Modal Utama menjadi Penulis

Mental adalah segalanya

MODAL utama menjadi seorang penulis, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan menekuni profesi lainnya. Mulai dari profesi wiraswasta, pengacara (lawyer), politisi, penjual (seller), pendidik (teacher), dan lain sebagainya. Mental menempati urutan pertama guna mencapai profesi tersebut. Dalam profesi seorang lawyer atau pengacara misalnya, mental sangat dibutuhkan. Tanpa mental ia ia tidak akan pernah menjadi pengacara siapa pun. Dan andaipun ia menjadi pengacara seseorang, maka besar kemungkinan ia akan menjadi lawyer yang selalu gagal di dalam memenangkan kasus kliennya.

Hal yang sama juga dalam profesi politisi. Mental memainkan peran dominan di dalam menopang keberhasilannya dalam melakukan gerakan politik. Untuk menjadi politisi yang berhasil, seseorang tidak bias bersikap implusif, atau senang melakukan sesuatu hal bedasarkan dorongan-dorongan hati semata. Melainkan berdasarkan perencanaan yang matang, fakta-fakta serta strategi. Seorang politisi yang baik memiliki kemasan emosi yang selalu terkontrol, baik di tengah-tengah kawan atau pun lawan-lawannya. Di tengah teman-temannya, ia tidak pernah meletakkan kepercayaan secara berlebihan, atau pun sembarangan. Dalam banyak hal, ia justru selalu terkontrol dan waspada, sehingga tidak satu pun perilaku teman-temannya yang luput dari pengamatannya. Namun, ketika berhadapan dengan lawn-l;awan politiknya, seorang politisi tidak akan mengalahkan lawan politiknya sebagai musuh, melainkan menundukkannya sehingga menjadi patner yang menguntungkan.

Hingga di sini, kiranya tidak berlebih, jika mentalitas dipandang sebagai modal utama setiap profesi, termasuk juga dalam dunia kepenulisan. Tanpa didukung mental kepenulisan yang baik, seorang yang pailing berbakat sekali pun, pasti akan menemui kegagalan, seperti halnya seorang seller (perjual) yang gagal menjual darang dagangannya.

Dalam dunia kepenulisan, mentalitas menentukan kemampuan diri dalam menulis. Mentalitas yang bagus tidak hanya penting bagi ketahanannseorang penulis. Mentalitas diperlukan ketika menemukan hambatn dan juga menunjukkan kemampuan diri dalam menjalani profesi kepenulisannya.

Adapun mental-mental yang harus dimiliki seorang penulis antara lain adalah sikap percaya diri, gemar belajar, sportif, memiliki kepribadian yang terbuka, memiliki ketertarikan terhadap banyak hal, jeli dan peka di dalam melihat sesuatu, tidak mudah berpuas diri, serta penuh penghargaan pada karya tulis siapa pun.

Dalam dunia kepenulisan, sikap percaya diri sangat dibutuhkan ketika seorang penulis harus melakukan sebuah tulisan. Kepercayaan diri itulah yang akan membimbing seseorang untuk mencoba menulis tentang sesuatu. Lain dari pada itu, kepercayaan diri akan pula membantu seseorang untuk tidak berputus asa manakala mengalami hambatan di dalam melakukan kerja kreatif kepenulisan. Dalam konteks ini, kita haruslah memercayai diri kita, bahwa kita memikili kemampuan yang sama dengan mereka para penulis senior yang namanya telah popular.

Baca juga:   Seandainya Bisa Memilih

Hanya perlu menjadi catatan, percaya diri tidak sama dengan nekad. Kepercayaan diri di sini kepercayaan yang dibangun bedasarkan kesadaran akan kemampuan diri. Dengan demikian, ia bukan nekad mempercayai diri. Sikap nekad mempercayai tidak akan pernah menolong siapa pun untuk menjadi penulis, manakala tidak dibarengi proses pembelajaran diri. Karena itu, terdapat suatu ungkapan bahwa penulis yang berhasil adalah penulis yang ketika menulis selalu berfikir bahwa ia adalah seorang pemula yang butuh terus belajar dan mengembangkan diri. Sebuah sikap yang tentu sulit untuk dilakukan, Karena pada umunya kita kerap mudah berbangga diri. Wal hasil meski telah bertahun-tahun menekuni dunia tulis-menulis tetap saja ia tidak berkembang. Mengingat problem tersebut maka seorang penulis haruslah memiliki mental sportif, jujur di dalam melihat sesuatu. Dengan begitu, ia tidak tertipu oleh kesan-kesan diri yang salah.

Kejelian dan kepekaan adalah sikap yang juga sangat penting bagi seorang penulis. Kejelian dan kepekaan tersebut akan membuat seorang penulis mampu menulis sesuatu dengan detail dan terhindar dari bias. Lebih jauh lagi sikap itu akan menjauhkan kita dari kesalahan-kesalahan fatal sehingga kita tidak mengulang-ulang pekerjaan.

Demikianlah dasar-dasar mental yang harus dimiliki seorang penulis. Mempertahankan sikap mental sama artinya membantu diri untuk menjadi penulis yang berhasil. Hanya saja, semua sikap mental tersebut bukanlah seuatu hal yang muncul secara tiba-tiba, melainkan sesuatu yang bisa dicapai dengan berbagai pendisiplinan serta upaya membangun secara terus-menerus.

Seni membangun Mental

Membangun mental kepenulisan, bisa dimulai dengan menanamkan sugesti pada diri, bahwa kita adalah seorang penulis. Awalnya upaya ini barangkali terasa sangat naïf, karena bagaimana pun juga nalar kita akan berontak, bahwa kita bukan atau belum menjadi seorang penulis. Barangkali nalar kita juga akan bertanya pada diri kita, karya apa yang telah kita hasilkan sehingga kita mengaku sebagai seorang penulis?

Namun demikian, seiring dengan proses yang kita lakukan, ketika kita mulai melahirkan satu, dua, tiga tulisan, meski belum terpublikasikan, perasaan riskan dan risih tersebut akan hilang dengan sendirinya. Upaya ini bahkan cukup membantu kita di dalam mengembangkan kemampuan kepenulisan. Karena dengan menyakini diri sebagai penulis, kita akan dibawa berpikir dan bekerja sebagaimana seorang penulis.

Baca juga:   Kasus Sh Wisam Sharief

Menulis bukanlah pekerjaan yang hanya dilakukan di depan komputer atau di lembaran-lembaran kertas atau di buku harian. Menulis adalah proses membangkitkan kreatifitas dan memperkuat kesadaran akan dunia sekitar. Menulis juga membantu kita senantiasa menyadari keyakinan dan emosi kita. Semakin banyak kita menulis, semakin besar pulalah rasa percaya diri kita dalam mengungkapkan perasaan dan pandangan kita tentang apa pun yang hendak kita tulis.

Ketika kita membayangkan arti menjadi seorang penulis, maka kita akan sering membayangkan praktik menulis: memenuhi halaman demi halaman dengan rangkaian kata, menyunting paragraph, dan mengoreksi kata dengan penuh kehati-hatian. Semua itu merupakan bagian dari aktivitas kepenulisan. Namun demikian, menulis sesungguhnya menulis jauh lebih dari semua kegiatan itu.

Menjadi penulis, berpikir seperti penulis, berarti menggabungkan proses kreatif ke seluruh hidup kita. Penulis Jamaika Kincaid mengatakan bahwa ia selalu menulis dalam pikirannya, terutama pada saat ia sedang berkebun. Jadi, ketika ia memegang pena dan kertas, ia telah merevisi berulangkali naskah tulisannya di dalam pikiran. Apa yang dilakukan Jamaika Kincaid tak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Agus Noer dengan cerpen-cerpennya. Jauh sebelum cerpen itu ditulis, Agus Noer memiliki kebiasaan menceritakan ceritanya pada seseorang tanpa terlebih ia memberi tahu bahwa yang ia ceritakan hanyalah kisah fiksi dari cerpen yang hendak ia tulis. Akibatnya, banyak teman-teman Agus Noer terkecoh karena mengira apa yang mereka dengar adalah kisah nyata yang ditemui Agus Noer dalam hidupnya.

Hingga di sini, tidak mengherankan jika para penulis kerap berargumen, bahwa tak ada satu pun kondisi yang sungguh-sungguh bisa dijadikan alasan, agar tidak menulis. Karena menulis bisa dilakukan dalam dan dengan kondisi apa pun.

 Penulis adalah Seorang yang gemar membaca

Perlu diingat, sebesar apa pun keinginan kita untuk menjadi seorang penulis, yakinlah itu tidak akan pernah berhasil, manakala kita tidak suka membaca. Karena apa? Membaca adalah proses dari kepenulisan itu sendiri. Dan mustahil seseorang mampu menciptakan sebuah karya, tanpa terlbih dahulu ia berkenalan dengan karya-karya lain. Karena apa yang kita tulis sesungguhnya adalah apa yang kita baca. Mulai dari membaca buku-buku ilmiah, karangan fiksi, hingga berita-berita aktual yang ada di media massa.

Hanya saja, untuk menjadi seorang penulis yang baik, membaca saja terkadang tidak mencukupi. Terkecuali ketika kita melakukannya dengan teknik atau seni yang baik. Membaca dengan teknik atau seni bukanlah membaca secara membabi buta. Segala dokumen tertilus yang ditemukan kita baca. Membaca dengan teknik adalah cara-cara tertentu yang dilakukan sehingga proses membaca tersebut memiliki dampak efektif. Sayangnya, hal ini kerap diabaikan oleh banyak kalangan sehingga meski telah menekuri berbagai berkas, kepenulisan kita tetap saja tidak banyak berkembang.

Baca juga:   Filosofi Banjir dan Pengendaliannya

Membaca yang baik bukanlah membaca pasif melainkan membaca secara aktif. Artinya, kita membaca suatu dokumen, buku, atau berkas, tidak berangkat dari ruang kosong, melainkan dari titik persoalan atau pemahaman tertentu yang kita butuh dilengkapi. Sebagai contoh, ketika kita bermaksud menulis sebuah cerpen yang menceritakan penderitaan seorang yang mengidap penyakit AIDS, atau pun tema-tema lainnya. Seharusnya, kita membaca bacaa-bacaan, tulisan-tulisan, atau dokmen-dokumen yang mendukung sehingga tulisan kita makin utuh dan detail. Dengan demikian, mambaca bukanlah asala baca melainkan diselaraskan dengana tujuan kita. Sesuatu yang dalam iatilah Quantum Learning kerap disebut sebagai AMBAK kependekan dari apa manfaat bagiku.

 Setiap penulis pastilah seorang pengamat

Selain memiliki kebiasaan membaca yang baik, setiap penulis adalah juga seorang pengamat yang jeli. Penulis yang baik tidak pernah mengabaikan hal apa pun yang ditemuinya. Pada umumnya penulis memiliki kemampuan mengamati sesuatu dengan baik. Seorang penulis fiksi, pastilah seorang pengamat yang baik. Ia bahkan hafal dengan kekhasan cara duduk teman-temannya, bagaimana karakter  mereka, atau pun kebiasaan mereka.

 Setiap penulis adalah seorang pekerja keras

YA, tiap penulis adalah seorang pekerja keras. Karena tiap penulis pasti mendapatkan persaan yang sama: Tidak Puas! Dengan demikian, ia akan terus menulis sebab ia merasa tipa dia mnelis tiap itu juga ia akan belajar. Dan perasaan yang begitu menjadikannnya akan semakin giat menulis dan tentu ini adalah sebuah sikap kerja keras.

Penulis besar Hemmingway jika mentok dan tidak punya ide untuk menulis, maka ia akan menulis apa saja. Pengalaman praktisnya mengatakan bahwa dalam sekian menit pertama memang tak tampak korelasi apa pun antara setiap kata yang kita tulis dengan metode asal-asalan tersebut. Tapi sepuluh menit berikutnya akan ada pikiran utama atau ide yang bisa dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Ingat, waktu Hemmingway mempraktikkan hal itu, belum ada komputer. Jadi, di zaman modern ini tentu kita bisa lebih mudah menulis tanpa kehilangan ide dibandingkan Hemmingway yang masih menulis dengan mesin ketik.

– ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *