Mengurus Negara Ala Pesantren

religion-and-politics-1140x500

Sejarah emas Indonesia banyak didominasi oleh umat Islam. Bukan  bermaksud menafikan kiprah umat lainnya, tetapi demikianlah realitanya. Lebih spesifik lagi, sejarah umat Islam Indonesia lebih diperankan oleh perjuangan pesantren dengan para kyai dan kaum santri sebagai aktor utama di dalamnya.

Sejarah juga membuktikan, para pejuang Muslimlah yang berada di garda depan mengusir paham komunisme dan antek-anteknya dari bumi Indonesia.  Padahal, ketika itu, ide  komunisme tak  hanya dikampanyekan dengan propaganda dan kata-kata, ia bahkan didukung  media massa, surat kabar, bahkan dijalankan dengan hasutan, kekerasan, dan kekejaman fisik. Toh, dengan perjuangan kaum Muslim,  akhirnya Komunisme hanya tinggal sejarah.

Dalam hal ini, ahli sejarah muslim Indonesia, Ahmad Mansyur Suryanegara lewat bukunya ‘Api Sejarah’ telah membuktikan bahwa para kiyai dan kaum santri adalah orang-orang yang paling berjasa membela Negara Indonesia dari serangan penjajah kafir dan mengupayakan kemerdekaan Indonesia tercinta.

Pesantren ibarat miniatur dari sebuah negara yang diatur dengan cara-cara Islam, ia adalah bi’ah al-islamiyyah al-mushagharah yaitu lingkungan islam dalam lingkup yang kecil dimana semua kegiatann santri dari makan sampai tidur kembali di atur dan dibuatkan peraturan-peraturan serta ada sangsi bagi santri yang melanggar peraturan tersebut..

Mengingat kontribusi pesantren yang amat besar di atas, lewat tulisan ini penulis mencoba memberikan korelasi antara mengurus pesantren dan negara lalu menganalogikan keduanya secara sederhana yang nantinya akan melahirkan satu pertanyaan, apakah kita bisa mengurus negara ala pesantren?

Penulis melihat ada beberapa hal positif yang terdapat di dunia pesantren yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara.

Pertama, pendidikan yang diajarkan pesantren adalah pendidikan universal, tidak dibatasi belajar secara periodik saja tetapi at-tarbiyah thula al-hayat (pendidikan seumur hidup). Pesantren tidak saja mengajarkan ilmu agama, tetapi lebih menekankan amal nyata. Pembelajaran pun bisa dari alam, peristiwa, dan pengalaman. Dari sana para santri dituntut melakukan perbaikan terus-menerus. Motivasi utamanya “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”

Baca juga:   Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 40-48: Allah SWT Maha Pemberi Nikmat

Pendidikan dengan konsep inilah yang amat perlu diadopsi oleh negara. Para pemimpin harus memberi sugesti kepada rakyat untuk terus belajar tanpa mengenal istilah “tamat”. Toh, bila terpaksa putus sekolah, tidak boleh menjadi alasan berhenti menuntut ilmu.

Kedua, Kiyai atau Ustadz adalah tokoh sentral dalam pesantren. Kyai atau Ustadz bukan saja pemimpin pesantren, tetapi qudwah (teladan) bagi para santri dan masyarakatnya. Dalam mengurus pesantren, kiyai mengedepankan keteladanan berupa amal nyata sebelum memerintahkan sesuatu. “Izh an-naas bi fi’lika wala ta’izhhum bi qaulika!” (nasihati manusia dengan amalmu bukan dengan perkataanmu), kata Imam Al-Hasan Al-Basri.

Seharusnya para pemimpin dan pemegang kekuasaan menjadikan diri mereka layaknya kyai atau ustadz. Artinya sebelum mengintruksikan sesuatu, mereka terlebih dahulu menjalankannya. Mereka adalah teladan bagi rakyatnya layaknya kyai bagi santri dan masyarakatnya.

Ketiga, kyai atau ustadz adalah ulul amri fi at-tabligh wa al-bayan (bertanggungjawab dalam penyampaian dan penjelasan) sebagaimana pemimpin atau umara adalah ulul amri fi at-tanfizh wa as-sulthan (pelaksana dan penguasa). Demikian penuturan syaikh Utsaimin dalam Sarh Riyadh As-Shalihin.

Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul-Nya, dan ulul amri di antara kamu.” (QS An-Nisa’ 59). Imam Ali ra menafsirkan, “kewajiban bagi ulul amri adalah memerintah dengan adil dan menunaikan amanah. Bila ia sudah menjalankannya, wajib bagi kaum muslimin mentaatinya. Sebab Allah memerintahkan kita (ulul amri) untuk berlaku adil dan menunaikan amanah. Lalu memerintahkan rakyat untuk taat.

Ulama dan umara memiki peran signifikan bagi rakyat sehingga antara keduanya harus satu visi dan misi. Tidak boleh ada garis pemisah. Kyai bertugas mengayomi rakyat dengan tausiyahnya. Pemimpin menjamin ketentraman rakyat dengan kekuasaannya. Sebaik-baik umara adalah yang dekat dengan ulama dan sejelek-jelek umara yang jauh dari ulama.

Baca juga:   Umar dan Walid

Keempat, kata santri berasal dari bahasa sanskerta, yaitu san artinya orang baik; tra berarti suka menolong. Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Kaum santri dididik tidak hanya agar mereka berpendidikan saja, tetapi berbudi pekerti dan gemar menolong. Mereka dituntut harus bisa berkontribusi di mana pun mereka berada. Orientasi mereka adaah bermamfaat bagi sesama tanpa memelas upah atau pamrih.

Para penyelenggara negara wajib mengadopsi hal positif ini. Jadikanlah jiwa anda jiwa santri yang banyak memberi dan sedikit meminta. Layaknya santri yang dituntut berkontribusi, para pemimpin pun harus demikian. Mereka harus berjuang menyejahterakan rakyat bukan menyengsarakannya. Mereka bekerja untuk rakyat bukan mempekerjakannya. Mereka memberi rakyat makan bukan malah memerasnya.

Kelima,pesantren hingga kini bisa tetap eksis mengingat kiprahnya hampir ratusan tahun, jauh sebelum republik ini berdiri. Rahasianya adalah karena pesantren dibangun atas dasar keikhlasan yang berbuah keringat. Para kiyai dan ustadz mendidik santrinya dengan nilai pengorbanan dan khidmah (pelayanan).. Orientasi utamanya adalah menyelamatkan umat dari penghambaan kepada manusia dan materi menuju penghambaan yang tulus kepada Allah SWT saja (Tauhid).

Seandainya para pemimpin kita menganut nilai-nilai positif di atas, niscaya mereka akan tahu diri. Amanah kekuasaan itu adalah sarana untuk bertadhiah dan berkhidmah kepada rakyat. Sehingga tidak pantas mereka menilep uang rakyat lalu memperkaya diri. Tidak layak mereka menyembah materi dan kursi. Tidak patut mereka menuntut gaji lebih sebelum kinerjanya terbukti.

Keenam, pendidikan di pesantren berorientasi pada akhirat, bukan pada dunia semata. Slogan mereka “mencari akhirat dunia dapat, mencari dunia akhirat tak tentu dapat”.

Para pemimpin semestinya mengajak rakyatnya untuk mengingat dan beribadah kepada Allah swt karena itu adalah tugas dari penciptaan manusia. Jangan sampai mereka mengajak ke lubang kesyirikan karena setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.

Baca juga:   Apa Resolusimu Ramadhan Ini?

Terakhir, pesantren mengajarkan kemandirian. Sampai saat ini mayoritas pesantren bisa hidup atas hasil keringat mereka sendiri. Mengingat bantuan dari pemerintah amat terbatas, hal itu bukan problem akut. Pesantren semakin giat mendirikan badan-badan usaha untuk melanjutkan eksistensi mereka. Meminta bantuan pemerintah bisa jadi dianggap opsi terakhir, itu pun harus melalui pemotongan dana di sana-sini.

Pemerintah kita seharusnya bisa belajar dari kemandirian pesantren. Sehingga bangsa kita bisa berdiri tegak dengan kaki kita sendiri tanpa perlu menengadahkan tangan mengemis hutang luar negeri. Pesantren pada masa lalu memilih non kooperatif terhadap kepentingan kolonial. Pemerintah kini harus bersikap sama terhadap monopoli asing. Bila pesantren menyerukan jihad menentang kolonialisme, kini pemerintah harus berani berjihad menentang neoliberalisme.

Tujuh poin di atas adalah potret pesantren dengan kesederhanannnya. Kesederhanaan yang melahirkan para pembesar negeri ini. Agus Salim sebagai diplomat ulung. Muhammad Natsir sebagai perdana menteri. Jendral Sudirman sebagai panglima TNI. Hasyim Asyari sebagai tokoh pembaharu, dan lain-lain. Mereka adalah pemimpin sederhana berjiwa santri. Melalui rahimnya, pesantren tidak pernah lelah melahirkan calon pemimpin yang dibutuhkan negeri ini.

Sudah berbagai macam teori dan konsep yang diikhtiarkan demi menyelamatkan negara ini, tetapi hasilnya tetap gagal. Kenapa kita tidak kembali kepada konsep kita sendiri. Konsep yang relevan dengan kultur rakyat kita. Konsep yang tidak njelimet  dan terjaga orisinalitasnya. Yaitu konsep pesantren yang telah teruji keberhasilannya.

(@JumalAhmad)

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *