Imam Ghazali: Sang Pencari Jati Diri

AHMADBINHANBAL.COM – Alkisah, seorang lelaki bernama Muhammad yang berasal dari negeri Tus nun jauh di tanah Persia berazam agar Tuhan mengaruniainya anak-anak yang baik dan bermanfaat untuk umat. Tak heran bila Tuhan mendengar doanya, karena Muhammad sendiri adalah seorang sufi zuhud, yang tak rela memberi makan keluarganya kecuali dari hasil keringatnya sendiri walaupun ia hanyalah seorang pemintal wol. [1]

Adalah Abu Hamid Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, putra dari Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali [2] –sang pemintal wol- yang kelak akan menjadi ahli teologi Islam dan pakar fikih terkemuka serta ulama makrifat. Abu Hamid Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H yang bertepatan dengan tahun 1058 M di kota Tus yang terletak di Negara Iran pada saat ini.

Mengenl Imam Al-Ghazali

Seiring waktu berjalan, Muhammad sang pemintal wol harus meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke ribaan Tuhan, namun ia sudah terlebih dahulu menitipkan dua putranya kepada temannya yang tak kalah sufi dan wara’ darinya. Sepeninggal Muhammad, temannya itulah yang meneruskan perjuangan mendidik Abu Hamid Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad.

Pada mulanya Al-Ghazali menimba ilmu-ilmu syariat pada ulama-ulama di negeri Tus tempat kelahirannya, kemudian ia merantau ke Negeri Naisabur dan bertemu dengan seorang alim terkemuka pada zamannya Abul Ma’ali Al-Juwaini yang masyhur dengan sebutan Imam Al-Haramain. 

Al-Ghazali terkenal sebagai murid yang cerdas, ia menguasai berbagai macam disiplin ilmu seperti filsafat, logika, dan retorika. Pertemuannya dengan Imam Al-Juwaini menambah wawasannya tentang ilmu teologi Islam serta fikih. Banyak cendekiawan muslim yang mengumpamakan pertemuan Al-Ghazali dengan Imam Al-Haramain sebagai pertemuan seorang guru yang arif, dengan murid yang jenius pada zamannya. [3] Tahun demi tahun Al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain sehingga bertambahlah khazanah keilmuan Al-Ghazali khususnya dalam bidang ilmu kalam.  

Kepiawaiannya dalam ilmu retorika, kalam, filsafat, dan teologi Islam menjadikannya seorang pakar yang banyak disegani ulama-ulama pada zamannya. Hal inilah yang menarik perhatian Menteri Nidzamul Mulk untuk mengangkatnya menjadi rektor Universitas Nidzamiyyah di Baghdad, universitas kenamaan dan termasyhur pada saat itu. [4] 

Mungkin hal ini nampak biasa saja bagi setiap orang, seorang pakar bertemu dengan menteri, kemudian diangkat menjadi rektor sebuah universitas. Tetapi, bagaimana jika jabatan tersebut diemban oleh Al-Ghazali yang kala itu bergelar profesor dan baru berumur 30 tahun? Niscaya hal tersebut sangat mustahil diraih oleh civitas akademika yang hidup pada abad 21 M.

Al-Ghazali sangat disegani oleh murid-muridnya. Tidak ada satupun murid yang bertemu dengannya kecuali dibuat kagum dan takjub atas kepiawaiannya. Namun, kemahiran yang ia miliki dalam berbagai disiplin ilmu itu membuat hatinya bangga, angkuh, serta memandang rendah orang-orang yang berada di bawah levelnya.

Baca juga:   Neil deGrasse Tyson dan Imam Al-Ghazali

Pada suatu hari Al-Ghazali menyadari bahwa ilmu-ilmu yang ia raih selama ini hampa tak berbekas dalam hatinya sama sekali. Ia sangat menyesali sifat sombong yang melekat pada dirinya. Batinnya berkecamuk, ia merasa tak melakukan segala petuah dan wejangan yang tempo hari ia ajarkan kepada murid-muridnya di Nidzamiyyah. 

Suatu ketika Al-Ghazali hendak pergi mengajar ke Nidzamiyyah, namun setelah memasuki ruangan dan mengucapkan salam kepada murid-muridnya ia hanya terdiam membisu bak patung yang terpajang di depan kelas. Murid-muridnya kebingungan melihat Sang Rektor Nidzamiyyah hanya terdiam. Kemudian, mereka berinisiatif untuk memanggil tabib untuk memeriksa keadaan Al-Ghazali.

Tak dinyana, para tabib yang dihadirkan untuk memeriksa Al-Ghazali tak berhasil mendiagnosis penyakit yang diderita Al-Ghazali, ia tetap terdiam membisu. Lalu salah satu diantara mereka menyarankan agar memanggil tabib khusus yang mengobati masalah kejiwaan atau ahli psikologi, karena para tabib tersebut meyakini bahwa diamnya Al-Ghazali bukan karena penyakit fisik, melainkan kekosongan dalam jiwanya. Dan terbuktilah saran tersebut, Al-Ghazali tidaklah sakit badannya tetapi sakit jiwanya. 

Setelah pulih dari kebisuan yang dialaminya, Al-Ghazali berazam hendak pergi haji ke tanah suci. Ia berpamitan kepada Istri dan anaknya, serta ditanggalkanlah jabatan rektor yang diamanatkan padanya. Kini ia hanyalah Al-Ghazali sang pencari jati diri.

Setelah menunaikan ibadah haji, Al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke berbagai tempat di belahan dunia, mulai dari Hijaz, Syam (Syiria), hingga kembali ke tanah Tus. Perjalanan yang ia lakukan berlangsung selama 11 tahun. Setelah selama sebelas tahun mengembara mengobati kehampaan jiwanya, berpindah dari satu negara ke negara lain, ia berhasil menulis karya fenomenalnya yang hingga saat ini masih dikaji oleh para cendekiawan, yakni  Ihyâ ‘Ulûmiddin (Revitalisasi Ilmu-ilmu Agama). Sebuah karya agung sang filsuf yang berusaha mengobati penyakit hati hingga menjadi sufi.

Ada suatu kisah yang mengagumkan dari Imam Al-Ghazali saat ia singgah di bumi Syam dan menetap di Masjid Umawi. Dalam pengembaraannya mencari jati diri, ia tidak pernah mengenalkan dirinya sebagai Imam Al-Ghazali karena takut jika penyakit sombong akan menghampirinya untuk kedua kali.

Dikisahkan Imam Al-Ghazali pernah menjadi tukang sapu Masjid Umawi. Pada hari-hari tersebut beliau hanya membersihkan Masjid Umawi dan beribadah kepada Allah serta mengasingkan diri.

Pada suatu ketika, seorang syekh sedang mengadakan majlis taklim yang dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka Syam, kemudian sang syekh tersebut mengajukan pertanyaan, dan tak satupun hadirin yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, lalu Imam Al-Ghazali menghampiri syekh itu dan menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang ia inginkan. Sang syekh pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang tukang sapu masjid mampu menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ulama-ulama yang hadir di majelis tersebut.

Lambat laun orang-orang di sekitar masjid Umawi menyadari bahwa tukang sapu yang mereka sering jumpai bukanlah orang biasa. Namun hal ini justru membuat Imam Al-Ghazali takut jika penyakit ujub (takjub pada diri sendiri)akan membuatnya kembali pada kehampaan jiwa. Tak lama setelah itu, Imam Al-Ghazali bergegas meninggalkan Masjid Umawi dan berpindah ke lain tempat, lari dari segala kemungkinan yang berpotensi menariknya kembali pada peyakit-penyakit hati.

Baca juga:   Jerat Lisan

Tuduhan kepada Imam Al-Ghazali

Dalam sebuah video, seorang astrofisikawan kenamaan asal Amerika Neil deGrasse Tyson pemenang penghargaan NASA Distinguished Public Service Medal tahun 2004 menuturkan bahwa pemikiran Al-Ghazali menjadi salah satu penyebab kemunduran Islam pada abad keemasan Islam atau yang terkenal dengan sebutan The Golden Age.

Ia menyebutkan bahwa Al-Ghazali berpendapat bahwa matematika adalah hasil karya cipta setan dan haram hukumnya belajar ilmu filsafat bagi seorang muslim, dan sangat disayangkan pendapat Neil deGrasse tersebut banyak dikutip dan diamini oleh beberapa saintis Barat, bahkan para cendekiawan muslim.Untuk menjawab tuduhan ini marilah kita merujuk langsung kepada beberapa karya fenomenal Imam Al-Ghazali dan menyelami pendapatnya tentang filsafat pada umumnya dan ilmu matematika pada khususnya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin membagi ilmu filsafat menjadi 4 bagian, dan masing-masing bagian memiliki hukum tersendiri dalam mempelajari ilmu tersebut. [5]

  1. Ilmu Perhitungan (Matematika): hukum mempelajari ilmu ini adalah mubah atau boleh dan tidak terlarang, kecuali bagi orang yang dikhawatirkan akan terjerumus kepada ilmu-ilmu tercela akibat mempelajari ilmu ini, karena banyak orang-orang yang menggeluti matematika dan menjadi sesat karenanya. Pelarangan ini bukan bermaksud melarang pelajaran ilmu matematika itu sendiri, namun lebih kepada pencegahan bagi orang yang lemah. Maka orang yang lemah (iman)  sebaiknya dijaga dari ilmu ini seperti halnya seorang anak kecil dicegah agar tidak mendekati pinggir sungai supaya tidak terjatuh. 
  2. Ilmu Logika (Mantiq): hukum mempelajari ilmu ini adalah mubah, bahkan hukum ini berubah menjadi fardhu kifayah [6] karena banyak filsuf yang menyebarkan syubhat atau keragu-raguan dengan menggunakan logika. Ilmu logika merupakan ilmu yang banyak membahas tentang kaidah-kaidah berpikir kritis dan sistematis.
  3. Ilmu Teologi (Ilahiyyat): adalah ilmu yang membahas tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya sehingga ilmu ini masuk dalam kategori ilmu Kalam. Para filsuf terbagi ke dalam beberapa macam aliran pada ilmu ini. Sebagiannya mengingkari Allah, dan sebagian yang lain terjerumus kepada kesesatan atau bid’ah.
  4. Ilmu Makhluk Hidup (Biologi): ilmu ini banyak membahas tentang makhluk hidup. Boleh dipelajari jika dibutuhkan.

Percikan Hikmah Al-Ghazali

Dalam perjalanan pengembaraannya Imam Al-Ghazali banyak menemukan hikmah dan pelajaran hidup. Salah satunya adalah hikmah tentang ruh atau jiwa. Bahwa seorang hamba yang ber-azam untuk mengenal Tuhannya harus mengenal betul jiwanya.[7] Jika seorang hamba benar-benar menyadari bahwa ia hanyalah hamba yang lemah dan rapuh maka ia akan mengetahui bahwa Dzat yang menciptakannya amatlah agung dan kuat. 

Baca juga:   Haus Prestasi Bukan Apresiasi

Menurut Imam Al-Ghazali, jiwa manusia memiliki berbagai macam sifat, diantaranya: sifat hewan, sifat binatang buas, sifat setan, dan sifat malaikat. Sifat hewan tergambar jelas jika ia hanya menyibukkan diri dengan makan, minum, bersetubuh dan buang air. Sifat binatang buas tercermin pada manusia jika ia dikuasai oleh amarah dan murka. Sifat setan tercermin pada manusia jika ia senang mengadu domba, menipu, memfitnah, dengki, licik, dan sombong. Sifat malaikat tercermin pada jiwa manusia yang insaf, suka beribadah, dan menaati perintah Tuhannya.[8]

Semakin condong jiwa manusia kepada salah satu sifat di atas, maka sifat tersebutlah yang akan mendominasi dirinya. Namun keempat sifat tersebut tidaklah tercela jika sesuai dengan aturan yang Allah gariskan, misalnya makan dan tidur tidaklah tercela bila tidak berlebihan, kemudian marah bukanlah sifat tercela jika seseorang marah karena membela kebenaran yang ternodai, lalu sifat setan seperti menipu, berbohong tidaklah tercela jika ia digunakan untuk mengelabui musuh pada saat perang, karena bersiasat atau bertaktik dalam keadaan perang merupakan sesuatu yang diizinkan dalam Islam.

Dan sebaik-baik sifat yang disebutkan di atas adalah sifat malaikat. Dan semoga kita semua termasuk dalam golongan orang yang banyak didominasi oleh sifat tersebut Amin wal Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin.

Referensi :

  1. Abu Hamid Al-Ghazali, al-Munqidzu min al-Dzalâli, hal 6.
  2. Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmi An-Nubalâi, Muassasaturrisalah, 1985, vol. 19, hal. 326.
  3. Salah satu ulama kontemporer yang mengisahkan pertemuan Al-Ghazali dan Imam Al-Haramain adalah Syekh Prof. Hamza Yusuf, Pendakwah berkebangsaan Amerika, video-video ceramah beliau dapat diakses di channel youtube sandala.
  4. Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmi An-Nubalâi, vol. 19, hal. 326
  5. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Dar Ibni Hazm, 2005, hal. 31.
  6. adalah hukum fikih yang menjelaskan jika suatu perbuatan sudah dilakukan oleh sebagian orang maka tidak wajib bagi yang lain, namun bila tidak ada satu orang pun yang melakukannya maka semua komunitas yang tergabung di dalamnya mendapat dosa, contohnya shalat jenazah.
  7. Abu Hamid Al-Ghazali, Kîmiyâu As-Saâdah, file pdf disebarkan oleh www.al-mostafa.com, hal 2
  8. Ibid, hal 3.

Diterbitkan pada Majalah Mata Air Vol. 6 No. 21, link website: https://mataair.co/imam-ghazali-sang-pencari-jati-diri/ (diakses pada 14 Juni 2023)

Sila kunjungi senarai tulisan tentang Imam Al-Ghazali lainnya:

  1. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadis
  2. Imam Al-Ghazali dan Tuduhan Kemunduran Sains Islam
  3. Imam Al-Ghazali dan Tasawuf
  4. Imam Al-Ghazali dan Ilmu Kalam
  5. Pendidikan Sains Politik dalam Karya-Karya Al-Ghazali
  6. Imam Al-Ghazali dan Argumentasi Kosmologi tentang Tuhan
  7. Peran Al-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Fiqih dan Ushul Fiqh Mazhab Syafi’i
  8. Konsep Ilmu dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Ringkasan Kitab Al-Ilm dari Ihya’ Ulumuddin)
Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *