Biografi dan Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Pengantar

Ibnu ‘Arabi adalah sosok sufi yang banyak mendapatkan kritikan dan tuduhan tajam. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengatakan, “Ma Ikhtalafal ulama’u fi ahadin ka ikhtilafihim fi Muhyidin Ibnu ‘Arabi”, tak ada satupun seseorang yang lebih kontrovesional di kalangan para ulama yang melebihi Ibnu Arabi.

Banyak ulama yang telah berusaha menjelaskan peri kehidupan dari Ibnu Arabi, yang paling lengkap adalah Taqiyudin Al-Faasi dalam kitab ‘Al-‘Aqduts Tsamin fi Tarikh Al-buldan Al-Amin’ dan ia mengatakan “Saya telah menulis biografi paling lengkap tentang Ibnu Arabi yang belum ada di kitab manapun, dan sebagiannya saya rujuk dari orang yang hidup semasa dengannya’.

Secara ringkas namanya adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath-Tha’i, Al-hatimi, Al-Mursi, Muhyiddin Ibnu Arabi. Lahir di Mursiyah pada tahun 560 H, ia tumbuh disana,  tahun 578 H pindah ke Asbelia setelah itu ia banyak mengadakan perjalanan menuntut ilmu seperti Syam, Romawi dan Baghdad.

Asal Usul, Definisi dan Hakikat Tasawuf

Asal usul Nama Tasawuf

Para ahli tasawuf sendiri mempunyai pendapat yang berbeda tentang asal-usulama tasawuf. Syaikh Sarraj Al-thusi menulis sebuah bab khusus yang berjudul “Babu Kasyfi ‘An Ismi Al-Shuffiyyah wa lima Summu Bihadzal Ismi, wa lima Nusibu Ila Hadza Al-libsati”.  Ia berkata, “Seseorang bertanya, “Para ahli hadits, dinisbatkan keahlian mereka pada ilmu hadits, para ahli fiqih dinisbatkan pada ilmu fiqih. Tetapi kenapa anda memberi nama “Shufiiyah” tanpa menisbatkannya pada sebuah keadaan atau suatu disiplin ilmu tertentu? Seperti zuhud dinisbatkan pada perilaku para ahli zuhud, tawakal terhadap perilaku orang-oarng yang bertawakal, sabar terhadap perilaku orang-orang yang bersabar?”

Maka jawabannya adalah: karena orang-orang sufi sendiri tidak mendalami salah satu cabang ilmu tertentu, tanpa cabang-cabang yang lain. Dan mungkin masih dipersoalkan kenapa mereka malah dinisbatkan kepada pakaiannya? Jawabannya adalah karena pakaiandari wol kasar merupakan kebiasaan para Nabi as dan syiar para wali dan orang-orang yang disucikan.”[1]

Dari kutipan di atas, As-Sarrraj berpendapat bahwa tasawuf diambil dari kata ‘shuf’ yang bermakna wol kasar dengan melihat pakaian yang kebanyakan digunakan kaum sufi.

Tetapi Al-Qusyairi yang juga seorang sufi berbeda pendapat dengan As-Sarraj. Ia berkata: “ketahuuilah oleh kalian semua –semoga kalian dirahmati Allah swt- sesungguhnya umat islam setelah wafatnya Rasulullah saw tidaklah melakukan penamaan apa pun untuk menunjukkan keutamaan mereka di jaman itu, kecuali para pengikut setia Nabi saw, sebab tidak ada keutamaan yang melebihi mereka, maka golongan tadi disebut dengan nama “As-Shahabah”.

Tetapi generasi berikutnya, orang-orang yang menjadi pengikut sahabat mulai dinamai dengan istilah “Tabi’in”, dan tampaklah dalam nama itu keutamaan yang tinggi dan keagungan. Dan orang-orang yang mengikuti tabi’in juga dinamai dengan “Tabi’ut Tabi’in”. Kemudian umat Islam terpecah belah, dan terjadilah perbedaan tingkatan. Orang-orang tertentu yang dengan tekun dan rajin mengamalkan ajaran agama lalu dinamai dengan Az-Zuhhad (Ahli Zuhud) atau Al-Ubbad (Ahli Ibadah).

Selanjutnya bid’ah mulai merebak di tengah-tengah masyarakat, dan terjadilah saling klaim antar golongan. Setiap golongan di antara mereka mengklaim bahwa dirinyalah yang paling “zuhhad”. Lalu keluarlah dari kemelut ini orang-orang khusus dari golongan ahli sunnah, yang selalu menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Allah swt dan selalu menjaga dirinya dari jalan yang membuat lalai kepada-Nya, mereka itu lalu dinamai dengan ahli tasawuf. Maka menjadi mashurlah nama itu di antara pembesar-pembesar mereka sebelum akhir abad kedua hijriyah.”[2]

Dr. Musa bin Sulaiman Ad-Duwaisy ketika memberikan komentar atas perkataan Qusyairi di atas mengatakan; Pendapat Al-Qusyairi itu tidak bisa diterima, sebab orang-orang khusus dari golongan Ahlus Sunnah adalah mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah saw dan mempelajari dengan sungguh-sungguh agama Allah swt. Mereka juga merumuskan berbagai hukum ajaran agama, mereka beribadah kepada Allah swt dengan dasar ilmu pengetahuan. Mereka juga menentang para ahli bid’ah, menasehati mereka, dan mereka sendiri berhati-hai dari jalan para ahli bid’ah. Mereka juga tidak menamai dirinya dengan istilah-istilah yang agung dan muluk-muluk, seperti yang dilakukan oleh golongan-golongan lain yang menyimpang dari sunnah Rasulullah saw. Walaupun pada hakekatnya dalam diri mereka ada kebenaran”.[3]

Oleh karena itu , golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu terkenal di setiap zaman dengan kemoderatannya serta kekonsistenannya dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya, tabi’in dan para tabi’ut tabi’in.

Dari sini nampaklah, bahwa Al-Quyairi berlebih-lebihan dalam memberikan nama tasawuf, bahkan tidak cermat. Pendapatnya juga bertentangan dengan pendapat As-Saraj Al-Thusi yang hidup lebih awal dan lebih mengetahui golongan ini.

Kesimpulan ini juga diperkuat oleh Ibnu Taimiyah ketika beliau mendiskusikan asal penamaan kelompok tasawuf, ia berkata, “Kemudian mereka berselisih tentang asal muasal penamaan golongan ini. Sesungguhnya “Ash-Shufi” adalah “Isim Nisbat” sebagaimana nama Al-Quraisy, Al-Madani dan contoh-contoh lainya. Ada yang berpendapat, ia dinisbatkan ‘‘Ahlu Shuffah”, pendapat ini tentu keliru, sebab jika dinisbatkan padanya maka ia harus dibaca “Shuffiy”ada juga yang menisbatkannya pada “shof” yang utama di sisi Allah swt, ini juga salah, sebab seharusnya ia berbunyi “Shofi”. Nama ini juga dinisbatkan pada kata “Shafwah” di antara makhluk Allah, ini juga salah, karena seharusnya ia berbunyi “Shifawiy”. Ada juga yang berpendapat nama ini dinisbatkan pada Shufah bin Bisyr bin Adhan Thabikhah. Ia merupakan kabilah Arab yang tinggal di sekitar Makkahsejak zaman dahulu kala. Mereka identik dengan para ahli ibadah.

Walau pun penisbatan terhadap mereka adalah benar dari segi lafadz, tetapi pendapat ini sangat lemah sebab mereka tidaklah terkenal di antara kaum ahli zuhud, dan jika penisbatan dilakukan terhadap mereka, maka tentunya istilah ini telah muncul sejak zaman sahabat dan tabi’in generasi pertama. Dan orang-orang yang sering menggunakan istilah “sufi” tidaklah mengetahui kabilah ini. Bahkan mereka tidak rela jika dinisbatkan pada sebuah kabilah jahiliyah yang tidak dikenal dalam agama islam. Nama ini juga dikaitkan –dan ini yang paling masyhur- pada pakaian wol kasar.

Abu Syaikh Al-Asbahani meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin, bahwa ada beberapa kaum yang mengutamakan pakaian wol kasar. Ia berkata: “Sesungguhnya ada kaum yang memilih dan mengutamakan baju wol. Mereka mengatakan bahwa mereka menyerupai Al-Masih bin Maryam sedangkan petunjuk nabi kami lebih kami cintai, dan nabi Muhammad saw memakai pakaian dari katun atau yang lainnya.”[4]

Definisi Tasawuf

Para ahli tasawuf memberikan definisi yang berbeda-beda, bahkan para peneliti dihadapkan pada sejumlah besar definisi yang mengandung ketidak jelasan dan terlalu membangga-banggakan diri dengan yang terlarang.

Junaid pernah ditanya tentang tasawuf, ia berkata; “Kamu selalu bersama Allah swt tanpa melalui ikatan apa pun.” Ia juga berkata, “Para sufi adalah satu rumah, tidak ada yang boleh memasukinya selain mereka sendiri” ia juga mengatakan: “Tasawuf adalah berdzikir dalam kelompok, cinta dengan perhatian dan beramal dengan mengikuti (sunnah)”.

As-Sibli berkata, “Sufi adalah orang yang putus hubungan dengan makhluq tapi selalu bersambung hubungannya dengan Khaliq.” Ia juga berkata, “Para sufi adalah sepeti anak-anak di sisi tuhan. Sufi terlindung dari memikirkan alam semesta.”

Definisi ini merujuk pada tasawuf abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah. Sebelum munculnya pemikiran ittihad (manunggaling kawula gusti), hulul, dan wihdatul wujud.

Setelah memperbincangkan definisi dari sufi, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan dikarenakan terjadinya berbagai persepsi ijtihad dan perselisihan di golongan ini, maka orang-orang juga berselisih pendapat tentang jalan yang mereka tempuh.

Sebagian kelompok mengecam para sufi dan tasawuf itu sendiri. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sufi adalah ahli bid’ah yang telah keluar dari sunnah Rasulullah saw. Pendapat ini dinukil dari para ulama. Pendapat ini juga dikuatkan oleh sebagian ahli fiqih dan ahli kalam.

Kelompok lain sangat berlebih-lebihan dalam membela kaum sufi, mereka meyakini bahwa kaum sufi adalah paling utamanya ciptaan Allah swt. Dan mereka adalah yang paling sempurnanya makhluk setelah para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa dua kelompok yang bertentangan ini sama-sama tercela.

Pendapat yang benar adalah, para sufi itu ialah orang-orang yang berijtihad untuk taat kepada Allah swt. Sebagaimana ijtihadnya kelompok lain di luar mereka. Sebagian dari mereka ada yang menedkati kebenaran dengan sebab ijtihadnya, sebagian lagi adalah orang-orang yang moderat dari golongan kanan, dari kelompok ini ada yang berijtihad lalu salah, dan ada juga yang berdosa lalu bertaubat dan ada juga yang tidak bertaubat.

Ada juga orang-orang yang menisbatkan dirinya pada kelompok-kelmpok tasawuf ini, sebagian dari mereka menjadi dzalim bagi dirinya sendiri dan maksiat pada Tuhannya. Ada juga yang menisbatkan dirinya pada kelompok sufi ini, walaupun ia berasal dari golongan bid’ah dan zindiqah ”[5]

Hakekat Tasawuf

Tasawuf menurut pemuka aliran ini sendiri, adalah jalan (tarekat) khusus dalam bersulk yang mengandung berbagai macam kaidah dan tata cara yang dituju leh salik (pejalan di jalan Tuhan) dan menjadi tujuan dalam setiap riyadhahnya (latihan batin).

Adapun tarekat menurut mereka adalah perantara (wasilah) untuk mencapai kesucian jiwa. Sedangkan tujuan tasawuf (ghayah) adalah pencapaian diri untuk ma’rifat pada Allah swt.[6]

Maka hakekat tasawuf berdiri di atas dua dasar yaitu:

  1. Percobaan batin untuk bersatu antara hamba dengan tuhannya.
  2. Kemungkinan terjadinya penyatuan (ittihad) antara sang sufi dengan Allah swt.[7]

Dari dua prinsip ini, kita dapat melihat bahwa akal tidak mempunyai peranan sama sekali. Alat yang membedakan manusia dengan seluruh makhluk yang lain dan yang menjadikan manusia mulia, tidak berfungsi sama sekali di tangan para sufi.

Ditanyakan pada Abi Husein An-Nauri, “Apakah perkara yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya pertama kali”? ia menjawab; Makrifat pada Allah, berdasarkan firman Allah swt “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Mereka berpendapat, bahwa ma’rifat itu ada tiga bentuk; ma’rifat iqrar, ma’rifat hakekat dan ma’rifat musyahadah. Dan pada tahap ma’rifat musyahadah melimpah ruahlah kepahaman, ilmu dan ibarat serta kalam.[8]

Orang arif menurut para sufi adalah orang yang telah sampai pada ma’rifat wihdatul wujud dengan daya rasa musyahadah –maksudnya orang yang mengetahui bahwa Allah itu adalah alam semesta ini sendiri-, Maha suci Allah swt dari perkataan mereka. Meenurut mereka, apa yang kita rasakan, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar maka semuanya itu adalah zat Allah sendiri.

Hakekat tasawuf semakin tampak jelas ketika Al-Ghazali bergabung dengan mereka. Seperti dalam buku yang dia tulis berjudul “Al-Munqidz Min Adh-Dhalal” ketika ia berkata; “Saya meringkas derajat oran-orang pencari tuhan dalam empat golongan;

  1. Ahli ilmu kalam, mereka mengklaim dirinya sebagai pemikir dan ahli teori
  2. Al-Bathiniyyah, mereka mengklaim bahwa dirinya ahli pengajaran yang mereka dapat dari imam yang maksum.
  3. Ahli filsafat, mereka yakin bahwa dirinya ahli mantiq dan ahli argumentatif.
  4. Ahli tasawuf, mereka meyakini bahwa dirinya adalah orng-orang khusus disisi tuhan, mereka juga ahli musyahadah dan ahli ma’rifat.

Muhadharah, Mukasyafah, Makrifat adalah istilah-istilah yang sering dipakai oleh kaum sufi. Mereka sering bergantung pada hal-hal tersebut untuk mencapai kebenaran. Al-Qusyairi berkata dalam risalahnya juz I hal.279,

“Muhadharah adalah permulaan, kemudian mukasyafah, lalu Musyahadah. Muhadharah adalah selalu hadirnya hati, ia jauh berada di balik tirai, walaupun ia dekat dengan penguasaa zikir. Kemudian setelahnya adalah Mukasyafah; yaitu kehadiran sifa Allah melalui bukti nyata, dalam keadaan seperti ini tidak membutuhkan cara-cara tertentu dan dalil. Kemudian musyahadah: yaitu hadirnya yang Maha benar tanpa diragukan lagi. Jika langit kerahasiaan telah bersih dari tirai mendung, maka matahari persaksian akan terbit dari menara kemuliaan.

Mendapatkan derajat Musyahadah sebagaimana dikatakan oleh Al-Junaid, “Tampilnya yang Maha Benar bersamaan dengan hilangnya dirimu.” Orang yang mendapatkan derajat Muhadharah terikat oleh tanda-tanda kehadiran Allah, sedangkan orang yang mendapatkan derajat mukasyafah berarti telah menyatu dengan zat Allah. Orang yang mendapatkan derajat Musyahadah berarti telah menyatu dengan zat Allah. Orang yang mendapatkan derajat muhadharah mendapat petunjuk dari akalnya, orang yang mendapatkan derajat Mukasyafah mendapat petunjuk dari ilmunya, orang yang mendapatkan Musyahadah dilenyapkan oleh ma’rifatnya”.

Selain dalam buku “Al-Munqidz Min Adh-Dhalal”, hakekat tasawuf akan lebih banyak lagi kita temui dalam “Misykatul Anwar” karya Al-Ghazali. Buku ini oleh Ibnu Taimiyyah disebut sebagai salah satu penyebab mazhab ittihad yang mempunyai faham Wihdatul Wujud. Dalam buku itu Al-Ghazali mengkhususkan diri pada penafsiran surat An-nur, namun tafsirannya bernuansa tafsir kebatinan.

Riwayat Hidup Ibnu Arabi

Ada dua figur besar dalam dunia Islam yang menyandang nama “Ibn ‘Arabi”. Keduanya berasal dari Andalusia (Spanyol). Pertama, Abu Bakr Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn al-Arabi al-Ma’arifi (468-543/1076-1148), seorang pakar hadis dari sevilla, pengarang kitab Ahkam al-Qur’an. Ia adalah mantan qadli di kota ini, beliau dikenal dengan sebutan Ibn al-Arabi, tetapi kemudian mengundurkan diri dan mengabdikan hidupnya sepenuhnya dengan menulis dan mengajar.

Kedua, Abu Bakr Muhammad Muhy al-Din ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Hatim al-Ta’i al-Andalusi. Ibn ‘Arabi inilah yang menjadi fokus kajian ini, yang bergelar Muḥy al-Dīn (Penghidup Agama) dan Shaikh al-Akbar (doctor maximus).

Tempat Lahir Ibnu Arabi

Ibn ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Tahun kelahirannya yang bertepatan dengan tahun wafatnya sufi besar Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani.

Ibn ‘Arabi lahir di tengah situasi Andalusia yang tak menentu. Peperangan dan pemberontakan menjadi ancaman yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan. Penyebab tidak stabilnya kondisi ini adalah ancaman penaklukan Andalusia oleh sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri mereka sebagai Reconquista (para penakluk).

Upaya Reconquista yang dimulai dengan penaklukan Toledo pada 1085. oleh Alphoso VI dan berlanjut dengan penaklukan Saragosa pada 1118, dengan segera mendapat tanggapan keras Dinasti al-Murabitun yang berkuasa pada waktu itu. Perang dan perebutan kekuasaan sejak al-Murabitun berkuasa hingga kemudian digantikan oleh Dinasti Muwahhidun, sejak saat itu selalu mendominasi suasana sosial dan politik Andalusia.

Di tengah suasana itulah Ibn ‘Arabi> tumbuh dan berkembang dewasa.Ayahnya adalah seorang
pejabat tinggi istana al-Muwahhidun yang terkenal saleh dan terpercaya. Ia menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana berturut-turut pada dua masa kepemimpinan Abu Ya’qub Yusuf dan raja al-Mu’min III, Abu Yusuf al-Mansur. Sedangkan dari pihak ibu, Ibn ‘Arabi memiliki seorang paman yang juga penguasa di Tlemcen bernama Yahya ibn Yughan al-Sanhaji.

Meskipun Ibn ‘Arabi> berpeluang menjadi pejabat pada zamannya, ia tidak memilih jalan itu. Sebaliknya, ia lebih tertarik memilih jalan lain yang sedikit berbeda dari kecenderungan umum keluarganya. Ia memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Itu terjadi pada usia dua puluh ketika Ibn ‘Arabi akhirnya bertaubat dan memilih meninggalkan semua atribut sosialnya untuk
menjadi sufi.

Perjalanan Intelektual-Spiritual

Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah.

Dia belajar alQur’an kepada salah seorang tetangganya, Abū ‘Abd Allāh Muḥammad al-Khayyat,
yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun. Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibn ‘Arabī memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari al-Qur’an, tafsir, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana.

Selama menetap di Sevilla, Ibn ’Arabī muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 H) di Kordova. Ibn ’Arabī dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof besar Ibn Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova.

Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184 M), Ibn ’Arabī mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidīn bersamasama shalat di Masjid Agung Kordova. Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan Tuhan dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut:

“Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwahhidun) Abu Bakr Yusuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah. Kemudian pikiran melintas menerpaku, sehingga aku berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah, maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini”.

Sejak saat itu Ibn ’Arabī mengabdikan diri pada kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa al-Masih as, Musa as dan Muhammad saw. Ia memutuskan untuk mengambil jalan zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya, di mana ini menjadi titik perubahan penting dalam perjalanan hidup Ibn ‘Arabī, ia telah memilih jalan kecukupan dan tak akan pernah berpaling lagi darinya.

Pada 590 H/1193 M, ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama ia menuju kota Murur untuk menemui Shaikh Abū Muḥammad al-Mawrūrī. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan Granada. Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Shaikh Abū Madyān, seorang pendiri
aliran tasawuf yang barangkali adalah shaikh paling terkemuka pada zamannya.

Melalui Abū Madyānlah kecenderungan sufi yang khas di Maghrib benar-benar kentara. Berasal dari daerah Sevilla, Abū Madyān tinggal sementara di Fez. Di sana dia bertemu dengan Abū Abd Allāh al-Daqqāq—seorang sufi aneh yang luar biasa, demikian menurut para penulis hagiografi—yang tampaknya mewariskan khirqah untuknya.

Dari Bugia, Ibn ’Arabī meneruskan kelananya ke Tunisia. Di sana ia mengkaji karya seorang sufi politisi, Abū al-Qāsim Ibn Qus}ai, Khal’ al-Na’layn (melepas kedua sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap Dinasti al-Murabitun di Andalusia Barat.

Selain mengkaji karya tersebut, pada tahun yang sama Ibn ’Arabī mengunjungi beberapa murid Abū Madyān, seperti ‘Abd al-Azīz alMahdāwī dan Abū Muḥammad ‘Abdallāh al-Kinānī. Kepada al-Mahdāwī ia mempelajari karya Ibn Barrajān, yakni al-Hikmah.

Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya ke dalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di akhir 1194, setelah kembali ke Andalusia, ia menulis salah satu karya besarnya, Maqasid al-Asrar, untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Pada sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbuat al-Ila>hiyyah untuk al-Mawruri.

Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan al-Muwahhidin dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabī melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi, dan setelah bertemu dengan Nabi Hud as, dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muhammad saw.

Kontroversi Pemikiran Ibnu Arabi As-Shufi

Sudah banyak yang tahu kalau Allah swt mengutus Musa as untuk membebaskan Bani Israil dari kegelapan kepada keterang benderangan, juga untuk membebaskan mereka dari siksa dan derita disebaban Fir’aun beserta kaumnya, maka Allah swt persiapkan untuk mereka jenjang-jenjang kebebasan yang nantinya akan menghancurkan musuh-musuh mereka seperti: badai topan, hama belalang, kutu, darah, katak dan lain sebagainya. Selanjutya diakhiri dengan ditenggelamkannya Fir’aun beserta kaumnya oleh Allah swt dan diadzab dengan adzab yang pedih disebabkan kelakuan mereka, sedangkan Musa dan Bani Israil diselamatkan sebagai ganjaran atas kesabaran mereka.

Maka sungguh mengherankan kalau ada orang yang mengatakan bahwa Fir’aun beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya serta selamat dari api neraka. Padahal ia sudah diadzab dan nantinya akan dilanjutkan di hari kiamat.

Pemikiran di atas lahir dari Ibnu Arabi yang banyak sekali mengetengahkan berbagai penyelewwengan-penyelewengan dalam sendi-sendi Islam. Banyak risalah, kitab dan fatwa yang berisi bantahan terhadap pemikiran di atas, di antaranya; [1] Risalah Ibnu Taimiyyah Fir Raddi Ala Ibni Arabi fi Da’wa Imani Fir’aun [2] Fatawa As-Su’udi Fir Raddi Ala Ibni Arabi [3] Natijatut Taufiq Wal ‘Aun Fir Raddi Ala Qailin Bisshifati Imani Firaun karya Badran bin Ahmad Al-Khalili [4] Syarhu Sayyid Arif Ala Risalati Ibnil Kamal Fi Tanzihi Ibnu Arabi [5] Fatawa Sa’id Affandi Fil Fushusil Hikam.

Di antara pendapatnya yang lain adalah bahwa Iblis adalah makhluk Allah swt yang paling bertauhid, karena ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam as. Ia juga berpendapat bahwa semua agama adalah sama, berhala-berhala yang disembah oleh kaum musyrkin adalah perwujudan bahkan hakikat Allah swt, ia juga berpendapat bahwa neraka bersifat fana sehingga para penghuni neraka seluruhnya akan masuk surga, dan seterusnya yang bisa anda temukan dalam karya-karya Ibnu Arabi seperti “Fushulul Hikam” dan “Futuhat Al-Makkiyyah”.

Ibnu Arabi mengatakan bahwa semua agama itu satu dan benar, seperti yang tertulis dalam buku Fushulul Hikam juz I hal.113. Dan orang yang beriman kepada thaghut menurut Ibnu Arabi tidaklah kafir, tapi menjadi paling utamanya orang yang beragama tauhid. Ia berkata, “Berhati-hatilah kalian dari aqidah yang benar dan dari mengkafirkan orang lain karena itu akan menyebabkan hilangnya banyak kebaikan bahkan bisa menghilangkan ilmu terhadap hakikat Tuhan. Oleh sebab itu, kalian haruslah lapang dada menerima semua bentuk keyakinan terhadap Tuhan. Sesungguhnya Allah itu lebih besar, lebih Agung dan lebih Luas daripada hanya dibatasi oleh satu bentuk aqidah dan menyalahkan aqidah yang lain.” Tuhan berfirman, “Kemana saja kau arahkan wajahmu maka kamu akan menemukan Allah disitu.”.

Jadi Ibnu Arabi dengan berlandaskan kepada aqidah ini, meyakini bahwa orang-orang musyrik itu tidaklah menyembah selain Allah dan mereka sama dengan orang yang menurut Ibnu Arabi adalah orang yang membenarkan da mengakui semua aqidah. Ia berkata dalam “Turjuman Al-Asywaq” hal.39, “Beberapa hari yang telah lalu selalu aku ingkari aqidah sahabatku. Namun sekarang hatiku telah rela dengan segala bentuk aqidah. Ladang bagi para menjangan dan biara bagi para rahib. Rumah-rumah berhala dan Ka’bah yang di thawafi. Lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al-Quran.”

Berikut ini ringkasan pandangan Ibnu Arabi yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, diringkas oleh Yayasan Islam Al-Qalam, satu induk dengan LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam) yang banyak menyoroti aliran-aliran sesat.

Pandangan Ibnu Arabi berkisar pada:

  1. Berusaha menghancurkan atau membatalkan agama dari dasarnya.
  2. Semua orang berada pada As-Shirath Al-Mustaqim (jalan lurus).
  3. Wa’ied (janji) dari Allah tidak ada sama sekali.
  4. Khatim al-Awliya’ (penutup para wali) lebih tinggi daripada Khatim Al-Anbiya’ (penutup para nabi), karena wilayah (kewalian) lebih tinggi daripada Nubuwwah (kenabian).

Di antara pendapat dari Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya adalah:

  1. Wali lebih tinggi dari nabi (Masra’ At-Tasawwuf, 22).
  2.  Untuk sampai kepada Allah, tidak perlu mengikuti ajaran para nabi (syara’), (Masra’ At-Tasawwuf, 20).
  3. Semua ini adalah Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah manusia besar. ( Fushush Al-Hukm, 48, Masra’ At-Tasawwuf, 38).
  4. Tidak sah khilafah kecuali kepada insan kamil.
  5. Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush Al-Hukm, 58-59).
  6. Nabi Nuh as. termasuk orang kafir (Masra’ at-Tasawwuf, 46-47).
  7. Da’wah kepada Allah adalah tipu daya. (Fushush Al-Hukm, 772/Masra’ At-tasawwuf, 66).
  8. Al-haq adalah al-khalq/ makhluq (Masra’ At-Tasawwuf, 62).
  9. Hukum alam adalah Allah itu sendiri. (Masra’ At-Tasawwuf, 70).
  10. Hamba adalah Tuhan. (Fushush Al-Hukm, 92-93; Masra’ at-Tasaw¬wuf, 75).
  11. Neraka adalah surga itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 93-94).
  12. Al-Quran mempunyai dua arti, lahir dan batin.
  13. Dalam anggapan Ibnu Arabi, dia berkumpul dengan para nabi.
  14. Perbuatan hamba adalah perbuatan Allah itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 143).
  15. Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu’min. (Masra’ at-Tasawwuf, 108).
  16. Hawa nafsu adalah tuhan terbesar.
  17. Fir’aun adalah mukmin dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush Al-Hukm, 181; Masra’ At-Tasawwuf, 111).
  18. Wanita adalah tuhan. (Fushush Al-Hukm, 216; Masra’ at-tasawwuf, 143).
  19. Hakekat ketuhanan tampak jelas dan utuh pada nabi-nabi as.
  20. 20.  Fir’aun adalah tuhan Musa. (Fushush Al-Hukm, 209; Masra’ at-Tasawwuf, 122).

Antara Ibnu Arabi dan Al-Ghazali

Dalam kacamata Tasawuf Islam, Al-Ghazali dan Ibnu Arabi dikenal sebagai ahli tasawuf yang tiada duanya. Dari keduanya muncul ajaran-ajaran sufi yang banyak menjadi acuan ahli tasawuf generasi setelahnya, kitab mereka seperti Misykatul Anwar, Munqidz Min Adh-Dhilal, Ihya’ Ulumuddin, Fushulul Hikam, Futuhat Makkiyyah, termasuk dijadikan terminal referensi ajaran sufi terutama para sufi penganut Wihdatul Wujud, buku-buku mereka juga menjadi rujukan utama dalam mata kuliah Theologi dan Filsafat di universitas-universitas islam di Amerika dan Eropa dan banyak diterjemahkan di Indonesia.

Al-Ghazali pernah mengalami fase benturan dalam hidupnya. Setelah iu ia meninggalkan sekolah Nidhamiyah. Masuk filsafat dan meninggalkannya. Asyik dengan aliran kebatinan lalu mengkritiknya. Kemudian akhirnya tenggelam dalam tasawuf, akan tetapi dalam penulisan buku-bukunya ia banyak terpengaruh oleh filsafat.

Di akhir kehidupannya ia ingin kembali kepada jalan Ahlus Sunnah, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kitab Shahih Bukhari di dadanya ketika i meninggal. Namun sayangnya ia belum bertaubat seperti taubatnya Abu Hasan Al-Asy’ari. Saat naik mimbar, Abu Hasan melepas mazhab Muktazilah seperti orang yang melepas pakaiannya dan menulis ‘buku putih’ yang berjudul “al-ibanah”. Adalah wajib bagi Al-Ghazali untuk berbuat seperti yang dilakukan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari tersebut, dan mengumumkan pada masyarakat tentang penentangannya terhadap tasawuf.

Banyak orang yang salah dengan menganggap pengaruh Ibnu Arabi di tubuh sufi lebih besar dari Al-Ghazali, karena dengan kedatangan Al-Ghazali tasawuf yang pada mulanya diklaim sebagai bid’ah dan keluar dari ajaran agama Islam, bersih dari racun dan diakui sebagai khazanah yang bernilai di kalangan Ahli Sunnah.

Pemahaman ini pernah diungkapkan oleh para orientalis seperti Nicholson ketika ia berkomentar, “Sesungguhnya Al-Ghazali mempunyai pengaruh yang lebih luas dari para sufi penganut Wihdatul Wujud lainnya, seperti Ibnu Arabi, dan para sufi lainnya yang mempunyai ikatan persaudaraan dalam pengamalan dan pengembangan kemerdekaan dari doktrin agama dalam segala aspeknya”. Goldziher juga pernah berkata, “Dari Ibnu Arabi yang kita sangka dipengaruhi oleh Al-Ghazali ternyata penafsirannya dalam bidang tasawuf tunduk secara mutlak pada pola teoritik yang telah dikembangkan oleh Al-Ghazali”.

Lebih dari itu, Al-Ghazali sangat berjasa kepada tasawuf dengan menyelamatkan posisi tasawuf dari keterasingan dan pemisahan dengan agama Islam. Bahkan dengan cerdas Al-Ghazali mampu memasukkan beberapa komponen ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam, serta memperkuat posisi tasawuf dengan pendapat-pendapat dan argumen-argumen keagamaan.

Berkenaan dengan hal itu, Syaikh Abdurrahman Wakil dalam bukunya ‘Mu’jam Al-Falsafy’ hal.133 mengatakan, “jadi jelaslah bahwa Al-Ghazali bukanlah mengabdi untuk agama Islam tetapi untuk tasawuf, dan ketika kaum muslim telah waspada dari racun tasawuf dan berusaha berpisah total dari ajaran-ajarannya, datanglah Al-Ghazali mempengaruhi kaum muslim dengan kepiawainnya dalam memberi penjelasan sehingga mereka kembali mengikuti ajaran tasawuf.” Syaikh Al-Wakil menambahkan, “itulah bahaya Al-Ghazali, ia membuat tasawuf di mata orang Islam seperti minuman lezat tidak beracun, mereka meminumnya, dan tasawuf pun membunuh mereka.”

Kemudian orang-orang yang datang setelah Al-Ghazali lebih fasih dalam berbicara tentang Wihdatul Wujud atau penyatuan antara pencipta dan makhluk, seakan-akan hal itu merupakan hal yang pasti dan jelas, dan yang termasuk tokoh utama mereka adalah Ibnu Arabi Ash-Shufi Al-Andalusi.

Di  Indonesia, pengaruh ajaran Wihdatul Wujud dari Ibnu Arabi juga ada seperti yang muncul pada tokoh kontroversial Syaikh Siti jenar (SSJ) yang dikenal juga dengan sebutan Syaikh Lemah Abang (SLA). Ia telah divonis kafir oleh ulama nusantara seperti wali songo atau wali yang sembilan di tanah Jawa.

Bukti pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj pada diri Syaikh Siti Jenar bisa kita temukan dari prediksi keberadaan Syaikh Siti Jenar sekitar abad 15 atau 16 M, sementara Ibnu Arabi sekitar abad 11-12 M, dan Al Hallaj abad 9M, maka ada kemungkinan SSJ terpengaruh oleh ajaran Ibnu Arabi ataupun Al Hallaj. Hanya saja ajaran SSJ dipraktekkan oleh pengikutnya secara rahasia dan sembunyi-sembunyi.

Demikian pembahasan yang bisa kami sajikan, semoga lewat studi ringkas ini hakekat tasawuf menjadi jelas dan terang kesesatannya, ahli tasawuf sangatlah berbeda dengan orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran, yaitu mereka yang konsisten mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw, karena ajaran Nabi adalah ajaran yang mudah dan tidak menyulitkan.

Jalannya adalah jalan yang lurus yang tidak ada kepincangan dan penyimpangan di dalamnya. Kita memohon kepada Allah swt agar memperlihatkan kebenaran kepada kita dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya, dan semoga Allah swt menampakkan kebatilan dan memberi kita kekuatan untuk menjauhinya. Dan semoga kita tetap berpijak dan teguh pada ajaran yang lurus, amin…ya rabbal a’alamin.

Referensi:


  1. Kitab Ibnu Arabi Ash-Shufi fi Mizanil Bahtsi wat Tahqiq, Abdul Qadir bin Habibullah As-Sandi, Dar Al-Bukhari, Madinah
  2. Rasail wal Fatawa fi Dzammi Ibni Arabi Ash-Shufi, Dr. Musa bin Sulaiman Ad-Duwaisy, dalam bahasa Indonesia berjudul Kontroversi Pemikiran Ibnu Arabi, Pustaka As-Sunnah, Surabaya, 2003
  3. Hiwar Ma’as Shufi, Ali bin As-Sayyid Al-Washfi, dalam bahasa Indonesia berjudul Salafi vs Sufi, Akbar Media Eka Sarana, 2008
  4. Al-Aqduts Tsamin Fi Tarikh Al-Buldan Al-Amin karya Taqiyudin Al-Faasi
  5. Al-Luma’, Abi Nashr As-Sarraj Al-Thusi, hal.63-64
  6. Ar-Risalah Al-Qushairiyyah, hal. 161-162
  7. Rasail wa Fatawa fi Dzammi Ibni Arabi as-Shufi
  8. Majmu’ Fatawa; XI hal 5-7
  9. Majmu’ Fatawa XI hal 16-18
  10. Nasatu Al-Falsafat As-Sufiyyah wa Tathowwuruha, Dr. Abdul Hamid, hal.125
  11. Tarikhu At-Tasawuf Al-Islam, Dr. Abdurrahman Badawi hal.18
Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

22 Comments

  1. Al hallaj, ibnu arabi, al busthami, abdul qadir jaelani,jalaludin rumi,dll..atas izin Allah,mereka smua adalah Al-Haq…

  2. Dari Ini Semua Jelas Ahmadbinhambal adalah individu yg tidak pake Tashowwuf dalam kesehariannya. kita hormati saja itu. saran saya silakan menggali lebih dalam agar anda yakin bahwa pendapat anda itu benar. dan jangan lupa anda juga harus belajar Tashowwuf lebih dalam biar lebih fasih dalam menntang ajaran Tashowwuf. Mudh2an kita semua diberi Hidayah oleh Allah SWT Aminn…..

  3. Maaf Gan ane tidak mau menghujat anda sebagaimana anda menghujat Imam sekaliber Ibnu Arabi dan Imam Ghazali. Tapi Be Careful aja deh daripada menulis yang nggak jelas lebih baek Nulis yang manfaat aja deh

  4. Menghujat? siapa menghujat siapa, saya tidak pernah berniat untuk menghujat Ibnu Arabi apalagi Hujjatul islam Abu Hamid Al-Ghazali.

    Saya hanya menyampaikan kekeliruan paham dan pemikiran Ibnu Arabi dan bagaimana pandangan serta upaya pembelaan ulama untuk membersihkan aqidah pemikiran ngawur Ibnu Arabi.

    Dan saya dengan izin Allah swt akan terus menulis artikel di blog ini sebagai kontribusi saya untuk mencerahkan umat, melestarikan kedamaian serta membudidayakan sikap adil di segala keadaan.

  5. wahabi..wahabi.. suka mentakfiri dan membidahkan orang. Bertaobatlah kalian.. Jangan hina ulama dan para wali.. Lebih mulia mereka daripada kalian yang menghina mereka. Berkedok membela Islam tapi mengkafirkan umat islam lainnya. Kalau tak mengerti tasawuf jangan cepat menmvonisnya. Baca kitab Ilhya Ulumuddin, Kitab Al-Hikam dan kitab lainnya supaya anda paham bagaimana tasawuf itu.

  6. KESESATAN IBNU TAIMIYAH
    Pernyataan Kontroversial Ibnu Taimiyah Bahwa Neraka Akan Punah
    neraka1Termasuk kontroversi besar yang menggegerkan dari Ibn Taimiyah adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah Ila Bila al-Afrah, h. 579 dan h. 582).Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
    ”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah” (Ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67).
    Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama Salaf dan terhadap al-Imam ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Dalam kurang lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir kekal di dalamnya tanpa penghabisan. Di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.
    Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
    يقال لأهل الجنة: يا أهل الجنة خلود لا موت، ولأهل النار: خلود لا موت (رواه البخاري)
    ”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari)
    Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi lainnya- yang memicu ”peperangannya” dengan al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imam as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibar Bi Baqa al-Jannah Wa an-Nar”sebagai bantahan keras kepada Ibn Taimiyah, yang bahkan beliau tidak hanya menyesatkannya tapi juga mengkafirkannya. Di antara yang dituliskan al-Imam as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:
    ”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah. Kesepakatan (Ijma’) kayakinan ini telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam. Dan sangat banyak dalil menunjukan di atas hal itu” (Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya al-Hafizh ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki, h. 60).
    Pada bagian lain dalam risalah tersebut, al-Imam as-Subki menuliskan:
    ”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah. Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam yang telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam, agama-agama lainpun di luar Islam meyakini demikian. Maka barang siapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir” (Ibid, h. 67).
    Dalil Tambahan:

    [Al -ahzab (33):64] Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka),

    [Al -ahzab (33):65]mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong.
    Dalam surat attaubat ayat 68:

    [9:68] Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.
    Dalam Surat Annisa 169:

    [4:169] kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
    Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
    يُقَالُ لِأهْلِ الْجَنّةِ: يَا أهْلَ الْجَنّةِ خُلُوْدٌ لاَ مَوْت، وَلأهْلِ النّار: خُلُوْدٌ لاَ مَوْت (رواه البخاري)
    ”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari)
    2. fatwa fatwa sesat Ibnu qayyim al Jawziyyah (Murid Ibnu Taymiyah)
    Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendaklah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”….
    Ibn Qayyim al Jawziyyah; adalah murid Ibn Taimiyah, banyak mengambil kesalahpahaman-kesalahpahaman dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam berbagai masalah ushuliyyah.
    Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
    “Ia tertarik dengan disiplin Hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan” (al-Mu’jam al-Mukhtash).
    Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:
    “Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya” (ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah ).
    Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
    “Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya” (Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235).
    Ibn Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim(Qâdlî al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.
    Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarradsebagai bantahan atas kesalahpahaman Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
    “Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan yang haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesalahpahamannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak” (Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123).
    Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang lalu dengan dusta mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah tulisan Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:
    “Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40).
    Tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.
    Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24).
    Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.
    Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:
    ”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan persis seperti keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil” (Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260).

  7. KESESATAN IBNU TAIMIYAH

    Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah Yang Melanggar Ijma’

    Ibnu Taimiyah memfatwakan bahwa thalak 3 sekali jatuh hanya jatuh satu dan thalak dengan sumpah tidak jatuh.
    Fatwa semacam ini sama dengan fatwa kaum Syiah Imamiyah di Iran, bahwa thalak tiga sekaligus hanya jatuh satu.
    Fatwa semacam ini ditolak oleh ke-empat mazdhab, yaitu oleh mazdhab-mazdhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Keempat mazdhab itu mengatakan bahwa talak 3 sekaligus jatuh tiga.
    Menurut kitab Fashlul Aqwaal, page 32, Ibnu Taimiyah telah melanggar dan merongrong 16 (enam belas) Ijma’, yaitu kesepakatan Imam-Imam Mujtahid dalam suatu masa.
    Fatwa-fatwa yang melanggar ijma’ itu adalah :
    Bersumpah dengan thalak tidak membikin jatuh thalak, tetapi hanya suami diwajibkan membayar kafarat sumpah
    Thalak ketika istri membawa haidh tidak jatuh.
    Thalak diwaktu suci yang disetubuhi tidak jatuh
    Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha
    Thalak tiga sekaligus hanya jatuh.
    Orang yang junub (habis bersetubuh dengan istrinya) boleh melakukan sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dulu.
    Syarat si waqif tidak diperdulikan
    Orang yang mengingkari ijma’ bukan kafir dan bukan fasiq.
    Tuhan itu tempat yang hadits (yang baru), dengan arti Tuhan menjadi tempat bagi sifatnya yang baru.
    Zat Tuhan tersusun, yang satu berkehendak dari yang lain
    Qur’an itu baru bukan Qadim
    Alam Itu Qadim
    Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat
    Neraka akan lenyap, bukan kekal.
    Tuhan sama besar dengan Arsy.
    Nabi-Nabi tidak Ma’sum
    Nah, Ibnu Taimiyah telah melakukan penyelewengan dari 3 jurusan yaitu dari pihak I’tiqad, pihak akhlak, dan dari pihak hukum fiqih.

  8. Para Ulama Ahlussunnah Memerangi Ibn Taimiyah [Mengenal “Tiang Utama” Ajaran Sesat Wahabi]

    Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya. Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-masing :
    1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).
    2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
    3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
    4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi.
    5. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
    6. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
    • Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh
    7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).
    8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H).
    • I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.
    9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh”.
    10. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
    11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
    12. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).
    • al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr.
    • ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
    • Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm
    • an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.
    • Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq.
    • at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq.
    • Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.
    13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
    14. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
    • Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
    15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).
    16. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
    • Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.
    17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
    18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
    19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.
    20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H).
    • Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî
    21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).
    • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq
    • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
    22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H).
    • Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah
    23. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).
    24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.
    25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.
    • Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
    • an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
    26. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H).
    • Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
    27. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
    28. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).
    29. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).
    • Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ
    30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H).
    • ‘Uyûn at-Tawârikh.
    31. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).
    • at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah
    32. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H).
    • al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya Syekh Salamah al-Azami.
    33. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H).
    • Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
    34. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).
    • al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
    35. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H).
    • Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
    36. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H).
    • ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah.
    • Lisân al-Mizân.
    • Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
    • al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
    37. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H).
    • al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
    38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).
    • Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
    39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).
    • Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
    40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).
    41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-Lâmi’.
    42. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H).
    • ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât.
    43. Syekh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H).
    • Syarh Hizb al-Bahr.
    44. Imam al-Hâfizh as-Sakhawi (902 H)
    • al-I’lân Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Târîkh.
    45. Syekh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H)
    • al-Qaul an-Nâshir Fî Radd Khabbath ‘Ali Ibn Nâshir.
    46. Al-‘Allâmah Syekh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn Qira (w 968 H).
    47. Imam al-Qâdlî al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H)
    • Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam.
    48. Syekh al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H)
    • Raudlah an-Nâzhirîn Wa Khulâshah Manâqib ash-Shâlihîn.
    49. Al-Faqîh al-’Allâmah Syekh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H).
    • al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
    • al-jawhar al-Munazh-zham Fî Ziyârah al-Qabr al-Mu’azham.
    • Hâsyihah al-Idlâh Fî Manâsik al-Hajj Wa al-‘Umrah.
    50. Syekh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H).
    • Syarh al-‘Aqâ-id al-Adludiyyah.
    51. Syekh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H). Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
    52. Syekhal-Qâdlî Abu Abdillah al-Maqarri.
    • Nazhm al-La-âlî Fî Sulûk al-Âmâlî.
    53. Syekh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H)
    • Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
    54. Imam Syekh Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H).
    • Syarh asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.
    55. Syekh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H).
    • aL-Mubrid al-Mubki Fî Radd ash-Shârim al-Manki.
    56. Syekh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H).
    • Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
    57. Al-Mu-arrikh Syekh Ahmad Abu al-Abbas al-Maqarri (w 1041 H).
    • Azhar ar-Riyâdl.
    58. Syekh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H)
    • Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah.
    59. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah dalam berbagai karyanya.
    60. Al-Faqîh ash-Shûfi Syekh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-Rawwas (w 1287 H).
    61. Syekh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki.
    • an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh Syekh ath-Thayyib.
    62. Syekh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H).
    • Qilâdah al-Jawâhir.
    63. Syekh Musthafa ibn Syekh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H.
    • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
    64. Syekh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).
    • an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.
    65. Syekh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H).
    • ad-Dîn al-Khâlish Aw Irsyâd al-Khlaq Ilâ Dîn al-Haq.
    66. Mufti kota Madinah Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).
    • Luzûm ath-Thalâq ats-Tsalâts Daf’ah Bimâ La Yastahî’ al-Âlim Daf’ah.
    67. Syekh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
    • an-Naf-hah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
    • al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah.
    68. Syekh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
    • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
    69. Syekh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)
    • al-Barâhîn as-Sâth’iah Fî Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ-i’ah.
    • Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.
    70. Mufti negara Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).
    • Tath-hîr al-Fu’âd Min Danas al-‘I’tiqâd.
    71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki Syekh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H).
    • Kitâb al-Maqâlât al-Kautsari.
    • at-Ta’aqqub al-Hatsîts Limâ Yanfîhi Ibn Taimiyah Min al-Hadîts.
    • al-Buhûts al-Wafiyyah Fî Mufradât Ibn Taimiyah.
    • al-Isyfâq ‘Alâ Ahkâm ath-Thalâq.
    72. Syekh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa sekarang.
    • Nushrah Imam as-Subki Bi Radd ash-Shârim al-Manki.
    73. Ulama terkemuka di kota Mekah Syekh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w 1390 H).
    • Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn.
    74. Syekh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani.
    • Ma’ârif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
    75. Syekh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang.
    • Ibn Taimiyah Laysa Salafiyyan.
    76. Al-Hâfizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).
    • Hidâyah ash-Shughrâ’.
    • al-Qaul al-Jaliyy.
    77. Syekh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama terkemuka di Indonesia (w 1389 H)
    • al-Khulâshah al-Kâfiyah Fî al-Asânid al-‘Âliyah.
    78. Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H).
    • Itqân ash-Shun’ah Fî Tahqîq Ma’nâ al-Bid’ah.
    • ash-Shubh as-Sâfir Fî Tahqîq Shalât al-Musâfir.
    • ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.
    • Dan berbagai tulisan beliau lainnya.
    79. Syekh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India.
    • al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr.
    80. Syekh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyayikh Azhar dan ulama besar lainnya, yaitu oleh Syekh Muhammad Sa’id al-Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al-Bujairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah Itani, Syekh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-Arabi, dan Syekh Muhammad Hafni Bilal.
    81. Syekh Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri.
    82. As-Sayyid Syekh al-Faqîh Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami.
    83. Syekh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H).
    • Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-Anâm -‘Alaih ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-Malâm.
    84. Syekh Isma’il al-Azhari.
    • Mir’âh an-Najdiyyah.
    85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
    • Sirâj ath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannah Rabb al-‘Âlamîn.
    86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah.
    • ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
    87. KH. Sirajuddin Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
    • I’tiqad Ahl as-sunnah Wa al-Jama’ah.
    • Empat Puluh Masalah Agama
    88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
    • Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
    89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.
    • Aqâ-id Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah. Ditulis tahun 1311 H
    90. KH. Bafadlal ibn Syekh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
    • Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
    • Syarh Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
    • Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd
    91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.
    • Hizb Nahdlah al-Wathan
    92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000).
    • Taudlîh al-Adillah.
    93. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.
    • Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’âh

  9. masyaAllah fitnah ini begitu mendalamnya, yaAllah lindungi saya dari dari jalan yang menyimpang.

  10. Amien ya rabbal alamin semoga diri kita, anak kita, keluarga kita dan masyarakat kita juga mendapat lindungan Allah dari fitnah. Terutama fitnah syubhat dan fitnah syahwat yang banyak menjerumuskan manusia ke jalan menyimpang.

  11. Materi di atas saya ambil dari buku berbahasa Arab berjudul Ibnu Arabi As-Shufi fi Mizanil Bahtsi wat Tahqiq oleh Abdul Qadir bin Habibullah As-Sandi. Silahkan cek kitabnya di maktabah syamilah atau pustaka pdf di internet. Insya Allah sumbernya bisa dipercaya berdasar pada penelitian yang mendalam.

  12. Maaf, kami tidak bermaksud menghina, jika memang ada kesalahan dalam tulisan kami, silahkan disampaikan disini dengan bijak, insya allah kami selalu terbuka dengan saran dan kritik yang membangun.

  13. Sholatlah kalian … mohon petunjuk kepada Allah sebelum kalian mengungkapkan suatu pendapat pribadi… maupun mengikuti pendapat orang lain baik pendapat atau tulisan dari tokoh tokoh, ulama ulama yang menulis tentang perihal seseorang atau ulama lain… dan memuat pendapat pendapat dan penilaian tentang ulama lain ataupun orang lain….. semog Allah memberi petunjuk tentang seusuatu itu benar atau salah… atau keliru……

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *