Metodologi penulisan sejarah adalah kajian tentang cara sejarah diteliti, direkam, dan ditafsirkan. Ibnu Khaldun tercatat sebagai ilmuwan yang pertama serius menggunakan pendekatan historis dalam wacana keilmuan Islam. Makalah ini berusaha menjelaskan hal tersebut dengan segala kekurangan yang dimiliki penulis. Selamat menikmati!
"Tidak ada penulis Arab dan Eropa yang mempunyai pemikiran sejarah yang jelas seperti Ibnu Khaldun yang telah mengulasnya secara filosofis. Semua orang sepakat bahwa ia adalah ahli filsafat sejarah terbesar selama negara Islam terbentang dan salah seorang ahli filsafat sejarah terbesar selama dunia berkembang"
Philip K Hitti, History of the Arabs from the Earliest Times to Present, 568
"Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang menghasilkan konsep filosofis dan sosiologis tentang sejarah"
Bernard Lewis, The Arabs in History, 136
Islam dalam lintasan sejarah selalu mengalami pasang dan surut sebagai sebuah peristiwa historis yang paling menakjubkan. Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh yang hidup pada masa ‘kegelapan Islam’.
Ibnu Khaldun dinilai sebagai cendekiawan Muslim yang tetap kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada masa pertengahan. Saat itu, cendekiawan Muslim cenderung hanya melakukan evaluasi, kanonisasi dan memberikan ulasan kritik terhadap karya abad keemasan Islam. Hasilnya, ilmu pengetahuan Islam mengalami kemandegan, pemikir dan penulis Islam kreatif semakin berkurang.
Konteks Sosio-Historis Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun hidup pada saat dunia Islam mengalami pergumulan dalam berbagai bidang, sebagai akibat adanya beberapa proses peralihan kekuasaan pemerintahan. Situasu politik dunia Islam pada masa Ibnu Khaldun tidak stabil. Instabilitas politik ini membuat beliau berpidanh-pindah dari satu kota ke kota yang lain.
Afrika Utara, tempat kelahiran Ibnu Khaldun merupakan medan pemberontakan dan kekacauan politik. Dinasti al-Muwahhidun hancur lebur dan di atas puing-puingnya berdiri dinasti-dinasti kecil. Di Tunis muncul keamiran Bani Hafs, di Tilmisan tegak kemairan Bani Abd Wad dan di Fez lahir dinati Bani Marin. Dari ketiga dinasti kekuasaan pemerintahan ini, Bani Marin adalah yang terbesar dan menguasai sebagian besar daerah penginggalan dinasti al-Muwahhidin.
Sementara itu, di Andalusia, pihak Salib sedang bersiap-siap untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang berada di bawah kekuasaan Muslim. Toledo, Cordova dan Sevilla yang merupakan pusat kebudayaan muslim sudah jatuh ke tangan mereka. Kaum muslim hanya mampu mempertahankan sebagian kecil kawasan di Andalusia Selatan yang meliputi Granada, Almeria dan Gibraltar.
Adapun dalam bidang intekeltual, kaum muslim pada abad ke-14 Masehi mengalami stagnasi pemikiran. Karya umat Islam yang muncul pada masa itu hanya berupa syarah atau hasyiyah terhadp buku-buku yang dikarang para ulama yang tumbuh pada masa keemasan.
Ibnu Khaldun: Kelahiran dan Silsilahnya
Nama dan Keluarga
Ibn Khaldun lengkapnya Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khalid ibn Usman ibn Hani ibn al-Khattab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn Harish ibn al-Wail ibn Hujr. lahir di Tunisia pada 27 mei 1332 M dan wafat pada 25 Ramadhan 808 H / 19 maret 1406 M di kairo.
Semasa kecil ia biasa di panggil dengan Abdurrahman dan biasa dipanggil dengan nama keluarga (kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya, Zaid. Beliau sering disebut dengan gelar yang di sandangnya yaitu Waliuddin, sebuah gelar yang diberikan kepadanya sewaktu memangku jabatan Hakim Agung di Mesir, akan tetapi nama populernya adalah Ibnu khaldun yang disandarkan kepada kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid.
Mengapa Ibnu Khaldun menyandarkan nama dirinya kepada Khalid? Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Khaldun dalam buku biografinya, al- Taʻrīf bi-Ibn Khaldūn wa-riḥlatihi gharban wa-sharqan. Khalid bin Usman adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk dari bangsa Arab pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona. Lalu mereka pindah dan menetap di Sevilla, memainkan peran penting dalam perang saudara abad ke-9, dan menjadi salah satu keluarga terkemuka di kota itu. Selanjutnya, keturunan Khalid dikenal dengan sebutan Banu Khaldun.
Keluarganya berasal dari Hadramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat nabi yang bernama Wail bin Hujr. Beliau pernah meriwayatkan sejumlah hadis Nabi, serta pernah pula dikirim oleh Nabi untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk daerah itu. Kemudian, Khalid ibn ‘Utsman, memasuki Andalusia bersama orang arab penakluk di abad 8 M karena tertarik dengan kemenangan-kemenangan umat Islam.
Anak cucu Khalid membentuk keluarga besar yang di berinama bani khaldun. Bani ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah di Andalusia. namun, ketika dinasti al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia dan kekuasaanya jatuh ke penguasa Kristen, Bani khaldun pindah ke Tunisia.
Guru Pertamanya
Ayah ibn khaldun Abu Abdillah Muhammad terkenal ahli dalam bidang al-Qur’an, ilmu hukum islam, dan sastra arab. Dari ayahnya Ibn Khaldun belajar membaca dan menghapalkan al-Qur’an dan fasih dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Qur’an). Tahun 1349, ayah dan ibunya meninggal saat bencana Black Death menyerang Tunisia.
Ibnu Khaldun juga belajar berbagai disiplin ilmu yakni tafsir, hadist, fiqh, dan gramatika bahasa arab dari sejumlah guru yang terkenal di Tunisia. Ia adalah pemikir dan ilmuan muslim yang pemikirannya di anggap murni dan baru pada zamannya.
Ibn khaldun adalah seorang cendikiawan muslim yang hidup pada masa kegelapan islam. ia di pandang sebagai satu-satunya ilmuan muslim yang masih kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme islam pada periode pertengahan.
Perjalanan Hidup Ibnu Khaldun
Untuk mempermudah deskripsi perjalanan hidup Ibnu Khaldun, penulis hendak memaparkan dua fase kehidupan Ibnu Khaldun yaitu fase masa pendidikan, fase politik praktis.
Masa Pendidikan
Ibn Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang yang mencintai ilmu. Ia sejak kecil sudah menghapalkan al-Qur’an dan mempelajari tajwid secara baik. Masa pendidikan ibn khaldun berada di Tunis dalam jangka waktu 18 tahun antara 1332 sampai 1350 M. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, Muhammad ibn Muhammad. Ia mendidik Ibnu Khaldun dan mengajarkan dasar-dasar agama Islam.
Pendidikan Ibnu Khaldun dari ayahnya tidak berlangsung lama karena ayahnya wafat pada tahun 1349 M akibat serangan penyakit The Black Death. Selain dari ayahnya Ibnu Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu di Tunis seperti ilmu fiqh, bahasa, sastra, sejarah, juga belajar ilmu mantiq dan filsafat. Ia juga mempelajari ilmu politik geografi, ekonomi dan lain-lain. Menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun punya kecerdasan yang sangat luar biasa.
Aktifitas Politik Praktis
Sekretaris Sultan
Karir politik Ibnu Khaldun dimulai dengan mengabdi kepada pemerintahAbu Muhammad ibn Tafrakin pada tahun 751 H/ 1349 M. Pada pemerintahan ini, Ibnu Khaldun menduduki jabatan sebagai penulis kata-kata al-hamdulillah dan al-shukrulillah dengan pena serta tulisan basmalah yang mengawali surat atau instruksi. Jabatan ini membutuhkan suatu keahlian di bidang mengarang sehingga rangkaian kata-kata syukur dan isi surat dapat terpadu menjadi satu kesatuan tulisan yang serasi.
Anggota Majelis Ilmu
Setelah Tunis di serang oleh Amir Qusanthinah, Ibn Khaldun pindah ke Baskarah, ia diangkat menjadi anggota majlis ilmu pengetahuan di Fez (maroko) dan menjadi pengawal sultan, saat itu umurnya 20 tahun. Oleh Sultan Abu Inan diangkat menjadi sekretaris sultan. Setelah menikah dan dua tahun mengabdi, sultan mencurigainya bersekongkol dengan Amir Abdullah al-Hafsi yang akan memberontak pada tahun 758 H/ 1356 M.
Ia dimasukkan ke dalam penjara selama dua tahun lalu dibebaskan oleh wazir al-Hasan bin Umar dan mengabdikan diri pada penguasa barunya yakni Ibnu Salim. Ia menjadi sekretaris negara dan pegawai tinggi dalam soal hukum dan pelanggarannya.
Setelah terbunuhnya Ibn Salim dalam satu pemberontakan di istananya, tahun 764 H / 1361 M Ibnu Khaldun mengadakan perjalanan ke Andalusia, Gibraltar, dan Granada yang ternyata sultannya yakni Muhammad ibn Yusuf bin Ismail bin Ahmar adalah sahabat karibnya. Di Granada Ibnu Khaldun dipercaya menduduki jabatan sekertaris dan penulis pidato-pidato sultan. Saat itu umurnya 30 tahun.
Duta Istana
Tahun765 H / 1364 M, Ibnu Khaldun diutus oleh Bani Ahmar sebagai duta ke istana raja Pedro l (raja Kristen Castile dan Seville) untuk mengadakan berbagai perundingan. Disana ia melihat monumen-monumen nenek moyangnya. Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa Pedro memperlakukannya dengan sangat murah hati, menyatakan kepuasannya atas kehadirannya dan menunjukkan keunggulan nenek moyang mereka di Sevilla.
Pedro bahkan menawarinya jabatan dan berjanji untuk memulihkan tanah leluhurnya, tetapi Ibnu Khaldūn dengan sopan menolak. Namun, ia dengan senang hati menerima desa yang diberikan sultan Granada kepadanya. Tetapi, perdana menteri yang sangat berkuasa, Ibn al-Khaṭīb, menentangnya dan menimbulkan kecurigaan mengenai kesetiaannya.
Sekali lagi, Ibnu Khaldūn merasa perlu untuk pergi, dan ia kembali ke Afrika. Tak lama ibnu khaldun meninggalkan Andalusia pada pertengahan tahun 766 H / 1364 M menuju Bijayah. Di Bijayah Ibnu Khaldun disambut dan diberi kedudukan sebagai perdana menteri oleh Abdullah Muhammad al-Hafsi. Disini ia juga menjadi dosen ilmu hukum di Bijayah.
Namun ada pergolakan politik di Bijayah, Ibnu Khaldun kemudian pergi ke Baskarah. Ia tinggal selama enam tahun di Baskarah. Dari Baskarah Ibnu Khaldun menuju Tilmisan, disana ia ditawari kedudukan sebagai perdana mentri Tilmisan tapi ditolaknya.
Selesai mengarang kitab Al-‘Ibar, ia pulang ke Tunisia kemudian tinggal selama kurang lebih empat tahun 780-784 H / 1378- 1382 M. Kemudian pergi lagi ke Iskandaria, menuju ke Kairo di Kairo ia di beri kesempatan mengajar di Universitas al-Azhar.
Pada 786 H / 1384 M Ibnu Khaldun mendapatkan jabatan baru sebagai ketua pengadilan, untuk yang pertama kalinya 786-786 H / 1384-1385 M. Tahun 787 H / 1385 M ia turun dari jabatan itu setelah satu tahun. Tahun 801 H / 1399 M Ibnu Khaldun terpilih kembali menjadi ketua pengadilan Malikiah. Pada tahun itu pula sultan Zahir Burquq wafat dan digantikan putranya sultan al- Nasir Faraj.
Khalwat Ibnu Khaldun
Setelah malang melintang di dunia politik ia merasa sudah lelah berada dalam urusan politik. Ibn khaldun memutuskan memasuki tahap kehidupan baru yang di sebut dengan ‘khalwat Ibnu Khaldun‘.
Masa khalwat ini dialami Ibn Khaldun dalam jangka empat tahun pada tahun 1374 sampai 1378 M. Beliau mengasingkan diri di tempat terpencil yaitu rumah bani ‘Arif di dekat benteng Qal’at ibn Salamah dan kemudian tinggal di sana dari 776-780 H/ 1374-1378 M, tempat ini sekarang terletak di kota Frenda, Aljazair.
Dalam masa ini Ibn Khaldun mengumpulkan pemikirannya dan menyusunnya dalam serial tujuh buku besar yang berjudul “kitab al ‘ibar, wa diwan al mubtada’ wa al khabar fi ayyam al ‘arab wa al ‘ajam wa al barir wa aman ‘asarahum min dhawi al sultan al akbar“. Kitab al–i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun.
Kitab Al-Ibar berisi kajian sejarah universal dari bangsa Arab dan non Arab, yang di dahului oleh pembahasan metode penulisan sejarah dan masalah masalah sosial manusia yang popular dengan sebutan Muqaddimah ibn Khaldun dan sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab ini. Buku selesai pada tahun 1381 M dan setelah menyelesaikan karyanya, Ibnu Khaldun terus merevisi dan melengkapinya sepanjang hidupnya.
Tahun 1382 M, Ibnu Khaldun pergi haji ke Makkah, dan dia tidak pernah kembali lagi ke kampungnya di Afrika Selatan.
Pegawai Kerajaan Mamluk
Tahun 1384 M, Ibnu Khaldun diangkat sebagai pegawai di kerajaan Mamluk, Mesir. Ibnu Khaldun mengalami naik turun jabatan di Kairo sampai 6 kali selama hidupnya.
Saat itu, kerajaan Mamluk adalah satu-satunya kerajaan yang stabil di Timur Tengah. Setelah mendapat serangan dari Mongol dan bencana Black death.
Pada tahun yang sama, kapal yang membawa istri dan anak-anaknya tenggelam di lepas pantai Alexandra. Sejak itu Ibnu Khaldun mengambil waktu istirahat dari posisi politik dan mulai mengajar di beberapa sekolah dan universitas di kerajaan Mamluk.
Saat Timur Lenk hendak telah menyerang Damaskus dan mau menyerang Mesir, Sultan Mamluk mengajak Ibnu Khaldun menemuinya Timur Lenk untuk melakukan perundingan. Akhirnya, semua tentara Mamluk kembali ke Mesir namun Ibnu Khaldun tetap tinggal.
Dalam negosiosinya dengan Timur Lenk, Ibnu Khaldun banyak melakukan diskusi berbagai topik. dan terjadi diskusi antara keduanya, antara lain Timur Lenk bertanya ihwal pekerjaan Ibn Khaldun dan tentang sejarah Afrika Utara. Timur Lenk tentulah cukup terkesan dengan pengetahuan ensiklopedis Ibn Khaldun sehingga memerintahkannya menulis sejarah Afrika Utara. Ibnu Khaldun menyanggupinya karena memiliki banyak pengetahuan tentang itu.
Karena bantuan ini, Ibnu Khaldun meminta Timur Lenk untuk memperlakukan kota dengan baik dan membiarkannya kembali ke Mesir.
Timur mengizinkannya dan kemudian dia menjarah Damaskus dan membakar masjid besarnya karena bagaimana lagi akan memastikan bahwa dia dikenang sebagai Timur si Penghancur.
Sekembali ke Kairo, Ibn Khaldun ditunjuk lagi menjadi hakim pada akhir 803 H.
Pada 26 Ramadan 808 H/17 Maret 1406 M, beberapa pekan sebelum penunjukan terakhirnya, sejarawan yang cemerlang dan sang pelopor ilmu masyarakat ini wafat dalam usia 74 tahun, pasca menjalani keriuhan kehidupan politik dan kecemerlangan ilmu. Dia dikubur di pemakaman sufi di luar Bab al-Nasr, Kairo, Mesir.
Metodologi Penulisan Sejarah Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dikenal sebagai ahli ekonomi, ahli sosiologi, dan ahli historiografi.
Historiografi adalah ilmu penulisan sejarah atau ilmu yang mempelajari bagaimana merekam sejarah dan bagaimana memahaminya.
Dalam menulis karya sejarahnya, Ibn Khaldun menggunakan bantuan disiplin ilmu lain yang membuat karya dari penulisan sejarahnya komprehensif dan objektif. Menurutnya, dalam penulisan sejarah membutuhkan metode khusus atau ilmu bantu untuk memahaminya.
Ketelitian aspek kritik internal maupun eksternal sangat diperlukan, jadi tidak bergantung sumber sejarah saja atau hanya mempercayai pembawa sumber. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya mengetahui watak peradaban dunia agar tidak tergelincir dari kesalah dalam menulis sejarah.
Ilmu Umran
Dalam menulis karya sejarah yang baik, Ibnu Khaldun menggunakan ilmu bantu yang disebut ilmu Al-Umran yang berarti didiami, kegiatan hidup yang sibuk, kemakuran yang berkembang, peradaban dan pembangunan. Ilmu Umran dalam istilah modern dikenal dengan ilmu Sosiologi.
Menurut Ibnu Khaldun, sosiologi merupakan ilmu yang membahas tentang asal usul masyarakat dan mengamati hal-hal yang menyebabkan terjadinya peradaban dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan sejarah, ilmu ini penting bagi penulisan sejarah.
Tanpa ilmu ini, historiografi tidak akan dapat menggambarkan kehidupan manusia secara lebih utuh dan jelas. Studi sejarah yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun berkenaan dengan peristiwa sosiologi di antaranya berkaitan dengan masalah politik, yaitu tentang solidaritas sosial (‘ashabiyah).
Sebagai seorang sejarawan abad pertengahan, Ibnu Khaldun telah membaca karya-karya sejarawan sebelumnya yang selalu dipenuhi berita-berita tidak objektif. Ia kemudian mengkritik penulisan sejarah mereka, misalnya berita tentang Harun al-Rasyid yang dikatakan suka minum khamr dan bermabuk-mabukan dalam pesta dengan para pembesar istana.
Menurut Ibnu Khaldun, berita-berita ini tidak benar karena Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang tekun dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan adil dalam menjalankan tugas. Sebagai seorang yang taat dalam menjalankan perintah agama, Harun al-Rasyid mustahil melakukan perbuatan yang dilarang oleh agamanya.
Ibnu Khaldun pernah mengkritik sejarawan al-Mas’udi, yang menuturkan bahwa Iskandar Agung didatangi binatang-binatang laut sewaktu ia membangun kota Iskandaria. Untuk menanggulangi gangguan binatang ini, Iskandar membuat peti kayu, Iskandar lalu masuk ke dalam peti itu dan menyelam ke dasar laut. Saat berada di dalam laut, ia menggambar binatang-binatang itu yang kemudian lari ketakutan sehingga ia dapat menyelesaikan pembangunan kota itu dengan selamat.
Sejarah ini, menurut Ibnu Khaldun tidak benar, karena seorang yang menyelam air, meskipun di dalam kotak, tidak akan dapat bernafas secara alami. Seorang yang menyelam dalam air tanpa membawa alat-alat selam akan kehilangan udara dingin yang dibutuhkannya menurut ukuran paru-paru normal. Orang itu akan mati di tempat, oleh karena itu, berita ini mustahil.
Hal seperti di atas umumnya terdapat pada karya-karya sebelum Ibnu Khaldun. Karena mereka hanya menerima berita tanpa melakukan penyelidikan secara kritis sehingga berita tersebut secara pelan-pelan masuk ke tulisan sejarah mereka. Akibatnya, historiografi menjadi tidak berarti dan orang-orang yang mempelajarinya menjadi bingung.
Sebab Kesalahan Para Sejarawan
Ibnu Khaldun menyebutkan sebab-sebab kesalahan yang sering dilakukan oleh sejarawan dalam menuliskan sejarah sebagai berikut:
- Adanya semangat memihak atau bias kepada pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab tertentu.
- Kepercayaan yang berlebihan kepada penutur sejarah, padahal penutur berita baru dapat diterima setelah melakukan proses ta’dil dan tarjih (kritik terhadap keadilan dan ketercelaan penutur berita).
- Sejarah tidak mampu memahami maksud yang sebenarnya dari apa yang didengar dan dilihat, dan penyampaian laporan hanya berdasarkan pada dugaan atau prasangka.
- Adanya asumsi yang tidak berdasar terhadap kebenaran berita. Pada umumnya hal ini sering terjadi karena terlalu memutlakkan “kebenaran” suatu berita.
- Sejarawan tidak dapat menempatkan secara tepat suatu kejadian dalam hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya karena kabur dan rumitnya keadaan.
- Keinginan untuk mengambil hati orang yang berkedudukan tinggi dengan cara memuji, menyiarkan ke masyarakat, membujuk, menganggap baik semua perbuatan mereka, dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan mereka.
- Tidak mengetahui hukum-hukum watak dan perubahan masyarakat manusia.
Ibnu Khaldun kemudian berupaya menghindari kesalahan dalam penulisan sejarah sehingga ia menyatakan bahwa ada beberapa syarat agar tulisan seoran gsejarawan diterima oleh pembaca, antara lain sebagai berikut:
- Sejarawan hendaknya mengetahui prinsip-prinsip politik, perbedaan bangsa-bangsa, tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan,sekte-sekte mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya.
- Sejarawan harus mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan masa lalu dan masa kini dan mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi serta sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya.
- Sejarawan harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa. Sasarannya ialah untuk melengkapi tentang sebab terjadinya setiap peristiwa dan mengenal asal usul suatu peristiwa. Selanjutnya, ia harus meneliti sebuah berita yang dinukilnya dalam prinsip-prinsip dasar yang telah ia ketahui. Apabila memenuhi syarat, maka berita itu benar; dan apabila tidak, maka berita itu harus ditolak.
Kajian sejarah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun mendekati penulisan sejarah yang bermutu. Hal ini karena ia menyandarkan pembahasan pada pengamatannya atas gejala-gejala sosial yang terdapat pada bangsa-bangsa yang diketahuinya, hidup di tengah-tengah mereka, dan tanpa melupakan sejarah masa lalu bangsa tersebut.
Dalam pembahasan terhadap gejala-gejala sosial ini, Ibnu Khaldun menempuhnya melalui dua tahap.
- Pada tahap pertama, ia melakukan pengujian, observasi historis, pengamatan indradan sejarah terhadap gejala-gejala sosial. Oleh karena itu, sebagian materi sejarahnya diambil dari hasil pengamatan.
- Pada tahap kedua, ia memusatkan pemikirannya atas materi-materi utama itu kemudian memaparkannya dalam bahasa tulisan sehingga tercapailah tujuan yang ia maksud, yaitu menemukan hukum-hukum yang meliputi gejala sosial.
Kedua tahap ini merupakan metodenya dalam menilai fakta sejarah dari hasil pengamatannya.
Perbedaan kritik intern dan ekstern menurut Ibn Khaldun dapat dijelaskan dengan bantuan 2 perbedaan primer dan 4 perbedaan sekunder gejala sejarah.
Perbedaan pertama adalah bentuk eksternal sejarah yang merupakan kumpulan informasi tentang peristiwa sejarah pada waktu dan tempat tertentu. Kedua adalah makna internal sejarah yaitu investigasi rasional teoritis tentang asal usul dan sebab-sebab yang disebut dengan usaha-usaha ilmiah.
Sedangkan dalam 4 perbedaan sekunder, Ibn Khaldun mengalihkan karakter sejarah kepada para sejarawan dan membedakannya. Di antara mereka disebut sebagai ahli sejarah dan pemimpin yang dihormati dan diterima dan sebagian dikelompokan sebagai plagiat dan penulis ikhtisar sejarah.
Metode Historiografi Dirayah
Pengertian
Historiografi Dirayah adalah metode penulisan yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Metode ini menekankan pentingnya kebenaran, kritik, dan interpretasi dalam menyusun sejarah. Berbeda dari metode riwāyah yang hanya mengandalkan transmisi lisan atau tulisan tanpa memeriksa sumber dan konteksnya.
Metode penulisan sejarah ini mengandalkan sumber-sumber lisan atau riwayat dari para saksi mata atau generasi berikutnya untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah. Metode ini banyak digunakan dalam penulisan sejarah di dunia Islam, terutama pada masa awal perkembangan Islam ketika penulisan sejarah dengan tulisan formal belum umum.
Ciri Utama
Ciri utama metode historiografi dirāyah adalah bahwa para penulis sejarah yang menggunakan metode ini secara langsung menggali informasi dari orang-orang yang terlibat langsung dalam peristiwa atau mendengar dari sumber-sumber lisan yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya. Ini berarti mereka mencatat peristiwa sejarah berdasarkan apa yang mereka dengar dari para saksi mata atau penutur lisan.
Namun, perlu diingat bahwa metode historiografi dirāyah tidak berarti sepenuhnya mengabaikan penggunaan sumber tertulis. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan Islam, para sejarawan juga mulai menggunakan sumber-sumber tertulis seperti dokumen dan catatan tertulis lainnya dalam penulisan sejarah mereka. Namun, sumber lisan tetap menjadi elemen penting dalam proses pengumpulan informasi.
Cara Menggunakan
Kekuatan utama dari metode historiografi dirāyah adalah mendapatkan wawasan mendalam tentang kehidupan sehari-hari masyarakat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup pada masa itu. Sumber-sumber lisan sering kali mencakup cerita-cerita, legenda, dan narasi-narasi pribadi yang tidak tercatat dalam sumber-sumber tertulis. Dengan demikian, metode ini dapat memberikan dimensi yang lebih manusiawi dan personal dalam penulisan sejarah.
Namun, seperti halnya semua metode penulisan sejarah, metode historiografi dirāyah juga memiliki kelemahan. Informasi yang diwariskan secara lisan rentan terhadap distorsi dan perubahan dalam proses transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain itu, keakuratan fakta dapat dipengaruhi oleh kepentingan atau bias dari pihak yang memberikan kesaksian.
Untuk menggunakan metode historiografi dirāyah secara efektif, para sejarawan harus berhati-hati dan kritis dalam mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lisan. Korelasi dengan sumber-sumber tertulis dan analisis kritis akan membantu untuk memverifikasi kebenaran dan akurasi dari informasi yang dihasilkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode Ibnu Khaldun dalam menulis sejarah adalah metode historiografi dirāyah.
Metode historiografi dirāyah adalah metode penulisan yang mementingkan kebenaran suatu sejarah sehingga sejarah yang ditulis tersebut harus melalui kritik intelektual dan rasional serta didukung oleh observasi langsung terhadap peristiwa yang diteliti.
Dengan metode ini Ibnu Khaldun kemudian menulis sejarah secara sistematis. Ia menulis sejarah setiap negara dan dinasti secara teliti sejak permulaan hingga akhir sehingga peristiwanya lebih mudah dipahami. Ia mengurutkan objek pembahasannya, mencari kaitan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, mengatur dalam bab-bab, memberi judul, dan menyusun daftar isi.
Al-Ibar, Karya Ibnu Khaldun yang Berjasa bagi Ilmu Sosiologi
Karya besar dari Ibnu Khaldun adalah kitab Al-Ibar. Berisi sejarah manusia dan peradabannya, serta analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Ibnu Khaldun dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi karena ia mengembangkan konsep-konsep seperti:
- Asabiyah (solidaritas kelompok)
- Umran (peradaban), dan
- Konsep siklus
Berikut kita pelajari dengan singkat konsep-konsep di atas.
Konsep Asabiyah
Pengertian
Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial.
Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.
Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan menuju pada kehancuran.
Konsep ashabiyah merupakan bukti ketelitian Ibn Khaldun dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Ashabiyah merupakan kunci awal lahir dan terbentuknya sebuah negara.
Jika unsur ashabiyah suatu negara sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh karena itu teori ashabiyah ini tidak bisa disangkal keadaannya, dan bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer.
Pembagian Ashabiyah
Ibnu Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua pengertian.
- Ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama.
- Ashabiyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran.
Gagasan Ibn Khaldun tentang negara yang dikaji melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian terbentuklah ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang paling besar.
Perlunya Ashabiyah
Alasan diperlukannya Ashabiyah dalam sebuah negara:
- Berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan. Keadaan sebuah suku dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat.
- Proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat. Apabila imamah tidak mampu menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya.
Dengan demikian, solidaritas yang kuat ini memberikan efek yang dapat mempengaruhi keeksistensian negara. Kemudian dalam pembentukan ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama mempunyai peran penting dalam membentuk persatuan tersebut. Menurutnya, semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya.
Hal tersebut didukung oleh visi agama dalam meredakan pertentangan dan perbedaan visi rakyat, sehingga mereka mempunyai tujuan sama, untuk berjuang bersama menegakkan agamanya.
Hal ini bisa dibuktikan ketika dalam perang Yarmuk dan Qadisiyah, di mana pasukan umat Islam hanya berjumlah 30.000 orang, dan tentara Persia di Qadisiyah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraklitus, berjumlah 400.000 orang. Meskipun jumlahn pasukan umat Islam sangat kecil, tetapi karena didasari semangat persatuan yang tinggi dan dibentuk oleh peran agama hasilnya umat Islam mampu memenangkan peperangan tersebut.
Setelah negara yang utuh dan kuat sudah terbangun, semangat ini mulai luntur dari pemimpin dan masyarakat.
Ibnu Khaldun memberikan perumpamaan:
“Burung jatuh di tempat bijian di lempar. Rumah orang mulai dikerumuni. Fahamilah hal ini, dan ambillah kesimpulan bahwa puncak peradaban (Umran) adalah hadharah dan kemewahan. Peradaban telah mencapai puncaknya, ia pun berubah menjadi korupsi, dan mulai menjadi tua, seperti umur alami makhluk hidup.”
Menurutnya, sebuah tamadun/ peradaban tidak akan kekal dan bertahan lama, karena sifat alami manusia yang selalu tidak puas dan merasa cukup dalam kehidupan.
Hal ini sebagaimana hadis dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas,tentu ia menginginkan dua lembah lainnya,dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya(merasa puas)selain tanah(yaitu setelah mati)dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat. (HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Selain itu, Ibnu Khaldun mengingatkan peran Agama dalam menguatkan lagi konsep Ashabiyah dalam membangun umran yang maju.
Umran
Umran menurut Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua yaitu:
- Umran Hadhari
- Umran Badwi
Keduanya saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah negara yang maju. Umran Hadharri dan Umran Badwi adalah pergerakan hidup dari pedalaman ke kota melalui solidaritas dan penyatuan membina tamadun.
Ibnu Khaldun kemudian membagi perkembangan masyarakat menjadi 3 yaitu:
- Masyarakat Primitif atau Wahsy. Masyarakat primitif ini dimana mereka belum mengenal peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar.
- Masyarakat Pedesaan. Masyarakat pedesaan hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian mereka dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu: petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta.
- Masyarakat Kota. Masyarakat kota yakni masyarakat berperadaban, di mana mata pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian. Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok.
Konsep Tamadun Ibn Khaldun telah meletakkan beberapa ciri “umran” yaitu memiliki:
- Pegangan agama yang kuat
- Sistem kenegaraan yang tersusun rapi
- Kehidupan cara kota
- Pencapaian kaedah penulisan yang tinggi
- Kepakaran dalam bidang seni lukis dan seni reka
Konsep Umran
Salah satu konsep utama yang dikembangkan Ibnu Khaldun adalah konsep ‘Umran’ atau ‘Umran Ibn Khaldun’.
Umran dalam konteks pemikiran Ibnu Khaldun adalah istilah yang sering diterjemahkan dengan ‘tamadun’ dan ‘peradaban’. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan perkembangan dan evolusi masyarakat dari tingkat primitif menuju tingkat yang lebih kompleks dalam sejarah.
Umran mencakup berbagai aspek, seperti kebudayaan, ekonomi, politik dan sosial.
Berikut beberapa poin penting terkait konsep Umran Ibnu Khaldun:
- Teori Perkembangan Sosial: Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kebudayaan manusia melewati siklus sejarah yang terdiri dari tiga tahap utama yaitu 1). Ashabiyah: solidaritas sosial dan semangat kebersamaan, 2) Al-Fasad: penurunan solidaritas dan tanda-tanda keruntuhan, dan 3) Umran (peradaban): puncak dari perkembangan masyarakat.
- Faktor-Faktor Pembentuk Umran: Ibnu Khaldun mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap pembentukan peradaban. Diantaranya adalah pertumbuhan populasi, peningkatan keragaman pekerjaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan seni, serta pembentukan institusi-institusi sosial dan politik yang kuat.
- Sifat-sifat Umran: Umran memiliki ciri-ciri seperti kompleksitas, kemajuan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan yang lebih maju, dan pembentukan institusi politik yang stabil. Dalam fase Umran, masyarakat mencapai puncak kebudayaan dan kemajuan.
- Penurunan Umran: Ibnu Khaldun juga mengemukakan bahwa peradaban akan mengalami penurunan atau keruntuhan seiring berjalannya waktu. Faktor-faktor seperti kelebihan kekuasaan, korupsi, dan hilangnya semangat kebersamaan bisa menyebabkan keruntuhan Umran.
Konsep Siklus
Pengertian
Konsep Siklus/ Kitaran adalah sebuah teori sejarah yang menggambarkan pola perubahan dinasti atau pemerintahan dalam sejarah. Teori ini terkait erat dengan konsep Umran yang telah dibahas sebelumnya, karena Siklus menjelaskan bagaimana peradaban (Umran) berkembang dan kemudian mengalami penurunan.
Berikut penjelasan mengenai konsep Siklus Ibnu Khaldun
Tahap-Tahap Siklus
Ibnu Khaldun mengidentifikasi lima tahap dalam Siklus yang mencerminkan perubahan dalam sebuah peradaban.
- Kebangkitan sebuah peradaban berawal dari invasi/ penaklukan dan pemerintah pada masa ini memerintah dengan adil. Pada tingkat ini, Ashabiyah digunakan pemerintah untuk menguatkan lagi kedaulatan negara.
- Penguasa mulai memerintah dengan kekuasaan mutlak. Semangat kenegaraan mulai goyah.
- Kekuasaan seorang raja menjadi mutlak dan tidak ada campur tangan pihak lain dan melahirkan raja raja yang tamak dan gila kemewahan. Selain itu, pemerintah memberikan manfaat banyak untuk rakyatnya dan melahirkan masyarakat yang saling berlomba memenuhi hawa nafsunya.
- Kerajaan sampai pada puncak kejayaan. Pada masa ini, pemerintah tidak ingin membuat perubahan apapun, bahkan terus bersenang senang. Dan hal ini menggiring kepada kejatuhan pemerintahan.
- Kerajaan yang hidup dengan serba kesenangan yang melampaui batas tanpa menghiraukan pembaruan. Hal ini menyebabkan konflik lokal dan ketidak harmonisan dalam negara. Akhirnya muncul seorang tokoh pembaharu yang menjanjikan keamanan dan keadilan dan menumbangkan kerajaan lama.
Ibn Khaldun mengatakan bahwa solidaritas sosial ini terbentuk atau terdapat pada kelompok masyarakat generasi pertama, yang ikut berjuang mendirikan sebuah negara, dinasti, maupun kerajaan. Namun ketika memasuki kelompok generasi berikutnya semangat solidaritas itu berangsur hilang dan tidak diketahui kelompok masyarakat yang terakhir ini.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan terkikisnya semangat solidaritas, serta semakin menurunnya loyalitas masyarakat kepada pemimpinnya.
Sebagai contoh Ibn Khaldun menunjukkan dinasti Abbasiyah di zaman khalifah al-Mu’tasim dan anaknya al-Watsiq, di mana kekuatan bangsa Arab menjadi lemah, sehingga raja bergantung sebagian besar kepada orang-orang dari bangsa Persia, Turki, Dailami, Saljuk dll. Karena mendapatkan kesempatan dan kepercayaan sangat besar yang diberikan oleh raja, maka bangsa asing tersebut memanfaatkannya dengan menguasai daerah-daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah.
Kalimat Hikamiyyah
Pengertian
Ibnu Khaldun membuat delapan prinsip/ eight wise principles dari kebijakan politik yang disebut Kalimat Hikamiyyah. Masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual dalam sebuah alur daur dimana permulaan dan akhir tidak dapat dibedakan.
Kalimat hikamiyyah ini bersifat dinamik dan lintas disiplin karena tidak merujuk pada satu faktor saja, melainkan menghubungkan semua variabel penting politik, sosial dan ekonomi seperti syariah, otoritas politik, masyarakat, kekayaan, pembangunan, dan keadilan dalam sebuah daur putar independen, setiap faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama menerima pengaruh dari faktor lainnya.
Isi
Berikut Kalimat hikamiyyah dari Ibnu Khaldun yang disarikan dari nasihatnya kepada para sultan.
- Kekuatan kedaulatan (al-mulk) tidak dapat dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah.
- Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh sebuah kedaulatan (al-mulk)
- Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal)
- Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal)
- Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-‘imarah)
- Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al-‘adl)
- Keadilan merupakan tolak ukur (al-mizan) yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia dan
- Kedaulatan mengandung muatan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan (al-‘adl).
Referensi
Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara.
A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992
Prof. Dr. Toto Suharto, S.Ag. M.Ag., Historiografi Ibnu Khaldun: Analisis Atas Tiga Karya Sejarah Pendidikan Islam, Prenada Media, 1 Agustus, 2020
Tahqiq Mawaqif Shahabah fil Fitan min Marwiyyat Ath-Thabari wal Muhadditsin, Maktabah Al-Kautsar, cet.I, Riyadh, 1994 oleh Dr. Muhammad Amhazun.
نذير معيزي، أسس المنهج التاريخي عند ابن خلدون,مجلة رؤى تاريخية مالمجلد الأول العدد الثاني أكتوبر .2020 https://www.asjp.cerist.dz/en/downArticle/718/2/1/151399
Rekomendasi Artikel tentang Historiografi dalam Islam
- Sejarah Dan Pendekatan Historis Dalam Islam
- Historiografi Islam: Antara Riwayat dan Dirayat
- Urgensi Kajian Historiografi Periode Sahabat
- Sosiologi dan Pendidikan Modern Menurut Dr. Recep Şentürk
- Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Imam Thabari
- Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Miskawaih
How to cite this Article: Jumal Ahmad “Metodologi Penulisan Sejarah Islam: Telaah Terhadap Metode Ibnu Khaldun”, ahmadbinhanbal.com (blog), September 05, 2023 (+ URL dan tanggal akses)