Menatap Peluang Dakwah Mentawai dalam Kaca Mata Buya Mas’oed Abidin yang Masih Relevan Sampai Sekarang

Buya Mas’oed Abidin di dalam bukunya, Muhtadin Mentawai. Ditulis beberapa tahun yang lalu ternyata masih relevan sampai sekarang untuk membaca masyarakat Mentawai secara umum dan muallaf Mentawai secara khususnya. Hanya perbedaan data dan angka yang berubah seperti jumlah pelajar S1-S2 yang tentunya sudah meningkat sekarang.

PENDAHULUAN

Mentawai adalah satu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan. Sepanjang pantai barat Sumatera Barat, dari Air Bangis hingga mendekati Bengkulu. Gugusan pulau terpanjang di dalam wilayah Kabupaten Pariaman (1999). Kini telah menjadi kabupaten sendiri dengan nama KABUPATEN  KEPULAUAN MENTAWAI yang dipimpin oleh Bupati Saleleubaja, putra Sikakap, yang sebelumnya aktif dalam pembinaan keagamaan orang Mentawai, seorang pendeta. Mentawai terdiri dari empat pulau besar, Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Didampingi oleh hampir 72 pulau-pulau kecil lainnya.

Mentawai (1999) terbagi kepada empat kecamatan. Siberut Utara, Siberut Selatan, Sipora dan Pagai Utara Selatan. Mempunyai luas wilayah ± 6.549 km² . Jumlah penduduk 63.732 jiwa (1994) . Kini telah menjadi Kabupaten Kepulauan Mentawai. Komposisi kecamatannya sudah jauh berbeda.

Daerah ini baru terolah 12,91 % sekitar luas 845,45 km² (1993) Di isi diantaranya oleh Program Taman Nasional Siberut. Proyek-proyek transmigrasi Sipora, meliputi daerah Tuapejat, Sagitsi dan Mara. Ada juga rencana perkebunan masa datang. Beberapa HPH di daerah Sipora diolah oleh Bara Union. Daerah Sikakap Pagai Utara Selatan dikuasai oleh Minas Pagai Lumber Corp. (MPLC). Siberut Selatan daerah Saliguma dikuasai tadinya oleh perusahaan Malaysia dan Korea. Ini perkembangan yang tampak di tahun 1999 itu. Dan di tahun 2008 ini, perusahaan-perusahaan yang disebutkan itu sudah tidak ada lagi, ketika daerah itu sudah menjadi gundul karena kayu-kayuannya sudah habis ditebangi.

KEHIDUPAN TRADISIONAL

Kehidupan masyarakat Mentawai masih tradisional, bukan primitif. Masyarakatnya sudah menetap di dusun dan uma, walaupun peladangannya jauh ke tengah hutan.

Terutama di daerah hulu Sararekat ataupun Mara. Perkampungan mereka umumnya terletak di tepi sungai. Hanya pendatang yang umumnya senang bermukim di tepi pantai, mungkin karena faktor transportasi

Tingkat pendidikan memang masih rendah. Walau di tahun 2008 ini sudah banyak putra putri Mentawai yang menamatkan perguruan tinggi, sampai ketingkat S-1 dan S-2, bahkan ada yang sedang di jenjang S-3.

Sebagian mereka sudah kembali ke ibu kota Kabupaten sekarang di Tuapejat (Sipora), menduduki jabatan struktural di tingkat Kabupaten atau Kecamatan yang tersebar di kepulauan ini. Akan tetapi banyak pula yang tinggak di luar kabupaten ini, seperti di Tanah Tepi (nama sebutan untuk pantai daratan Sumbar dan Padang).

Kemampuan ekonomi kurang mendukung. Kesanggupan penduduk menyekolahkan anak-anaknya keluar daerah sangat terbatas.

Upaya mendesak dalam memajukan Mentawai adalah melalui peningkatan pengetahuan. Memacu keterampilan penduduk secara merata. Meningkatkan taraf perekonomian mereka.

Penduduk Mentawai — teristimewa di Sipora — telah menyediakan dan menyerahkan lahan ulayat mereka untuk mensukseskan program transmigrasi. Dalam pelaksanaannya banyak lahan yang tidak dimanfaatkan secara sungguh-sungguh. Umpamanya Tuapejat, banyak para transmigrasi meninggalkan daerah transmigrasi setelah habisnya masa pengawasan UPT-UPT. Atau pada masa berakhirnya jadup (jatah hidup) para transmigran dari pemerintah.

Kendalanya karena tidak memadainya sarana/prasarana transportasi. Jalan raya sebagai urat nadi perkembangan ekonomi belum ada.

Di tahun 1994, dimulai perencanaan pembuatan jalan raya dari Sioban ke Rokot. Akan dilanjutkan ke Tuapejat, kemudian mengitari pulau Sipora ini. Namun sampai sekarang di tahun 2008, ujud itu belum nyata sepenuhnya.

Memang sudah ada terbuka jalan dari Tuapejat ke Rokot dalam rentang waktu sepuluh tahun ini, tapi baru senang untuk ditempuh oleh roda dua. Termasuk sulit oleh kenderaan roda empat.

Kenderaan umum, semacam oplet atau angkot, yang menghubungkan Tuapejat dan Sioban belum juga ada. Masyarakat masih mengandalkan hubungan laut, perahu boat anatara dusun dan desa.

Ini akan menjadi kendala akan sulitnya memperoleh transportasi, ketika cuaca tidak mendukung, terjadi hujan dan badai, atau ketika harga BBM melonjak tinggi, karena persiapan BBM tidak selalu tersedia di pulau-pulau ini.

Masalah pokok pembangunan Mentawai adalah membangun masyarakat Mentawai, melalui pencerdasan dan peningkatan kehidupan (ekonomi). Mencerdaskan penduduk Mentawai melalui pendidikan. Menggiatkan keterampilan dalam bentuk belajar dari perbuatan (learning by doing).

Masalah-masaalah tersebut tidak dapat diabaikai, jika ingin memacu Mentawai yanag sudah jadi Kabupaten ini.

Setelah anak-anak generasi Mentawai menguasai ilmu, problema terbesar menyiapkan lahan kerja bagi mereka di kepulauan yang sudah menjadi Kabupaten ini. Sistim magang barang kali perlu dikaji secara matang, sebagai satu upaya alih keahlian dan pengalaman. Mentawai adalah bagian dari Provinsi Sumatera Barat dan satu pint di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Idealnya kepulauan yang terletak paling barat dari NKRI ini, dan mempunyai teluk-teluk yang dalam dan luas, seperti di Saliguma, Sarausau atau Katurai, dapat dikembangkan menjadi salah satu pos dari Pangkalan Pertahanan Angkatan Laut dibawah Lantamal Barat.

MENTAWAI RESOURSES

Sebenarnya Mentawai Resourses dapat digunakan menjadi tulang punggung perekonomian rakyat. Sumber Daya Manusia Mentawai perlu digerakkan menjadi lokomotif perekonomian Mentawai.

Dimulai dari penggarapan usaha yang akrab dengan kehidupan masyarakat Mentawai sendiri. Masyarakat Mentawai memerlukan pemimpin-pemimpin teladan untuk diikuti.

Sumber Daya Manusia yang ada di daerah Mentawai dirasakan masih terbelakang. Masih belum menunjang aktivitas ekonomi dan pembangunan — baik jumlah maupun kemampuan — kuantitas maupun kualitas.

Penduduk yang hidup secara tradisional dan alami harus dilatih melihat ke depan (back to future). Ketergantungan kepada pemanfaatan hasil alam yang tersedia sangat tinggi. Upaya pengolahan sagu, keladi, rotan untuk di jual, buah-buahan, maupun hasil ikan, sebatas konsumtif belaka, masih tradisionil pula.

Kehidupan penduduk masih dapat di sebut agak pasif. Kurang memandang ke depan. Perkembangan atau pertumbuhan penduduk pada satu daerah sangat di pengaruhi oleh aktivitas ekonomi mereka, dan oleh hasil yang ada di sekeliling mereka.

Baca juga:   Tutup Aib Orang Lain, Allah Menutup Aib Kita di Dunia dan Akhirat

Sebenarnya potensi alam Mentawai sangat tersedia untuk di kembangkan dalam arti luas. Apalagi bila dapat dikaitkan dalam program transmigrasi, Perkebunan Rakyat, resort pariwisata, pengembangan sektor perikanan, dan lain-lainnya. Namun perlibatan aktif komponen masyarakat Mentawai semestinya menjadi titik fokus yang strategis.

Mengabaikan peran serta generasi Mentawai secara etnik, akan menjadikan Mentawai tetap tertinggal sepanjang masa. Transmigrasi memang akan menyediakan sumber daya manusia yang trampil. Bila yang ikut dalam program ini berjiwa dinamik dan memiliki cita-cita tinggi. Tidak sekedar perpindahan penduduk daro kota yang padat ke daerah terpencil yang lengang.

Sejalan dengan program transmigrasi itu akan merupakan pendorong kepada kemajuan daerah dan wilayah. Ini tentu dapat ujud bila pembinaannya melalui keterampilan, dan pimpinan visioner membangun Mentawai wajib ada.

Masyarakat Mentawai bisa meniru kemajuan yang dibawa para transmigran. Ketika transmigran yang datang itu memiliki keunggulan dalam perilaku, dalam bekerja, dalam bermasyarakat, yang sesuai dengan kaedah kebiasaan Mentawai, yang kooperatif sifatnya.

Keindahan alam Mentawai dengan pantai berpasir putih, taman laut, karang terumbu, gelombang laut yang tinggi, musim laut yang menantang, tidak diragukan. Orang-oranng asing yang datang ke Mentawai, peminat keindahan laut, flora dan fauna, akan berdecak kagum.

Semuanya bisa jadi daya pemikat untuk dikembangkan dalam pertumbuhan pariwisata. Beberapa produk unggulan di daerah-daerah kepulauan Mentawai dapat diklasifikasi secara rinci dan terprogram. Umpamanya Siberut dengan komoditi perkebunan, observasi tanaman pengobatan, flora dan fauna, serta objek-objek wisata alam, hutan dan laut.

Sipora sebagai daerah transmigrasi, peternakan dan resot-resort Pariwisat. Pagai Utara Selatan sebagai budi daya ikan laut, serta potensi kehutanan, yakni peningkatan kerajinan tangan (home industri dari hasil kayu dan rotan).

Seluruh kecamatan-kecamatan yang ada di kepuylauan Mentawai berpotensi sebagai penghasil ikan laut yang punya harapan besar untuk pengembangan ekonomi rakyat.

Industri kecil sebagai hasil hutan seperti rotan, manau, kayu dan hasil kelapa, minyak, bungkil, atau hasil laut seperti bunga karang, kerajinan lokan, dan lainnya itu, berpotensi untuk di tingkatkan sebagai sumber penghasilan yang bisa memacu peningkatan ekonomi rakyat di Mentawai.

Masalahnya sekarang, berapa banyak dari potensi yang ada itu menyertaakan partisipasi dan aktifitas langsung generasi Mentawai …..???? Di tahun 2008 ini (setelah 10 tahun) masih terlihat jauh panggang dari api.

SASARAN UTAMA MEMBANGUN SDM MENTAWAI

Diperlukan pelopor-pelopor pembangunan Mentawai. Yakni orang-orang yang teruji tekad dan keinginan luhurnya dalam membangun Mentawai.

Mereka bisa terdiri dari putra-putri Mentawai yang memiliki kecintaan dan cita-cita membangun tanah leluhurnya. Mereka boleh juga terdiri dari seluruh etnis yang ada dalam lingkungan NKRI ini, yang mempunyai kecintaan dan rasa kebangsaan yang tinggi, serta tidak punya pikiran meraup keuntungan untuk diri sendiri, dengan memanfaatkan ketertinggalan penduduk Mentawai di dusun dan desa kini.

Masyarakat suku Mentawai sangat perlu dibawa serta dalam setiap proses pembangunan daerahnya, sebagai mitra usaha.

Harus dikembangkan metoda “membangun orang Mentawai yang akan membangun diri dan daerahnya”. Untuk itu mitra yang akan membimbing sangat diutamakan.

Sumber daya manusia (SDM) Mentawai mesti dikembangkan menjadi SDM yang mampu mengembangkan peluang ekonomi di Mentawai. Peluang-peluang ini sebenarnya sangat banyak.

Potensi laut juga merupakan peluang ekonomi yang belum tergarap secara sungguh-sungguh. Sejak beberapa dasawarsa belakang ini masyarakat pedalaman sudah mulai akrab dengan laut. Tetapi belum mengarah kepada penggalian potensi ekonomi secara intensif.

Pembangunan sumber daya manusia di Kepulauan Mentawai menjadi sesuatu yang utama. Melalui peningkatan pendidikan formal dan non formal.

Usaha intensif kearah peningkatan derajat kesehatan, gizi masyarakat. Penyuluhan, bimbingan keterampilan yang langsung menyentuh perilaku ekonomi masyarakat kepulauan ini harus menjadi inti program.

Keterisolasian masyarakat Mentawai selama ini telah membuat sebahagian besar masyarakat asli merasa asing. Kecurigaan terhadap program-program pembangunan yang berlangsung disebabkan karena rakyat kurang dibawa serta. Disebabkan karena kurang adanya rasa kemitraan.

Upaya yang mendesak adalah satu gerak yang berencana dan berkesinambungan. Tujuan secara pasti adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk.

POTENSI BUDAYA

Penyejahteraan hidup masyarakat tidak hanya terbatas kepada pemenuhan kebutuhan materi semata. Di samping peningkatan mutu maupun jumlah. Perlu juga penyertaan di dalam langkah produksinya. Mestinya ditumpukan pula ketitik peningkatan kemampuan penduduk.

Pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan aspirasi penduduk, akan berdampak mempersiapkan masyarakat pembangunan dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang semakin berat dan bermacam ragam.

Pembangunan yang aspiratif dan komunikatif semestinya menjadi program utama. Pembangunan semestinya bertitik tolak dari dan untuk manusia.

Dalam hal ini untuk dan oleh masyarakat suku Mentawai. Baik sebagai individu atau secara bersamaan. Juga berpengaruh besar ke dalam wawasan budaya di Mentawai.

Maknanya adalah bahwa manusia tidak hanya dilihat dari kemampuan jasmaninya, naluri dan ilmu serta keterampilan. Juga kepada kebudayaan yang mendukung.

Potensi budaya yang telah lama berlaku dan hidup ditengah masyarakat suku Mentawai dapat diangkat sebagai pedoman dalam menyesuaikan diri secara aktif dan arif dengan lingkungan tempat suku dan pembangunan itu akan digerakkan.

Membangun tidak berarti hanya memanfaatkan peran masyarakat dengan pengerahan massa dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang tidak mereka pahami maksud dan sasarannya.

Yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran. Bahwa yang mereka lakukan itu benar-benar sesuai dengan yang mereka hajatkan.

Mentawai sebagai bagian dari propinsi Sumatera Barat, ternyata tidak banyak dipengaruhi oleh alam budaya Minangkabau. Asimilasi atau pemesraan kebudayaan tetap berlangsung, walau secara lamban.

Hukum adat yang berlaku di Mentawai banyak seiring dengan norma dan etika yang ada dalam ajaran Islam dan ajaran agama-agama secara universal. Ini dapat dirasakan sebagai satu given dari alam takambang dijadikan guru.

Baca juga:   Tabligh Akbar MIUMI dan Silaturahmi Ulama di Masjid Raya Pondok Indah

Mentawai memang sangat tradisional, bukan primitif. Lebih pantas disebut satu etnik potensial alami. Kenyataan yang terlihat “Mentawai identik dengan upacara-upacara adat yang tua” seperti cawat atau kabit sebagai pakaian penduduknya.

Sesungguhnya, sangat banyak sekali keunikan budaya masyarakat yang masih tersimpan. Mentawai bukan suku bangsa yang tidak punya adat dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

Mentawai menganut etika yang sangat fanatik. Mentawai benar-benar diatur oleh nilai dan etika secara langsung, menjunjung tinggi etos yang juga banyak bersua di dalam ajaran Islam.

Akibat langsung dari kondisi riil budaya prilaku masyarakat ini, melahirkan pemahaman bahwa falsafah adat tanah tepi, dengan “Adat basandi syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” yang telah berlaku umum di seluruh alam Minangkabau itu, sedikit banyaknya berpengaruh pula terhadap kehidupan masyarakat suku Mentawai. Di sini kita melihat terjadinya pemesraan (asimilasi) budaya yang indah.

Terlebih disebabkan persinggungan budaya dengan alam Mianangkabau melalui perkawinan campuran. Hingga hari ini, suatu kebanggan bagi generasi Mentawai bila terjadi putra tanah tepi (dari ranah Minangkabau) dapat mempersunting putri Mentawai. Utamanya daerah sektoral adat budaya Pariaman sejak tiga abad berlalu telah menyatu dengan hampir seluruh daerah pantai kepulauan Mentawai.
Satu bukti pemesraan budaya yang sulit terelakkan.

Keadaan seperti ini, mau tidak mau telah membuahkan kontak asimilasi langsung. Begitu pula dengan daerah Pesisir Sumatera Barat, sejak Air Bangis dan Muko-Muko di Pesisir Selatan.

Banyak turunan Mentawai berasal dari sektor budaya ini. Sampai saat ini terlihat berpengaruh dalam upacara pelaksanaan perkawinan seperti untuk daerah Sipora dan Sikakap.

Keunikan serta komunikasi Mentawai telah memperlihatkan betapa dalam keterasingan dan keterpencilan suku Mentawai, selama ini tetap berasimilasi dengan budaya yang sudah maju. Keterasingan dan keterpencilan ini yang perlu disingkap dan di kuakkan,

Masyarakat suku Mentawai dalam komunikasi antar sesama dan setiap saat, tetap memiliki aturan-aturan yang ketat. Terutama di dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakatnya.

Sampai saat ini masih tetap berlaku dan dipertahankan sebagai suatu norma yang mesti dijunjung tinggi oleh setiap “orang Mentawai”. Beberapa norma yang hidup ditengah masyarakat Mentawai sesungguhnya dapat dijadikan modal penggerak bagi setiap usaha pembangunan yang akan dilaksanakan di kepulauan Mentawai. Mengikut sertakan seluruh unsur masyarakatnya menjadi salah satu kunci keberhasilan.

Sikap suka gotong royong, Mengenal adanya muhrim, dan terdapatnya Hukuman Berat Terhadap Pezina

Masyarakat Mentawai memang tidak mengenal apa yang disebut zina, karena hukuman yang berlaku keras terhadap pezina. Mentawai berprinsip orang yang melakukan perzinaan hukuman yang pantas adalah bunuh sampai mati atau diusir dari kampung halaman. Karena pengaruh zaman dan juga ajaran penghapusan dosa dalam gerakan misionaris pandangan terhadap perzinaan di Mentawai sekarang mulai melemah.

Hukuman yang banyak diterapkan adalah denda ( = tullo, bahasa Mentawai berarti denda yang dibayar dengan harta seperti Parang, Peralatan-peralatan Adat, babi, bahkan Peralatan Rumah Tangga). Pengambilan denda ini bisa sampai harta kekayaan habis, akhirnya pelaku zina terpaksa juga meninggalkan kampung halaman karena sudah melarat ditambah malu.

Denda dan hukuman akan siap mendera bagi laki-laki yang menyia-nyiakan auratnya terlihat oleh orang lain. Seperti yang diceritakan oleh banyak tokoh masyarakat Mentawai menyatakan bahwa dari cawat itu tidak boleh terlihat keluar sehelai bulupun. Bila ini terjadi hukumannya pastilah berat.

Sikap harga menghargai dan berkeadilan sangat menonjol

Orang yang tidak tahu menghargai orang lain, tidak mustahil menjadi mangsa hukum. Penduduk tidak boleh berbuat seenak perut. Semua urusan mesti diselesaikan menurut jalur dan norma yang berlaku.

Keadilan masyarakat Mentawai berlaku dengan ketat. “Ada sama di makan, tidak ada sama ditahan, demikian konsekuensi hidup bermasyarakat di Mentawai.

Seorang yang mendapat rusa buruan di hutan, akan memukul pentungan sebagai pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sesuku dengannya untuk dibagi dan dinikmati bersama. Kehidupan keluarga juga tidak luput menegakkan aturan ini.

Masyarakat Mentawai Jujur dan Pantang Didustai

Hal lain yang mesti dijaga dengan Mentawai supaya mereka jangan didustai. Sekali mereka “kena” mereka tidak akan percaya seumur hidup.

Orang Mentawaipun mengenal aurat dan berbudaya malu

Banyak orang mengenal Mentawai menurut cara berpakaiannya kabit, yakni menutup tubuh sekedarnya dengan kulit kayu. Bagi wanita memakai jenis rok yang terbuat dari kulit kayu dan pelepah pisang kering, (ini cerita masa dahulu). Tetapi mesti disadari bahwa memakai pakaian seperti ini bukanlah menjadi adat di Mentawai. Keadaan alam yang memaksa serta keterbelakangan menyebabkan mereka hanya memakai pakaian seperlunya saja.

Masyarakat pulau ini tidak ada yang tidak mengerti mana auratnya. Wanita memakai rok sepuluh centimeter di bawah lutut, menutup dada dengan menyilangkan pelepah dari tengkuk diikatkan ke perut. Tradisi berpakaian seperti ini jarang ditemui di seluruh suku primitif manapun di dunia. Mentawai bukan etnis primitif. Di tengah kemajuan pariwisata, beberapa hal negatif terjadi juga.

Masa ini para Pelancong berkulit putih yang datang ke Mentawai tidak jarang juga memakai tato sangat sering melakukan mandi telanjang tanpa menutupi aurat sama sekali seperti yang lazim berlaku di daerah asal mereka yang sudah maju. Kejadian seperti ini sangat kontras dengan kehidupan masyarakat Mentawai.

Komunikasi di Mentawai seakan seiring dengan teknologi maju.

Bahasa yang berlaku di Mentawai dipergunakan masyarakat secara universal. Tatto selain berperan sebagai aktualisasi karya seni asli Mentawai, juga berperan sebagai komunikasi langsung. Dari tatto dapat diketahui tentang perihal diri pemakaiannya. Bangsawan atau rakyat biasa, suku si pemakainya, usia serta jumlah anik dan keluarga.

Bahkan dari tatto dapat diketahui prestasi seseorang, misalnya berapa ekor binatang buruannya yang berhasil dibunuhnya. Komunikasi berbentuk isyarat telah diterima secara turun temurun mendahului kemajuan teknologi komunikasi modern. Bahkan setiap anak kecil di Mentawai mengerti isyarat berita yang di sampaikan melalui pukulan kentongan ini.

Baca juga:   Istriku Bidadariku

Kentongan yang dipukul ini biasanya bernama TUDUK KAT suatu bentuk teknologi sederhana dalam berkomunikasi semacam isyarat morse yang diketuk melalui ketontong yang terbuat dari kayu dan tersedia di setiap rumah. Apapun peristiwa yang terjadi seperti kematian, kelahiran, bahaya, dapat buruan diinformasikan melalui ketukan ketontong tersebut.

Apa pun yang terjadi di tengah suku akan di ketahui oleh suku yang lain. Menurut cerita perantau Padang (Sasareu menurut istilah Mentawai) isyarat morse Mentawai ini sangat efektif untuk menyebarkan informasi di seluruh pedalam kepulauan Mentawai. Jarang penduduk yang tidak mengerti akan tetapi susah dipelajari oleh orang lain (Pendatang).

Suku Mentawai tidak mengenal siapa yang kuat, ia yang berkuasa


Tidak dikenal adanya dispensasi hukuman kepada penguasa dan orang berpengaruh bila ia terbukti bersalah. Hukum tetap berlaku bagi semua anggota suku. Seorang kerei (= dukun) misalnya, yang terbukti melakukan penganiayaan dengan kekuatan batin akan segera diusir dari negeri itu dan tidak boleh kembali lagi. Sebelum berangkat, terdakwa dibekali sampan dan bekal makanan untuk beberapa hari.

Masyarakat Mentawai masih hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang terasing dari sistem budaya yang lebih luas


Masyarakat Mentawai harus diperkenalkan bagaimana besarnya arti satu pengorbanan dalam pembangunan yang punya kaitan luas dalam satu kesatuan nasional. Karenanya mereka harus diikut sertakan secara aktif dalam setiap proses pembangunan.

KENDALA MEMBANGUNAN MENTAWAI

Masih ada hambatan hingga sekarang, antara lain ;

  1. Jauhnya jarak antara tanah tepi dengan kepulauan ini, dan belum memadainya alat transportasi — tidak akan ada setiap waktu di kehendaki.
  2. Lingkungan alam dengan flora dan fauna yang berbeda, menjadikan wilayah ini dan menarik minat semua pihak eksklusif.
  3. Adaptasi terhadap lingkungan sangat berpengaruh terhadap mental basic sebagai masyarakat yang berpindah-pindah.
  4. Barang-barang keperluan sehari-hari memang tidak semuanya bisa dihasilkan sendiri, karenanya perlu ada pasar-pasar penukaran kebutuhan, yang sering didominasi oleh para pendatang.
  5. Penduduknya masih hidup dalam kelompok kecil yang terisolir dalam keterbatasan komunikasi.
    Pemukiman penduduk dan kiat mereka dalam memenuhi kebutuhan sangat tergantung kepada kemurahan alam.

Lingkungan telah menyediakan kebutuhan sehari-hari. Kehidupan masyarakat menjadi sangat statis. Hal ini berdampak kepada kesehatan masyarakat secara umum.

Setiap musim buah-buahan sering ditemui masyarakat dijangkiti penyakit kolera atau disentri. Kemudian, karena keterbatasan sarana dan petugas kesehatan serta kebiasaan penduduk kepada pedukunan sikerei, sebagai aspek sosial budaya, sering yang terjadi adalah bahaya kematian. Lebih banyak mengancam anak-anak balita.

Ketergantungan kepada alam dan lingkungan sangat berpengaruh besar. Bahkan membawa kesulitan bagi program pemindahan penduduk kelokasi pemukiman yang telah disediakan oleh pemerintah (PKMT). )

Kalaupun ada hasil yang diperdapat oleh pertanian sederhana, maka hasil tersebut umumnya dinikmati oleh keluarga, sanak sekampung saja. Hasil pertanian sederhana tersebut banyak terikat kepada produksi sosial. Tidak mengherankan, bila wilayah pemukiman turun temurun masih, dan tetap akan dipertahankan.

Padanya melekat tradisi pengolahan lahan, pengambilan hasil, dan pengamanan sumber-sumber daya alam sebagai satu wilayah kesukuan maupun wilayah Sibakatlaggai yang telah diikuti sejak lama. Memindahkan masyarakat Mentawai ke daerah yang lebih baik menurut tatanan modern, menjadi lebih sulit. Bila dipaksakan juga, setidak-tidaknya akan membawa masalah. Kerugian besar akan timbul.

Kesadaran wilayah, lingkungan dan kepemilikan ulayat suku pada masyarakat suku Mentawai sangat tinggi. Sangat mempengaruhi mekanisme gerak mereka.

Penerapan teknologi modern tanpa kesiapan mental dan pranata sosial yang mendukung akan dapat memperlemah kesetiaan penduduk terhadap tradisi pengolahan sumber daya.

Sebagaimana lazimnya juga pada daerah lain di Indonesia, pengenalan batas-batas lingkungan kerabat, wilayah, dan tatanan sosial, akan berdampak luas bagi mekanisme pengembangan diri, dan generasi berikutnya.

Di sini mereka mengembangkan aturan-aturan yang telah disepakati tentang yang boleh dan yang tidak, sebagai suatu kesepakatan sosial. Pengembangan pemukiman wilayah penduduk Mentawai seyogyanya di lakukan dengan memperhatikan pola – pola adaptasi sosial penduduk setempat.

Kurangnya penghargaan terhadap pemuka adat setempat bisa mengundang perlawanan. Setidak-tidaknya menimbulkan antipati dari kelompok masyarakat luas.

Akibatnya gerak pembangunan yang dilakukan menjadi terhambat. Yang ditunggu hanyalah pergantian generasi. Melalui pendidikan dan pengalaman hidup di daerah yang lebih maju. Proses kearah ini sedang berjalan.

Padang, Nopember 1999 – April 2008.

Webinar Nasional Aksi Peduli Bangsa: Peluang dan Tantangan Sosial, Ekonomi dan Budaya di Mentawai

Pada tanggal 15 November 2020, Aksi Peduli Bangsa mengadakan Webinar Nasional dengan tema ‘Peluang dan Tantangan Sosial, Ekonomi dan Budaya di Mentawai’ setelah sebelumnya kala wabah Corona belum muncul, APB juga sudah pernah mengadakan Seminar Nasional dua kali di kota Padang tentang Mentawai untuk para Mahasiswa di Sumatera Barat, bertempat di Aula PGRI Sumbar.

Acara webinar ini berjalan dengan baik, dan menarik sekali ketika sesi tanya jawab, salah satu peserta adalah Buya Mas’oed Abidin yang memberikan testimoni perjuangan beliau selama berdakwah dan nasehat untuk para dai yang berjuang di Mentawai.

Testimoni dan Nasihat dari Buya Mas’oed Abidin ada di menit 1:13:19.

Sumber:

 Buya Masoed Abidin, Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai: 30 Tahun Perjalanan Da’wah Ilallah Mentawai Menggapai Cahaya Iman, yang pada tahun 1997 diterbitkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.

Webinar Nasional Aksi Peduli Bangsa: Peluang dan Tantangan Sosial, Ekonomi dan Budaya di Mentawai, 15 November 2020. Link

Dewan Dakwah, Buya Mas’oed Abidin: Dai Penting Tulis Perjuangan Dakwahnya, Link: https://dewandakwah.com/2022/02/26/buya-masoed-abidin-dai-penting-tulis-perjuangan-dakwahnya%EF%BF%BC/

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *