Makna Ibadah Haji

Makna Ibadah Haji – Ibadah haji adalah ibadah yang cukup berat pelaksanaannya dibanding ibadah wajib lainnya semisal shalat, puasa dan zakat. Ada yang merasa berat secara ritual, ada yang merasa berat mengikuti manasik haji yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW karena merasa ilmunya belum maksimal. Dan dimensi yang perlu difahami dalam ibadah haji bukan hanya terfokus pada ritual semata, tetapi juga hakikat dari seluruh ibadah yang diperintahkan Allah swt kepada manusia.

Haji wajib bagi yang mampu

Allah telah berfirman: “Berhaji adalah kewajiban manusia terhdap Allah, yaitu bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkarinya, maka sesunguhnya Allah Maha Kaya.”

Dan sabda Nabi SAW dalam khutbahnya: “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian semua. Lalu berdirilah seorang sahabat yang bernama al-Aqra’ bin Habis. Ia bertanya ‘apakah setiap tahun wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab: ‘kalau aku katakana ‘ya’, maka akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalau diwajibkan tiap tahun maka kalian tidak akan bisa menunaikannya dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya. Haji itu sekali. Barangsiapa yang melaksanakannya lebih dari itu, berarti tathawwu’.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Landasan menunaikan Haji

Pertama, Iman yang benar. Orang yang berhaji harus membekali diri dengan iman yang benar agar keimanan itu betul-betul mampu mengantarkannya untuk menuju ketaqwaan. Dan dengan berbekal taqwa itulah perjalanan haji yang berat dan beresiko akan terasa ringan. Biaya materi yang banyak akan terasa sebagai tabungan simpanan abadi di sisi Allah yang tidak akan hilang sia-sia. Allah berfirman: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS al-Baqarah: 197)

Baca juga:   Awas! Bengkoknya Shaf Shalat membawa bencana

Kedua, Ikhlas dalam pelaksanaan. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang berhaji karena Allah sedangkan ia tidak berbuat rafats dan fasik, maka ia akan kembali suci seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari Muslim). Yang dimaksud rafats adalah bersetubuh atau hal-hal yang mengantarkannya seperti bercumbu dan merayu. Sedangkan Fasik adalah semua bentuk kemaksiatan dan larangan-larangan bagi orang yang sedang ihram.

Ketiga, Ittiba’ pada Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Jabir bin Abdullah berkata: “Saya telah melihat Rasulullah melempar jumroh dan beliau sedang di atas untanya. Waktu itu beliau bersabda: ‘Wahai manusia! Pelajarilah manasik (tata cara haji) kalian dariku. Karena aku tidak tahu pasti barangkali aku tidak bisa melaksanakan haji setelah ini.” (HR Muslim)

Haji dan Tazkiyah an-Nafs

Banyak orang yang menjadikan haji sebagai media penyucian diri setelah melakukan dosa semisal korupsi atau yang lainnya. Jika memang mereka ingin benar-benar bertaubat, maka penyucian diri mereka tidak cukup dengan memohon ampunan dan haji saja tetapi mereka harus meminta maaf kepada pihak-pihak yang telah dirugikan dan di dzalimi secara materi atau non-materi lalu mengembalikan hak yang telah ia rampas, demikianlah syarat diterimanya taubat seseorang yang punya kesalahan kepada sesama sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin: 33.

Haji memang mampu menjadi media pelebur dosa jika dilaksanakan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bukan sekedar wisata atau mendapat penghargaan masyarakat sekitar. Ia datang sebagai tamu Allah untuk melengkapi keislamannya, untuk menapaki jejak Rasul-Nya. Dalam sebuah hadits Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa berhaji dan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasik, maka dosa-dosa yang telah berlalu akan diampuni.” (HR at-Tirmidzi)

Baca juga:   Nifas dan Hukum-hukumnya

Haji dan Tawakkal

Rasa tawakkal dalam pelaksanaan haji benar-benar diuji oleh Allah. Ketika kita telah mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan haji bagi yang memiliki kemampuan melaksanakannya dan Rasulullah SAW juga telah memberikan contoh manasik haji. Maka kita pun seharusnya dengan ikhlas melaksanakan perintah tersebut.

Allah berfirman: “Katakanlah: “Seseungguhnya shallatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah unntuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama meneyerahkan diri.” (QS al-An’am: 61-62)

Haji dan Sejarah

Saat melaksanakan rangkaian haji, seperti thawaf dan sa’i. kirta diingatkan kembali akan sejarah Nabi Ibrahim as beserta keluarganya, begitu tegarnya mereka mempertahankan keimanan dan tauhid dan begitu gigihnya mereka melawan tipu daya syetan dari jin dan manusia. Dan tidak hanya itu, kita juga akan menapaki jejak Rasulullah, jejak pelaksanaan haji yang pernah beliau laksanakan juga tapak tilas perjuangan beliau dalam menyebarkan agama Islam.

Dengan begitu, kita bisa menarik kesimpujlan bahwa dakwah Nabi Muhammad dengan dakwah Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya ternyata merupakan satu kesatuan yaitu “mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan sesembahan lainnya” dan itulah beban dakwah yang harus kita usung sampai hari akhir nanti.

Haji dan Persatuan Umat

Dalam pelaksanaan ibadah haji, kaum muslimin dari berbagai Negara dan bangsa berkumpul di tempat yang sama, melaksanakan ibadah yang sama, menyembah Tuhan yang sama dan memakai pakaian yang sama. Walaupun suku dan bahasa mereka berbeda, tapi mereka merasa satu kesatuan. Terikat dalam ikatan iman. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Haji dan Perlawanan Syetan

Syetan akan menyusup dalam diri orang-oarng yang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana mereka menyusup dalam diri orang yang sedang shalat. Syetan selalu berusaha untuk membelokkan niat dan merusak ibadah mereka dan tidak menginginkan umat Islam melaksanakan ibadah haji dengan khusyu’ dan haji mereka menjadi mabrur.

Baca juga:   Ketika Imam Lupa Tasyahud Awal

Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Anas bin Malik, ia berkata: “Kondisi manusia setelah Nabi Ismail adalah muslim yang taat. Tapi syetan berusaha menggelincirkan manusia dengan bisikan-bisikan, yang dengannya ia hendak memalingkan mereka dari Islam. Sampai ia masuk atau menyusup mereka dalam talbiyyah: “Ya Allah, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang Engkau miliki dan yang telah menjadi milik-Mu.” Anas berkata: “Syetan terus menerus berusaha melakukan itu sampai ia bisa mengeluarkan manusia dari Islam menuju kesyirikan.” (Majmu’ Zawaid 3:223). Wallahu ‘Alambisshawab

Referensi: diketik ulang dari Majalah Ghoib ‘Haji dan Kehadiran Syetan’ edisi 74, 29 Desember 2006 M dengan sedikit tambahan dari ahmadbinhanbal

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

  1. Tidaklah pantas seseorang yang mempunyai kemampuan, untuk mengundur-undur pelaksanakan ibadah haji, karena jika dia masih muda dan terus-menerus dalam maksiat, maka hal ini merupakan bisikan syetan yang menghalanginya untuk berbuat kebaikan. Dan telah diterangkan di atas tentang kewajiban seseorang untuk segera melaksanakan ibadah haji. Dan selayaknya orang yang sudah melaksankan ibadah haji, baik ketika masih kecil, atau sudah tua, untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *