 tahun 2012, 248

[20] Al-Syahrastani, Al-Milal, 203

[21] Al-Syahrastani, Al-Milal, 204

[22] Al-Syahrastani, Al-Milal, 205

[23] Al-Syahrastani, Al-Milal, 206-207

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *